5-MANUSIA YANG PATAH HATI

1640 Kata
"Kalau gue sama Meyka, menurut lo gimana?" "What?" Merlin menatap Rado tak percaya. Sedangkan yang ditatap senyum-senyum tak jelas. Matanya seketika memicing, merasa ada sesuatu antara Rado dan Meyka. "Lo lagi deketin sepupu gue?" "Hahahaha...." Rado seketika terbahak. Merlin kian bingung. Entah, Rado sengaja mengerjainya atau lelaki itu berusaha menutupi sesuatu dengan tawanya. "Yang bener!" Dia mendekat dan memukul lengan Rado. Rado bergeser sambil mengusap lengannya. "Bercanda, kali." "Lo bikin jantungan, tahu nggak?" "Muka lo lawak banget!" Merlin hendak memukul, tetapi Rado segera berkelit. Akhirnya, dia duduk di pinggir ranjang dan menatap wajah Rado yang memerah. "Gue pikir lo beneran deketin Meyka," ujarnya. "Jangan. Dia terlalu polos buat lo." "Biasanya yang polos gitu, ada maksud terselubung, sih." "Gue tahu Meyka gimana," jawab Merlin. "Kalau nggak polos, gimana bisa dia baru sadar kalau diselingkuhi?" "Makanya sama gue aja, gue nggak akan selingkuh." "Iya, tapi langsung terang-terangan." "Hahaha...." Rado kembali terbahak. "Meyka gue anggap adiklah. Inget dulu kecilnya dia gimana." Merlin seketika terbayang masa remaja Meyka. "Kelihatan banget dia dulu suka sama lo." "Gue tahu, tapi dia masih SMP. Masa iya gue pacaran sama bocil?" "Inget juga temen-temen Meyka ngomongin lo." "Emang gue ganteng, sih!" Rado mengusap sisi kepala lalu mengedip genit. "Gimana rasanya punya temen ganteng?" "Masih gantengan Prima, kali." Rado mendengus. "Lo mau di sini dulu atau gimana?" Dia sengaja mengalihkan pembicaraan daripada Merlin terus membandingkannya dengan Prima. "Baliklah," jawab Merlin. "Gue belum masak buat Meyka." "Dia udah gede, kali. Bisa masak sendiri." "Tetep aja, gue terbiasa masak buat dia." "Ya udah, gue nggak bisa ikut." Merlin beranjak dan berjalan menuju pintu. "Gue duluan." "Oh ya, Lin!" Rado mengikuti Merlin. "Meyka emang kerja di mana?" "Ujung jalan sono," jawab Merlin sambil menggerakkan dagu. "Deket, dong." "Mau ngapain?" Rado menggeleng. "Heran aja inget kelakuan dia tadi," keluhnya. "Kantornya deket, tapi hebohnya kayak mau ke angkasa." "Haha, ada-ada aja," ujar Merlin lalu menjauh. "Bye." "Bye!" Rado menutup pintu dan menatap tempat tinggal barunya. Memang, apartemennya kecil, tapi dia merasa akan betah. Rado mengambil tas yang tergeletak dan mengeluarkan baju-baju yang tak seberapa banyak. Dia memindahkan baju itu di lemari kemudian memindahkan alat mandinya ke kamar mandi. Setelah itu Rado mengambil tas kosong itu untuk disimpan di lemari. Ting.... Perhatian Rado teralih mendengar suara benda jatuh. Dia menunduk, melihat benda mengkilat yang berada tidak jauh dari kakinya. Seketika dia membungkuk dan mengambil cincin putih dengan ekspresi masam. *** Seharian Meyka berusaha keras konsentrasi dengan pekerjaannya. Itu semua karena tiba-tiba ada perasaan aneh yang muncul. Yah, dia terbiasa ditelepon Dion saat jam istirahat. Biasanya dia akan memilih makan di meja sambil video call. Ketika sadar kebiasaan itu sudah tidak bisa dilanjutkan lagi, Meyka mendadak sedih sekaligus marah. Dia tidak habis pikir bagaimana bisa Dion menipunya habis-habisan. Atau sebenarnya dia yang bodoh? Meyka mencoba mengingat apakah dia melewatkan gelagat aneh Dion? Tetapi, dia tidak merasa menemukan gelagat itu. Sungguh, Dion terlihat begitu mencintainya. "Ah, sial! Gue jadi inget dia lagi." Meyka keluar dari kantor sambil menenteng tas di tangan kiri. Dia sengaja tidak langsung pulang, ingin mampir di kedai kopi tidak jauh dari kantor. Dia butuh menenangkan diri dan menghilangkan sosok Dion dari bayangan. Begitu sampai kafe, Meyka segera memesan minuman dan mencari tempat. Dia menatap ke arah jendela sambil setengah melamun. Ketika melihat sepasang kekasih yang berjalan