Bugh....
Wanita yang mengenakan kimono handuk itu mengempaskan tubuh di ranjang. Dia menatap langit-langit kamar sambil tersenyum. Tubuhnya mulai terasa relaks setelah mandi dengan air hangat. Pikirannya juga mulai tenang.
Sreek.... Meyka bergeser ke tengah ranjang lalu menarik selimut. Dia memejamkan mata lalu dengan sendirinya bayangan kejadian sepanjang hari menyeruak.
Mobil Meyka harus ditinggal di bengkel untuk pengecekan keseluruhan. Rado yang meminta itu, untuk menghindari kejadian serupa. Setelah itu mereka naik taksi. Rado mengantarnya lebih dulu dan lelaki itu tidak mampir. Meyka lega, karena bisa segera beristirahat tanpa direcoki Rado.
"Huh...." Jantung Meyka berdegup lebih cepat kala mengingat satu kejadian yang menegangkan. Dia melihat Rado yang memperhatikannya dan seolah akan menciumnya. Entah Meyka salah penilaian atau bagaimana. Satu yang jelas, sejak kejadian itu Rado terkesan menghindari tatapannya.
Meyka membuka mata dan menatap langit-langit. Dia ingat betul Rado tadi tampak frustrasi dan hendak menciumnya. Dia sengaja diam saja untuk tahu reaksi lelaki itu. Ternyata, Rado segera menghindar dan membuatnya lega.
"Nggak seharusnya lo nyium gue, Kak," gumam Meyka. "Gue nggak mau ada yang lebih di antara kita. Cukup lo jadi cinta monyet gue."
Ada perasaan lain yang tiba-tiba menyelinap. Meyka buru-buru memejamkan mata dan bergerak miring. Sungguh, dia baru putus dari Dion dan enggan memulai hubungan lagi, apalagi bersama Rado. Ditambah, dia tahu lelaki itu juga baru patah hati.
"Orang patah hati ketemu orang patah hati, hasilnya jatuh cinta?" gumam Meyka. "Ah, apa, sih, yang gue pikirin?" Dia memukul kepala dan mencoba untuk tidur.
Drttt....
Belum apa-apa, sudah ada yang mengganggu rencana tidur Meyka. Dia beranjak dan mengambil ponsel. Matanya memicing melihat nomor baru yang menghubungi. Dia meletakkan ponsel, menganggap itu panggilan dari Rado.
Drtt.... Setelah panggilan itu berakhir, muncul pesan masuk.
08126090xxxx: Ini gue Rado.
08126090xxxx: Kata orang bengkel besok sore mobilnya selesai.
08126090xxxx: Lo atau gue yang ambil? Kuncinya masih di gue.
Meyka terdiam. Sebenarnya dia ingin mengambil mobilnya sendiri, tetapi dia tidak tahu esok akan bagaimana. Biasanya, dia akan malas-malasan jika hari Minggu.
Meyka: Gue ambil senin aja.
Drttt.... Selang beberapa detik pesan Meyka terkirim, ponsel itu bergetar.
"Halo," jawab Meyka.
"Senin lo ambil? Dadakan?"
"Iya. Males gue minggu-minggu keluar."
"Jangan gitu juga, dong," saran Rado. "Besok sore gue ambil, deh."
"Nggak usah, nanti lo repot."
"Lo tahu, kan, gue pengangguran?"
Meyka menahan tawa. "Ya udah," ujarnya. "Titipin aja kuncinya di resepsionis bawah, Senin gue ambil."
Di tempat lain, Rado duduk di balkon dengan sebatang rokok menyelip di antara jari telunjuk dan jari tengah. "Gue anter ke apartemen lo."
"Nggak usah."
"Takut gue repot?" Rado mengisap rokok dan mengembuskannya pelan. "Kalau gini artinya lo hindarin gue."
"Gue nggak hindarin lo. Buat apa?"
Rado terkekeh. Dia mematikan rokok yang masih panjang itu dan fokus dengan ponsel. "Kali aja ada sesuatu."
"Kayaknya lo, deh, yang tadi hindarin gue," ingat Meyka. Setelah mengucapkan itu dia merasa salah berbicara.
Pikiran Rado seketika berkelana saat hendak mencium Meyka. Entah apa yang ada di pikirannya tiba-tiba ingin melakukan itu. Ditambah, dia juga melakukan hal bodoh dengan menghindari Meyka. Seharusnya, dia tetap biasa aja.
"Kak Rado!" panggil Meyka karena tidak ada tanggapan. "Lo nggak mau ngasih tahu gue sesuatu?"
"Pengen."
"Apa?"
Rado beranjak dan berdiri di depan balkon. Dia menatap bulan sabit yang menerangi malam. "Bulannya bagus."
"Ha?" Meyka mengernyit bingung. "Lo mulai ngaco. Udah, ya!"
"Good night."
"Hmm...."
"Mimpi indah, Meyka."
