"Nggak menikmati suasana banget," keluh Rado sambil melepas rangkulan.
Meyka mengangkat bahu dan berjalan agak cepat. Rado tertantang untuk membuat wanita itu menikmati suasana saat pergi bersamanya. Seketika Rado mendekat lalu menarik Meyka ke dalam gendongan.
"Kak Rado!"
Rado menjauhkan kepala karena teriakan melengking Meyka. "Aduh, telinga gue makin sakit, Ka."
"Turunin nggak?" Meyka berusaha berontak. Dia memukul pundak Rado, tetapi lelaki itu tidak kunjung menurunkannya. "Kak Rado!"
"Bentar."
"Ih, malu tahu!" geram Meyka sambil mengedarkan pandang. Para pengunjung menatapnya sambil menahan tawa. Bahkan ada yang terang-terangan bersiul. "Ih, muka gue mau taroh mana, Kak?"
Rado tidak memedulikan itu. Dia terus menggendong Meyka hingga agak jauh dari kerumunan. Barulah dia menurunkan wanita itu.
Duk.... Meyka meninju d**a Rado. "Bikin malu."
"Haha. Bercanda."
"Ih, bercanda nggak gitu!" geram Meyka sambil sedikit menutup wajah. "Kalau ada yang rekam terus di-upload di sosmed gimana?"
"Ya nggak apa-apa."
"Gue yang malu."
"Hahaha...." Rado terbahak. Sebenarnya dia juga malu, tapi sebenarnya dia masa bodoh dengan omongan orang.
Meyka melirik Rado yang terlihat biasa saja. Sedangkan dia khawatir bertemu dengan orang-orang. "Mending pergi," ujarnya lalu berjalan lebih dulu.
"Nggak mau gendong lagi?"
Seketika Meyka menggerakkan jari tengah ke belakang. Setelah itu dia berjalan sambil menunduk. Baru pertama kali in dia digendong di tempat umum dan itu semua karena Rado.
"Gawat, nih, kalau ngambek!" Rado berlari mengejar, tetapi sengaja menjaga jarak dari Meyka. Dia melihat beberapa gerombolan anak remaja yang menatap sambil menahan tawa. Sepertinya gara-gara tindakannya barusan. Rasa malu itu seketika muncul, Rado menunduk menghindari tatapan.
Begitu sampai luar, Meyka mengusap dadanya lega. Dia berbalik, melihat Rado yang berjalan sambil menunduk. "Malu, kan?"
"Hehe. Nggak parah, tapi."
"Gimana bisa kelakuan kayak bocah!" geram Meyka lalu melanjutkan langkah. "Gue mau pulang."
"Ya, gue juga mulai capek." Rado berlari hingga sejajar dengan Meyka. "Sebelum balik cari makan dulu, ya."
"Drive thru aja."
"Oke!"
Meyka lega karena Rado tidak lagi protes. Ah, sungguh dia masih terbayang kejadian barusan. Dia berharap tidak ada yang mengenalinya.
***
Herrtt... Hertt....
Mobil yang Rado kemudi agak tersendat. Dia menoleh ke Meyka yang terlelap. Lantas dia menatap panel bahan bakar masih terisi, tetapi mobil yang dikendarai terasa berbeda.
Hertt....
Sendatan itu semakin terasa. Hingga mobil itu akhirnya terhenti. Rado segera mematikan mesin dan berjalan keluar. Dia membuka kap depan dan asap putih keluar menyapa.
"Uhuk... Uhuk...." Rado segera mundur sambil mengibaskan kedua tangan di depan wajah. "Kenapa, nih, mobil?"
Rado terus mengibaskan tangan hingga asap itu hilang. Kemudian dia mengecek komponen-komponen yang berbau terbakar. "Ah, pasti jarang diservice."
Di dalam mobil, Meyka terbangun. Dia menoleh ke samping dan pintu terbuka. Saat menatap depan, dia melihat benda gelap yang menutupi. Seketika Meyka turun dan mendapati Rado yang membungkuk. "Kenapa?"
"Nggak tahu, nih," jawab Rado tanpa menatap lawan bicaranya. "Nggak pernah lo service, Ka?"
"Pernahlah." Meyka mendekat dan barulah tercium aroma gosong. Seketika dia menutup hidung dan bergerak mundur. "Tapi, kayaknya tahun lalu."
Rado berdiri tegak dan bertolak pingang. "Setahun lalu?"
"Nggak ada yang bermasalah, jadi gue pikir baik-baik aja."
"Tetep aja, bisa jadi dalamnya bermasalah." Rado menghela napas berat. "Kayaknya nggak bisa dipaksa pakai. Bahaya."
"Ya udah, telepon bengkel."