bergandengan, tiba-tiba dia ingat Dion. Meyka sadar, saat ada Rado dia sempat melupakan Dion. Rado mencoba menghiburnya dan itu cukup membantu, meski Meyka masih sok jutek. Sekarang di saat Rado tidak ada, bayangan Dion kembali muncul. "Ah, emang si b******k!" Meyka mendengus lalu memukul meja dengan pelan. "Boleh duduk sini?" Meyka mendongak lalu matanya mengerjab melihat lelaki bertopi yang membungkuk ke arahnya. Seketika dia mengedarkan pandang dan tidak menemukan sosok yang dikenal. "Kok lo di sini?" Rado berdiri tegak lalu duduk di depan Meyka. Dia meletakkan secangkir kopi dan melepas topinya. "Emang kenapa? Ada larangan gue nggak boleh ke sini?" "Nggak gitu." Meyka menggaruk tengkuk. "Jakarta, kan, luas ya! Kenapa kita terus ketemu? Nggak ngikutin, kan?" "Haha...." Rado tertawa pelan. "Gue udah pindah apartemen." "Terus?" Rado menggerakkan tangan ke arah kanan. "Tahu apartemen sebelah sana?" Seketika Meyka duduk tegak. Dia tahu ada apartemen baru tidak jauh dari kantornya. Teman kantornya sempat membicarakan harga apartemen itu yang tergolong mahal karena letaknya strategis. Tidak disangka, Rado memilih apartemen itu. "Mau mampir?" tawa Rado. "Atas nama Kak Meyka!" Meyka berdiri mendengar namanya dipanggil. Dia mengambil tasnya sekalian dan menuju samping meja kasir. Dia mengambil kopinya kemudian berjalan menuju pintu. "Mau ke mana?" Rado melihat Meyka yang memutuskan pergi. Dia menegak kopinya lantas memakai topi, barulah mengejar Meyka. Meyka berjalan santai sambil sesekali menyeruput kopinya. Dia memang sengaja meninggalkan Rado. Toh, sebenarnya tidak ada pembicaraan penting. Jadi, buat apa berlama-lama dengan lelaki itu? "Mau ke mana?" tanya Rado setelah di samping Meyka. "Balik." "Mau gue anter?" "Naik apa?" Meyka menahan tawa. "Emang, sih, gue di sini nggak punya mobil," jawab Rado sambil menatap depan. "Mau naik busway? Gue udah lama nggak naik itu." "Gue bawa mobil." "Ya udah, gue setirin." Meyka menyeruput kopinya lalu mendongak. "Wah, tiba-tiba ada yang pengen sopir pribadi gue." Rado mengusap puncak kepala Meyka gemas. "Jadi, mau dianter nggak?" "No, thanks," tolak Meyka lalu berjalan cepat menuju kantor. Kali ini, Rado tidak lagi mengikuti. Dia memandang Meyka yang masih jutek. Kemudian senyumnya terbit. "Pesona gue udah nggak mempan ke dia." *** Sampai apartemen, Meyka mencium aroma sup telur yang sepertinya lezat. Dia melepas heels dan buru-buru ke dapur. "Waw...." Merlin berbalik, melihat Meyka yang baru datang. "Bersih-bersih dulu, terus makan." "Gue makan dulu aja!" Meyka mendekati wastafel dan mencuci tangan. Setelah itu dia duduk di kursi dan mencicipi sup telur itu. "Enak?" "Banget!" Merlin duduk di depan Meyka dan memperhatikannya dengan saksama. Katanya saat makan adalah momen pas untuk mengobrol. "Kabar lo gimana?" Meyka mengernyit mendengar pertanyaan itu. "Kabar yang mana?" "Yang waktu dari Bali." Gerakan tangan Meyka seketika terhenti. Dia berusaha tersenyum, meski susah. Perasaan yang sempat teralihkan, kini kembali datang. Meyka menunduk dan melanjutkan memakan sup telur. "Gue coba nggak mikirin dia." "Sebenernya apa yang terjadi? Kalian berantem terus dia selingkuh?" "Enggak," jawab Meyka. "Emang dasarnya dia nggak bisa LDR." "Kalau itu namanya buaya." "Hahaha...." Merlin mendengus. "Jadi, dia selingkuh sejak kalian LDR? Gila." Meyka mengangkat bahu. "Nggak tahu pastinya, yang jelas dia udah nikah." "Dan temen-temen dia nggak ada yang ngasih tahu lo." Air mata Meyka seketika menetes. Dia kenal beberapa teman Dion. Tetapi, tidak ada teman lelaki itu yang memberi tahu. Apakah mereka semua sama saja? Atau Dion yang meminta mereka agar tidak memberitahunya? Melihat Meyka yang terisak, Merlin merasa salah bicara. Dia beranjak dan mengusap punggung Meyka. "Sorry, lo jadi inget dia