Tut... Tut... Tut.... Meyka memutuskan sambungan sepihak.
Rado berbalik dan meletakkan ponsel di kursi. Setelah itu dia menatap langit bertabur bintang dan bulan sabit yang tampak indah. Namun, pikiran Rado bukan ke arah sana. Dia memikirkan Meyka yang entah kenapa semakin menarik di matanya.
***
Hari Minggu sore, sesuai janji Rado mengantarkan mobil Meyka. Ternyata banyak komponen yang harus diganti. Beruntung pihak bengkel bisa melakukan itu hanya dalam waktu satu hari. Tentu saja atas bujukan Rado. Dia mengusahakan agar Meyka tetap bisa memakai mobilnya saat bekerja. Hasilnya, dia harus membayar mahal.
Tak....
Rado menarik kunci dan melepas sabuk pengaman. Dia turun dari mobil dan berjalan menuju pintu basement. Dia tidak akan menuruti permintaan Meyka. Menurutnya berbahaya menitipkan kunci mobil. Nanti dia yang disalahkan jika ada apa-apa.
Tet....
Beberapa menit kemudian, Rado sampai di apartemen Meyka. Dia memilih menekan bel meski tahu angka kombinasinya. Tentu saja untuk menghindari amukan.
"Udah, ya?" Meyka membuka pintu dan mendapati Rado berdiri dengan satu tangan bersandar. "Berapa totalnya, Kak?"
"Nggak usah."
Meyka menggeleng tegas. Dia mengeluarkan uang dari dompet dan menunjukkan ke Rado. "Kurang?"
"Nggak apa-apa gue aja yang bayar."
"Ogah. Nanti lo minta temenin lagi karena udah bayarin."
Rado menahan tawa. "Tahu aja." Dia menyelinap masuk dan duduk di sofa panjang. Dia meletakkan kunci mobil di meja lalu mengeluarkan struk p********n.
Meyka menghampiri dan mengambil struk itu. Bibirnya terbuka melihat nominal yang tertera. "Wah, perawatannya mahal banget."
"Tapi, terjamin."
"Iya juga, sih!" Meyka berlari ke kamar dan mengambil ponsel. "Gue transfer ke rekening lo, ya, Kak. Berapa?"
Rado menerima ponsel dari Meyka dan menuliskan nomor rekeningnya.
Meyka menerima ponsel itu lagi dan segera melakukan p********n. Setelah itu dia menatap Rado yang duduk santai. "Mau minum?"
"Tumben nggak diusir?"
"Bentar lagi juga diusir." Meyka berdiri dan menuju dapur.
Rado mengedarkan pandang karena apartemen begitu sepi. "Merlin sama Prima nggak balik, ya?"
"Tahu, nggak ngasih kabar," keluh Meyka dari arah dapur. Dia memilih membuatkan kopi, kasihan lelaki itu sudah repot-repot mengantar mobilnya. "Biasanya ke Bandung tanpa ngasih tahu. Yah, Kak Merlin perlu deket, kan, sama keluarga besar Kak Prima."
"Bener." Rado berdiri dan menghampiri Meyka. Dia memperhatikan wanita yang mengenakan celana pendek dengan motif bintang dan kaus oversize berwarna putih. Rambut Meyka dicepol asal dengan bagian tengkuk yang sedikit tertutup anak rambut.
Meyka menoleh merasa sedang diperhatikan. "Sana, gue buatin kopi dulu."
Bukannya menjauh, Rado justru mendekat. Dia mengambil alih sendok berisi gula dan mengembalikan ke tempat semula. "Terlalu manis nanti."
"Oke!" Meyka mengambil cangkir dan menuangkan air panas.
Rado berbalik dan memperhatikan Meyka sekali lagi. "Lo nggak keluar?"
"Nah, mulai lagi."
"Gue cuma tanya, nggak ngajak lo pergi."
"Males keluar," jawab Meyka sambil berbalik. "Gue lebih seneng habisin waktu di apartemen. Biar besoknya nggak capek."
Rado mengangguk mengerti. "Thanks...." Dia menerima kopi dari Meyka dan menyeruputnya pelan.
Meyka berdiri beberapa langkah dari Rado. Dia memperhatikan lelaki itu yang mengenakan kaus pendek dengan celana selutut berwarna krem. Penampilan Rado tampak santai, tetapi tetap menarik perhatian.
"Udah makan?" tanya Rado sambil meletakkan secangkir kopi ke meja.
"Udahlah. Udah sore."
"Kalau makan malam?"
"Udah gue siapin," bohong Meyka. Bukannya percaya diri akan diajak makan, tetapi dia merasa Rado akan membujuk untuk menemaninya.
"Gue belum makan siang." Rado berbalik dan memilih duduk. Dia melihat ada kantung roti dan selai cokelat. "Minta, ya!" Lantas mengambil dua benda itu.
"Kenapa nggak makan?"
Rado mengangkat bahu. "Males aja."