"Lo punya bengkel langganan?"
"Hehehe...." Meyka tersenyum garing.
Rado jelas tahu arti senyuman itu. Memang, tidak boleh berharap lebih ke wanita dalam urusan menjaga kendaraan. "Tunggu agak dingin, terus kita coba lagi."
"Kata lo malah bahaya."
"Ya terus gimana? Nggak ada yang bisa dimintain tolong," jawab Rado sambil menutup kap depan. "Mungkin cuma kepanasan aja."
Meyka ikut masuk mobil dan membuka jendela. Angin sore yang berembus cukup menyejukkan. Dia memposisikan tangan ke arah luar, menggerakkan tangan ke kiri dan ke kanan seolah mempermainkan angin.
Rado diam-diam memperhatikan. "Untung mogoknya pas ada gue."
"Emang kenapa?"
"Gue yakin lo bakal panik," jawab Rado. "Untung juga mogoknya bukan di jalan utama." Dia menoleh ke belakang, melihat jalanan yang tidak begitu ramai. Sebenarnya tinggal beberapa kilometer lagi sampai di apartemen Meyka, tetapi ada saja kendalanya.
"Gue nggak pernah ngerti urusan mobil."
"Belajar, dong!"
"Emang lo ngerti, Kak?" Meyka berbalik dan menatap Rado meragukan. "Buktinya nggak bisa benerin."
"Gue bukan orang bengkel."
"Intinya kita berdua sama."
Rado terkekeh. Memang dia juga tidak begitu mengerti soal mesin. Tetapi, dia tahu bagaimana merawat kendaraannya. "Coba sekali lagi, deh. Semoga bisa." Dia mulai menyalakan mesin dan melajukannya.
"Nah, ini bisa."
"Semoga nggak ada masalah," doa Rado sambil mencengkeram kemudi.
Meyka menutup jendela dan menatap depan dengan harap-harap cemas. Dia khawatir ada asap mengepul yang tiba-tiba keluar. Mengingat beberapa saat lalu tercium bau gosong.
"Jangan mogok-mogok dulu sebelum sampai apartemen," ujar Rado.
Bess....
"Eh, asep!" Meyka mendadak panik melihat asap putih keluar dari kap depan.
Rado segera menepikan mobil dan mematikan kendaraan. Aroma kabel terbakar seketika tercium. Dia segera turun dan membuka kap depan. Bau asap menguar dan kondisinya lebih parah.
"Gimana?" Meyka segera keluar sambil menutup hidung. Dia syok melihat asap yang keluar dan bau gosong yang kian kuat. "Gue telepon Kak Merlin, deh!" Meyka kembali ke mobil dan mencari kontak Merlin.
Tut... Tut... Tut.... Ternyata Merlin tidak bisa mengangkat panggilan.
Meyka mencari informasi bengkel terdekat, tapi jaraknya sekitar tiga kilometer. Dia segera menghubungi tukang bengkel dan berharap bisa menghampirinya.
"Halo...."
"Pak, bisa ke tempat saya? Mobil saya mogok. Saya..." Meyka segera menceritakan apa yang terjadi.
Rado mendekati pintu penumpang melihat Meyka yang begitu panik.
***
Meyka tidak tahu, apakah ini hari apesnya atau apa. Pertama, dia dibuat sebal karena Rado yang memaksanya keluar. Kedua, dia dibuat malu karena Rado mengendongnya di tempat umum. Ketika, dia dibuat tidak percaya karena menaiki mobil yang diderek.
Ya, mobilnya diderek karena mesin benar-benar mati. Tidak mungkin mereka mendorong mobil sejauh tiga kilometer. Jadilah, mobilnya diderek.
"Belum pernah, kan, ngalamin ini?"
Meyka menoleh ke lelaki yang duduk santai dengan kedua tangan di belakang kepala. "Gimana bisa lo santai, Kak?"
"Kalau dipikir berat jadinya stres."
"Tapi, nggak sesantai ini juga." Meyka mendengus, melihat jalanan yang dilewati. Posisi mobil yang sedikit di angkat, membuat posisi duduknya agak tertarik ke belakang. Dia tidak bisa leluasa bergerak jika tidak mau jatuh. Sedangkan Rado masih saja santai.
Rado memejamkan mata, menikmati angin yang berembus dari jendela. "Gue tidur, ya!"
"Engak aja. Lo harus tanggung jawab."
"Nanti gue bantu bayar."
Meyka menggeleng tegas, bukan itu yang dimaksud. "Maksud gue lo tunjukin panik atau apa gitu. Bukannya malah santai."
"Waw. Gue panik!" teriak Rado.
Plak.... Meyka memukul lengan Rado tak percaya. "Gimana bisa gue dulu suka sama orang aneh ini?"
Rado seketika membuka mata dan menatap Meyka. "Lo suka gue?"
"Dulu, ya!"
"Kalau sekarang?"
"Ogah!" Meyka bergidik. "Jangan sampai, gue ketemu orang aneh kayak lo."
"Jangan gitu. Nanti jatuh cinta." Rado menarik hidung Meyka gemas.
Meyka memukul tangan Rado tak suka. "Ini terakhir kalinya gue jalan sama lo, ya!" tekannya. "Lain kali enggak."
"Berharap banget gue ajak keluar lagi."
"Kak Rado...."
Rado kembali memejamkan mata sambil menahan tawa. Dia memang berusaha tidak berpikir berat. Semuanya sudah kejadian dan hanya bisa dinikmati.
"Ck!" Melihat Rado, Meyka terus tersulut emosi. Dia memilih menatap ke arah luar sambil mengontrol emosi.
"Thanks, Ka."
Meyka tidak merespons.
"Lo bikin gue ngerasa hidup lagi," aku Rado. "Gue bisa ketawa lepas hari ini dan lupain masalah gue."
Barulah Meyka menoleh. Dia melihat Rado yang terdiam tanpa senyuman. Tetapi, ekspresi Rado tampak polos. "Gue yang malu gara-gara lo."
"Malu itu bakal ilang."
"Tetep aja."
Rado membuka mata dan menatap Meyka. Dia tersenyum melihat pipi wanita itu masih memerah dan wajahnya tampak bete. Tangan Rado terulur dan mengusap puncak kepala Meyka. "Lo nggak tahu berapa keras usaha gue ketawa lagi."
"Nggak sampai segitunya kali, Kak," jawab Meyka. "Pertama kali lihat lo lagi, gue rasa lo nggak ada masalah."
"Berarti gue pinter nyembunyiin masalah."
"Gitu? Aktor yang hebat."
Rado menurunkan tangan, tapi tidak bisa mengalihkan pandang dari Meyka. Dia tahu Meyka dari lama dan cukup tahu sifatnya. Tetapi sekarang, dia seperti menemukan sifat-sifat Meyka yang baru. "Jangan kapok main sama gue."
"Gue udah kapok."
"Jangan, dong. Gue masih butuh temen."
"Kak!" Meyka duduk menyerong menatap Rado. "Gue tahu temen lo banyak. Tapi, seolah-olah ngerasa nggak punya temen."
"Emang kenyataannya gitu," jawab Rado. "Lo ngerasain sendiri, kan, temen-temen lo mulai ngilang pas udah dewasa?"
Meyka mengangguk. "Bener, sih."
"Itu juga yang gue alamin."
"Tapi, lo gampang nyari temen. Nggak kayak gue." Meyka iri ke teman-temannya yang supel dan tidak canggung untuk mengajak berkenalan. Sedangkan dia butuh waktu agak lama.
Rado tersenyum samar. "Gue bukan Rado yang dulu," ujarnya. "Gue bahkan ragu, Rado yang dulu beneran gue atau enggak."
"Ada masalah berat?"
"Bisa dibilang gitu."
"Semoga masalah lo cepet kelar." Meyka kembali menatap depan. Dia tidak sadar jika mobil berhenti, sepertinya terjebak macet. "Ck!" Meyka berdecak, sudah tidak sabar keluar dari mobil yang diderek.
"Jangan gampang marah," saran Rado. "Coba aja nikmati. Kalau marah, ujungnya lo sendiri yang capek."
Meyka menarik napas panjang dan mengembuskan dari mulut. Memang benar, jika marah ujungnya dia membuang tenaga. Dia menyandarkan kepala dan mencoba untuk melupakan semuanya.
Diam-diam Rado memperhatikan Meyka yang memejamkan mata. Wanita itu sebenarnya penurut, hanya saja gampang marah-marah. Tangan Rado terangkat dan mengusap puncak kepala Meyka.
"Tangan lo kotor, Kak!" ingat Meyka.
"Yaelah."
"Singkirin!"
Rado menyingkirkan tangan dari kepala Meyka. Dia menatap depan, tetapi matanya terus ingin menatap Meyka. Akhirnya dia menatap wanita itu lagi.
Perhatian Rado tertuju ke beberapa anak rambut yang jatuh ke kening Meyka. Matanya turun ke hidung Meyka yang kecil dan lumayan mancung. Barulah, fokusnya tertuju ke bibir Meyka yang terpoles lipstick. Rado mendekat sambil memejamkan mata. Tetapi, ada sesuatu yang tiba-tiba menahannya.
"Huh...." Rado buru-buru mundur dan membuang muka ke arah jendela.