lagi." "Nggak apa-apa." Meyka berusaha menjauhkan tangan Merlin. Dia melanjutkan makan sup telur meski tidak begitu menikmati. "Saran gue cuma satu, move on." "Gue lagi males jalin hubungan," aku Meyka. Membayangkan harus dekat dengan seseorang lalu saling mengenal membuatnya malas. Belum lagi jika tidak cocok kemudian mencari lagi. "Jangan gitu." Merlin kembali ke tempatnya dan memakan masakannya. "Mau gue kenalin ke seseorang?" "Siapa? Temen lo aneh semua." "Hahaha...." "Apalagi, yang namanya Rado." Merlin seketika ingat candaan Rado tadi siang. "Rado nggak lagi deketin lo, kan?" Meyka sontak mengangkat wajah. "Enggaklah. Kenapa? Curiga?" "Enggak, dia bercanda pengen deketin lo." "Ih, jangan sampai." Merlin menunjuk Meyka dengan senyum jail. "Beneran udah nggak mempan sama pesona Rado, nih. Dulu aja...." "... itu pas masih labil," jawab Meyka. "Dulu gue lihat Rado karena ganteng. Sekarang enggak lagi." "Bagus, deh. Cari yang bener-bener cinta sama lo." Meyka mendorong mangkuk krem yang telah kosong. Dia berganti mendekatkan dimsum yang sepertinya dibeli di salah satu restoran dekat kantornya. "Oh ya, lo tadi nemenin Kak Rado?" "Iya, apartemennya deket kantor lo." "Dia nggak tahu, kan, kalau kantor gue deket situ?" "Dia tadi sempet tanya." Dimsum yang Meyka pegang seketika terjatuh ke meja. Dia segera mengambil dan mencondongkan tubuh. "Terus, lo kasih tahu?" "Iya," jawab Merlin tanpa melihat respons Meyka. Meyka terdiam. Apa mungkin Rado tadi sengaja menemuinya setelah tahu dari Merlin? "Ah enggak. Gue nggak mau mikir gitu." "Kenapa? Rado nyamperin lo?" Merlin seolah tidak kaget. "Enggak!" Meyka segera berdiri dan menuju kamar. Dia menganggap, pertemuannya dengan Rado tadi hanya kebetulan. *** Rado saat kecil hidup bersama keluarga besar. Rumahnya selalu ramai terlebih ada beberapa sepupu yang usianya tidak jauh darinya. Tetapi, kondisi seperti itu berubah saat Rado menginjak sekolah dasar. Kakeknya meninggal dan membuat sanak saudara jadi bertengkar. Yah, tentu memperebutkan harta warisan. Karena tidak ada yang mau mengalah, rumah kakeknya terpaksa dijual. Padahal, itu adalah tempat tinggal Rado dari awal. Hari itu, Rado mulai merasa kesepian. Papa yang sebagai kameramen acara perjalanan membuatnya jarang pulang, bahkan hingga sebulan lebih. Mamanya yang seorang reporter juga sering pergi liputan. Akibatnya, Rado di rumah sendirian. Itulah kenapa Rado sering datang ke tempat teman-temannya. Ketika lulus kuliah, Rado sempat dibingungkan akan mengikuti jejak sang papa atau mamanya. Padahal, dia tidak menyukai itu. Dia memutuskan pergi dan mencari kehidupan sendiri. Karena kesibukan, tiga orang itu perlahan saling menjauh. Rado sebenarnya enggan kembali ke Jakarta, tetapi jika harus di Surabaya dia harus berteman dengan luka. Sekarang Rado di Jakarta dan memilih hidup sendiri. Harusnya memang dia tinggal bersama banyak orang daripada semakin kesepian. Tetapi, dia tidak memiliki teman lagi selain Merlin. Banyak temannya yang munafik dan tidak menganggapnya seorang teman. "Sial! Gue bingung harus ngapain," gerutu Rado sambil bergeser ke sisi ranjang yang terasa dingin. Dia mengambil ponsel yang berada di perut dan melihat kontak. Tidak ada yang bisa dihubungi, kecuali Merlin. Tanpa pikir panjang, dia menghubungi wanita itu. Tut... Tut... Tut.... Ternyata Merlin tidak mengangkat panggilannya. "Masa iya dia tidur?" Rado mendongak, mendapati jam dinding yang baru menunjukkan pukul sepuluh. Rado: Mer, gue ke tempat lo, ya! Rado seketika beranjak. Dia mengambil jaket lantas bergegas keluar. Belum sempat pergi, Rado dibuat terkejut dengan kehadiran seorang wanita yang berdiri di depan pintu. Kedua tangan Rado seketika terkepal. "Ngapain? Ngikutin gue?" "Rado... Gue...."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN