"Rado... Gue...."
Brak....
Rado segera menutup pintu dan menjauh. Dia menatap benda itu seolah begitu menakutkan. Lantas dia berbalik, melepas sepatu dan duduk di ranjang. Tidak mungkin dia keluar jika wanita itu masih ada di sana.
"Sejak kapan dia ngikutin gue?" geram Rado tak suka. Bisa jadi sejak awal kepergiannya, wanita itu sudah membuntutinya. "Wah, gila tuh cewek."
"Do. Boleh bicara sebentar?"
Rado mengambil ponsel dan memutar musik. Dia sengaja memutar agak keras agar tidak mendengar suara yang bisa membuat hatinya luluh. Tidak.
Drttt....
Musik Rado perlahan berhenti dan muncul nama Merlin. Seketika dia mengangkat panggilan itu. "Halo."
"Gue barusan lagi beres-beres nggak denger ada telepon," jawab Merlin. "Lo jadi ke sini?"
"Ada setan di apartemen gue."
"What?" Merlin tanpa sadar berteriak. "Lo takut?"
Rado turun dari ranjang dan berjalan mengendap ke pintu. Dia menempelkan telinga, berusaha mencuri dengar. Tetapi, dia tidak mendapati suara apapun. Penasaran, Rado membuka pintu dan melihat seorang wanita yang masih menunggunya.
Brak....
Seketika Rado menutup pintu dan berlari menuju balkon. "Serius, serem banget hantunya."
"Barusan lo nutup pintu?"
"Iya. Kedengeran?"
"Yakin tuh pintu nggak roboh?" canda Merlin. "Lo dulu nggak penakut, deh. Kenapa sekarang jadi gini?"
"Masalahnya ini lebih serem dari setan."
"Lo nggak kesambet, kan, Do?"
Rado menahan tawa, yakin jika Merlin pasti kebingungan. "Tuh, cewek tahu tempat tinggal gue."
"Ha?" teriak Merlin. "Dia ngikutin lo?"
"Bisa jadi."
"Beneran lebih serem dari setan, sih."
"Makanya. Mana dia masih nunggu," keluh Rado sambil mengacak rambut. "Pengen ngajak lo jalan sebenernya. Tapi...."
"... mending lo di apartemen aja. Daripada dia makin ngikutin."
"Makanya."
"Selamat ketakutan Rado."
"Sial lo!" Rado menjauhkan ponsel dan memutuskan sambungan. Dia berbalik, menatap pintu yang masih tertutup rapat. "Pasti dia udah pergi."
Perlahan Rado mendekat ke pintu dan membukanya sedikit. Dia mengintip dari celah dan tidak melihat wanita tadi. Seketika dia membuka pintu lebih lebar dan mengedarkan pandang. "Syukur, deh!" Rado menutup pintu dan memilih di apartemen daripada di luar dan bertemu wanita itu lagi.
***
Teett....
Meyka sedang memanggang roti saat mendengar suara bel. Dia mematikan alat pemanggang kemudian berlari keluar. Saat membuka pintu, dia dikejutkan dengan aroma durian yang menguar.
"Merlin belum bangun?"
"Ck! Baunya!" Meyka menutup hidung dan menatap Prima yang membawa dua buah durian berukuran besar. "Ini masih pagi, jangan bikin gue mual."
"Duren enak, tahu!" Prima menuju dapur dan meletakkan durian itu di meja.
"Jangan di sana! Aduh!"
Prima tidak peduli dengan protes Meyka. Dia menuju kamar Merlin lalu geleng-geleng. "Bangun. Aku udah dateng, nih!"
Di dapur, Meyka menutup hidung seraya mengambil roti yang telah dipanggang. Dia buru-buru ke kamar dan memilih sarapan di sana. Sungguh, dia tidak suka dengan bau durian, membuatnya mendadak pusing.
"Hueek...." Meyka hampir memuntahkan roti yang baru saja dimakan. "Kak Prima bener-bener!" keluhnya, padahal lelaki itu tahu dia sangat membenci durian.
Beberapa menit kemudian, Meyka keluar sambil memposisikan tas di depan hidung. Dia membuka pintu dan tercium aroma durian yang langsung menusuk. "Bau!"
"Mau ke kantor?"
Meyka melirik ke Prima yang duduk di sofa panjang. Di sampingnya ada Merlin yang duduk bersandar dengan mata terpejam. "Pastiin sebelum gue balik bau itu udah hilang."
"Iya. Beres nyonya!" jawab Prima.
"Awas kalau enggak!" Meyka membuka pintu, bertepatan dengan seseorang yang baru masuk. Dia mendongak, mendapati Rado yang mendengus.