"Inget, lo habis sakit."
"Sekarang enggak!"
"Jangan sombong!" ingat Meyka lantas berbalik. Dia membuka kulkas melihat bahan-bahan yang sebelumnya dibelikan Rado. "Mau makan apa?"
Rado cukup terkejut dengan tawaran itu. "Mau dibikinin?"
"Iya. Maunya apa, asal jangan yang ribet."
"Gue pengen makan udang."
Meyka mengeluarkan udang dari freezer, sambil berpikir akan dimasak apa. "Gambas al ajillo mau?"
"Makanan Spanyol, kan?"
"Iya. Kak Merlin sering bikin itu."
"Oke!" jawab Rado sambil mendorong kantung roti, tidak jadi memakannya. Dia memperhatikan Meyka yang mulai menyiapkan bahan-bahan. "Gue bantu apa?"
"Cuci udangnya."
Rado mendekat dan menatap udang yang hampir menyerupai es batu. "Beku banget," keluhnya sambil membuka plastik penutup.
"Kasih air, biar cepet ilang esnya," pinta Meyka sambil mengupas bawang bombai.
Rado menuruti arahan Meyka. Dia mengambil baskom kecil dan mengisinya dengan air. Barulah dia mengeluarkan udang-udang yang kaku itu. "Kalau nggak ada Merlin, lo masak sendiri, Ka?"
"Lebih sering beli, sih."
"Anti ribet?"
Meyka mengangguk. "Kadang malah males kalau makan masakan sendiri," jawabnya. "Belum lagi beres-beres setelah masak."
"Jangan males-malesan, dong. Kebiasaan nanti."
"Sayangnya udah jadi kebiasaan."
Rado menatap udang dan menusuknya dengan jari. "Kalau udah dibersihin?"
"Taroh aja di situ."
"Oke!" Rado kemudian membersihkan udang .
Meyka melirik Rado yang mau repot-repot membantu. Sebenarnya bukan hal baru. Rado lebih sering membantu masak daripada Prima. Dulu saat masak-masak di rumah Merlin, Radolah yang menjadi asisten. Ternyata sampai sekarang Rado masih mau membantu.
"Udah, nih...." Rado mendekatkan baskom berisi udang setelah itu mencuci tangan.
"Yang bersih, nanti bau. Nanti ngomel-ngomel."
Rado terkekeh. Dia mengambil sabun agak banyak dan mencuci tangan. Setelah itu dia kembali ke kursi dan memperhatikan Meyka.
Meyka fokus dengan masakannya. Sudah lama dia tidak membuatkan makanan untuk orang lain, tentu saja itu membuat gugup. Terakhir, dia memasak makanan untuk Dion empat bulan lalu saat lelaki itu berkunjung ke Jakarta.
"Oh, ya cowok di kafe hubungi lo lagi?" tanya Rado ingat dengan kejadian di kafe.
"Enggak. Cuma sekali doang."
"Oh, berarti dia nyerah."
"Mungkin dia udah pacar," jawab Meyka lalu mulai menumis udang itu.
"Kecewa?"
Meyka berbalik lalu mengangkat bahu. "Gue nggak ada rencana punya pacar lagi dalam waktu dekat."
"Kenapa gitu?"
"Males aja." Meyka kembali menghadap masakannya. Aroma udang yang khas mulai tercium. Dia mencicipi rasanya lalu menambahkan kaldu jamur.
Rado beranjak saat tercium aroma masakan yang menggugah selera. Dia melihat udang-udang itu telah dibaluti oleh bumbu berwarna merah. "Males mulai lagi?" tanyanya kembali ke pembahasan sebelumnya.
Meyka menoleh sekilas. "Iya. Harus kenalan lagi, coba saling kompromi. Ah, maleslah kalau ternyata nggak cocok."
"Kenapa nggak coba deketin orang lama?"
"Temen lama maksudnya?" Meyka mematikan kompor dan mengambil piring di rak atas.
Rado seketika menahan tangan Meyka dan mengambil alih piring itu. "Iya, temen lama."
"Enggaklah. Nggak ada yang potensial."
"Hahaha...."
Meyka memindahkan masakannya ke piring lalu berbalik. "Aku ambilin nasi dulu."
Rado tidak beranjak dan masih memperhatikan Meyka. "Kalau coba sama gue?"
"Ha?" Meyka seontak menoleh dengan kedua alis hampir menyatu. "No, thanks."
"Bagus, deh! Gue juga cuma bercanda," jawab Rado sambil mendekati meja. Dia melihat masakan Meyka dan nasi yang masih hangat. Sepertinya dia akan makan banyak.
Meyka menatap Rado yang berada di sampingnya. "Lagian gue juga bukan selera lo."
Sontak Rado menoleh. Dia memperhatikan Meyka yang tersenyum, tapi sejenis senyuman mengejek. "Ya, lo bukan selera gue," ujarnya. "Tapi, dulu."