"Bau apaan, nih?" keluh Rado mencium aroma tak enak di apartemen Meyka. Seketika dia mundur dan menutup mulut.
"Duo benci durian ngomel!" keluh Prima.
Meyka menatap wajah Rado yang memerah. Dia dan lelaki itu memang tidak suka durian. Teringat saat pamannya membawa durian, dia dan Rado seketika pergi ke supermarket dan mencari makanan manis.
"Duluan," pamit Meyka lalu melewati Rado.
"Gue nggak jadi bertamu."
"Mereka bentar lagi habisin duriannya."
"Tetep aja baunya bikin pusing," keluh Rado sambil bergidik. "Mau ke kantor?"
Meyka mengangguk pelan. Dia berdiri di depan lift dan menekan tombol. Sambil menunggu benda itu terbuka, dia melirik Rado yang pagi ini mengenakan hoodie berwarna pink. "Hem. Pinky boy?"
Rado refleks menunduk. "Meski pakai pink gue tetep cool, kan?"
"Mana gue tahu."
"Jujur aja kali."
Tring....
Meyka memutuskan masuk disusul oleh Rado. Dia menekan tombol lalu berdiri bersandar. Sedangkan Rado berada di belakang Meyka.
"Kapan Prima dateng?" tanya Rado memecah keheningan.
"Mungkin lima belas menit sebelum lo dateng."
"Gitu aja katanya banyak kerjaan."
Meyka menahan tawa. Prima memiliki studio foto. Merlin awalnya juga bekerja dengan lelaki itu. Tetapi, sejak Prima memutuskan membuka studio di Bandung, Merlin bekerja dengan studio lain. Sayangnya, akhir-akhir ini studio agak sepi jadi Merlin lebih sering berada di apartemen dan memasak untuknya.
"Mau gue anter?" tanya Rado kala Meyka tidak menjawab.
"Masih aja usaha jadi sopir gue."
"Daripada nggak ada kerjaan."
"Salah sendiri mundur dari kerjaan," jawab Meyka ingat dengan cerita Rado.
Tring....
Meyka melangkah lebih dulu lalu menoleh ke Rado. Dia mendapati ekspresi lelaki itu yang berubah. Apa gue salah ngomong? Meyka buru-buru membuang muka saat Rado menatapnya. Dia melanjutkan langkah menuju mobil dengan perasaan was-was.
"Hati-hati!" teriak Rado dari pintu basement.
Seketika Meyka berbalik. Dia mendapati Rado yang kembali tersenyum, tidak seperti beberapa menit yang lalu. Dia yakin, Rado tersinggung dengan perkataannya. "Sorry."
"Ha?"
Tanpa menjelaskan, Meyka berbalik dan mempercepat langkah menuju mobil.
***
Rado kembali ke apartemen Merlin satu jam kemudian. Dia memutuskan menunggu di kafe dekat apartemen sekaligus mencari sarapan. Lima menit yang lalu Prima telepon jika sudah menyimpan duriannya dengan rapat. Akhirnya, Rado beranjak dari tempatnya.
Ceklek....
"Udah nggak mau!" ujar Merlin setelah membuka pintu. Dia kembali ke sofa dan duduk di samping Prima.
Rado tidak kunjung masuk. Dia menghidu aroma apartemen Merlin, bau durian itu masih tercium, tetapi tidak sekuat tadi. "Oke!" Akhirnya dia memutuskan masuk.
"Gimana kabar lo, Bro?" Prima berdiri dan memeluk Rado sekilas. "Gimana, gimana? Mau cerita sesuatu."
"Halah. Paling lo juga udah denger dari Merlin," jawab Rado lalu duduk di sofa single.
Prima mengangguk mengiakan. "Semalem, tuh, cewek dateng?"
"Merlin cocok jadi MC acara gosip."
"Sorry!" Merlin mengangkat kedua jari. Dia lalu menatap Prima dan saling tertawa.
Rado geleng-geleng melihat kekompakan Merlin dan Prima. Dia sudah menduga dari awal jika kelak akan ada temannya yang jadian. Merlin dan Prima dulu saling bertengkar. Tetapi, dia bisa melihat dua orang itu sangat bahagia saat menjaili. Hingga, Prima mengakui semuanya ke Merlin dan mereka langgeng pacaran.
"Menurut lo gue diikutin nggak?" tanya Rado sambil menatap dua temannya bergantian. "Gue tahu dia tajir dan gampang nyari gue."
"Lagian lo sendiri...."
"... ssstt...." Merlin menyikut perut Prima sebelum pacarnya itu menyalahkan Rado. Dia lalu menatap Rado yang menunduk. "Selama dia belum ngusik terlalu parah, biarin aja. Kalau udah parah, lapor ke polisi."
"Aneh nggak gue laporin cewek yang gue cinta?"
"Dia udah nyakitin lo!" ingat Prima. "Do, gue yakin banyak cewek yang ngantre jadi pacar lo. Serius, deh."
"Masalah Rado cuma mau cewek itu."
Ucapan Merlin menohok hati Rado. Dia mengusap wajah lalu duduk bersandar. "Emang gue yang salah. Nggak harusnya coba main-main."
"Dia juga salah," tekan Merlin. "Udah, mumpung kumpul bertiga mau jalan nggak, nih?"
Rado menatap Merlin dan Prima bergantian. "Terus, gue jadi obat nyamuk?"
"Ajak Meyka, deh!" saran Prima.
Merlin menggeleng tegas. Prima yang tidak mengerti menyernyit bingung. "Biasanya juga Meyka nemenin kita," ingat Prima.
"Lo anggep serius?" Rado seolah tahu apa yang ada di pikiran Merlin.
"Gue sebelumnya percaya, tapi kenapa lo malah nyamperin Meyka?"
Prima menatap dua orang itu bergantian. "Gue setuju. Mending lo deketin Meyka aja. Meyka juga masih single."
"Enggaklah. Masa gue deketin dia?" Rado terkekeh geli. "Gue nggak sengaja lihat Meyka di kafe, ya udah gue samperin. Itu doang. Emang dia ngerasa gue deketin apa?"
Merlin mencoba percaya. "Ya udah kalau gitu."
"Nanti kita main, deh. Nunggu Meyka pulang kerja," ajak Prima yang diangguki oleh dua orang lainnya.
***
Drttt....
Lima menit sebelum pulang kantor, ponsel Meyka terus bergetar. Biasanya dia dengan mudah mengangkat panggilan. Tetapi, sore ini dia ada meeting dan sepertinya akan berlangsung agak lama.
Meyka mengeluarkan ponsel dari saku celana dan melihat nomor baru yang menghubungi. Dia mengaktifkan mode pesawat lalu memasukkan ponsel ke saku.
Tiga puluh menit kemudian, Meyka baru keluar. Dia mengeluarkan ponsel dari saku celana dan membaca beberapa chat masuk.
Merlin: Prima ajak pergi. Gabung ya.
Merlin: Rado juga ikut. Dia mau nunggu di depan kantor lo.
"Ha?" Meyka kaget membaca pesan terakhir. Dia mengedarkan pandang, basement telah sepi. Seketika dia berlari menuju mobil dan segera tancap gas.
"Ka! Meyka!"
Baru saja mobil Meyka keluar dari basement, dia melihat Rado yang menunggu di samping pos satpam. Dia menghela napas berat. Bahkan dia belum memberi kabar akan ikut atau tidak, tetapi lelaki itu muncul. Meyka seketika membuka pengunci pintu.
"Lama banget!" Rado masuk ke bangku penumpang dan memasang sabuk pengaman. "Merlin udah hubungin lo, kan?"
Meyka tidak langsung menjawab. Dia melajukan kendaraannya berlawanan arah dari tempat biasa Prima dan Merlin hang out. "Gue mau pulang."
"Lo gue ajak pulang juga."
Mobil Meyka perlahan menepi. "Gue anterin lo pulang."
Rado kaget karena mobil berhenti di pinggir jalan samping apartemen. "Yakin nggak mau ikut gue?"
Meyka menggeleng. "Gue capek, pengen tidur."
"Sekali-sekali ikutlah. Temenin gue."
"Kak Rado bisa cari temen di sana. Gampang, kan?"
Rado duduk menyerong menatap Meyka. Dia tahu alasan pasti mengapa wanita itu masih jutek. Padahal, dia berusaha untuk menjalin hubungan baik. "Lo masih suka gue makanya jutek?"
"Ha? Ngomong apaan, sih?" Meyka mengibaskan tangan.
"Atau, lo nggak terima karena gue tolak waktu itu?"
Meyka memegang kemudi dengan erat. "Mood gue lagi naik turun setelah putus, Kak. Gue harap lo ngerti."
"Gue juga putus dan pengen ditemenin. Gue harap lo ngerti," jawab Rado pelan.
Napas Meyka tercekat. Dia memperhatikan ekspresi Rado yang berubah. Lelaki itu tidak mengada-ngada, kan?
"Ya udah, kalau nggak mau!" Rado melepas sabuk pengaman kemudian turun mobil. "Sorry, udah bikin lo marah-marah."
Meyka kembali merasa bersalah. Dalam sehari, dua kali membuat Rado tersinggung.