"Rado!"
Dua orang yang berjalan bersisian itu mengangkat wajah. Rado yang melihat wanita itu datang kembali seketika semakin pusing. "Huh...."
Meyka mendongak, menatap ekspresi Rado yang tampak kesakitan. Pandangannya lalu tertuju ke seorang wanita dengan rok selutut dan balzer berwarna krem. Tatapan wanita itu tampak tidak suka melihatnya berdekatan dengan Rado. Meyka hendak bergeser, tetapi tangan Rado menahan pundaknya.
"Ayo, Ka!" Rado mengajak lanjut berjalan tanpa menatap wanita yang menunggunya.
"Do, lo kenapa?"
Meyka melihat wanita itu mulai panik. Saat wanita itu mendekat, Rado tiba-tiba mundur. Otomatis dia bergerak mundur.
"Bisa minggir?" pinta wanita itu sambil menatap Meyka.
Rado mengeratkan rangkulannya. Dia lanjut berjalan dan berdiri di unit apartemennya. "Temenin gue bentar, ya!"
Meyka mengangguk. Entah, dia seperti terhipnotis oleh permintaan Rado.
"Gue mau balik," ujar wanita itu. "Nggak mau selesaiin masalah?"
"Ayo!" Rado sedikit mendorong Meyka agar berjalan lebih dulu. Dia lalu menutup pintu tanpa repot-repot menatap tamunya.
"Rado! Kita perlu bicara."
Rado menatap Meyka yang menatapnya ingin tahu. Dia menutup telinga wanita itu agar tidak mendengar teriakan dari luar. Kemudian dia mengajak Meyka menuju ranjang. Wanita itu duduk di pinggir ranjang sementara dia berdiri.
Meyka tahu, Rado tidak ingin ucapan wanita di luar diavdengar. "Gue nggak akan nguping," ujarnya sambil menyingkirkan tangan Rado.
"Bentar." Rado masih menutup telinga Meyka. Dia menunggu teriakan dari luar, tetapi tidak kunjung terdengar. Dia segera menjauhkan tangan dari telinga Meyka dan menuju pintu. Dia membuka pintu dan melihat wanita itu menangis.
"Do, lima menit aja," bujuk wanita itu.
Meyka mampu mendengar suara yang agak parau. Dia berjalan mendekat dan menarik tangan Rado. "Gue pergi aja."
"Masuk."
"Gue...."
"... masuk," jawab Rado agak lemas.
Meyka menghela napas panjang kemudian mundur dua langkah. Menurutnya lebih mudah Rado membiarkannya pergi sedangkan lelaki itu mengobrol bersama wanita itu. "Kalau gini, kan, ribet!"
Rado ternyata masih memperhatikan Meyka. Dia menggerakkan tangan meminta wanita itu duduk. Setelah itu dia keluar dan menutup pintu. "Tiga menit, nggak lebih."
***
Tiga menit Meyka di kamar. Sebenarnya dia sudah membuang-buang waktu. Jam makan siangnya habis karena Rado. Sungguh, dia ingin keluar. Tetapi, ada dua orang yang sepertinya berbicara di dekat pintu.
"Ck! Ngapain juga gue nurut?" geram Meyka lantas beranjak. Dia tidak peduli Rado marah atau tidak. Jika lelaki itu marah, berarti tidak tahu diri padahal sudah ditolong.
Meyka hendak membuka pintu, tetapi benda itu lebih dulu dibuka dari luar. Seketika dia mundur dan menatap Rado. Wajah lelaki itu tampak memerah. Meyka memiringkan kepala lalu Rado tersenyum.
"Maaf, ya."
"Lagian ngapain malah ngurung gue di kamar?" geram Meyka lalu berusaha mendorong Rado. "Gue harus ke kantor."
"Bisa tunggu bentar?"
"Apa lagi?" Meyka menatap Rado lelah.
Rado maju selangkah lalu menutup pintu di belakangnya. "Cewek itu pasti nungguin lo buat minta penjelasan."
"Gue tinggal pergi."
"Dia bakal ngikutin lo."
"Duh! Dosa apa gue, Kak?" Meyka bersandar di tembok sambil mengurut pelipis. "Jam makan siang gue terbuang sia-sia."
Rado mengangguk, sadar dengan kesalahannya. "Sorry, ya," ujarnya. "Tapi beneran, mending nunggu dulu daripada tuh cewek repotin lo."
"Dia cewek yang nggak terima lo tinggalin?"
"Justru dia yang ninggalin gue!" Rado berjalan menjauh dan duduk di ranjang. Dia melepas sepatu sambil menahan rasa pusing yang semakin terasa. Dia tahu, Meyka sekarang tengah menatapnya ingin tahu.
"Cewek itu ninggalin lo?" tanya Meyka tak menyangka. "Sekarang cewek itu balik, kenapa nggak lo kejar, Kak?"
Rado menatap Meyka sambil tersenyum samar. "Kalau sekali dua kali pasti gue kejar."
"Artinya dia sering nyakitin lo?"
"Nggak juga, sih!" Rado berbaring miring dan menatap Meyka. "Sorry, udah bawa lo ke masalah gue."
Meyka berdiri tegak dan memperhatikan Rado yang tampak lemas. Dia tidak tahu apa masalah Rado, tetapi sepertinya sangat berat. "Atau, lo sebenernya pusing gara-gara mikirin tuh cewek?"
"Kenapa tebakan lo bener?"
"Gue cuma sambungin doang," jawab Meyka sambil mendekat. "Wajah lo sekarang makin pucet."
Rado mengurut kening. "Pusing gue makin parah."
"Punya obat? Udah makan, kan?"
"Tadi keluar niatnya mau cari makan."
Meyka menghela napas panjang. "Terus, nggak jadi?" tebaknya. "Kenapa nggak pesen online aja, sih."
"Nanti aja, yang gue butuhin sekarang cuma tidur." Rado menarik tangan Meyka dan mengusapnya pelan. "Thanks udah bantuin."
"Hmm...."
"Kalau mau pergi sekarang nggak apa-apa."
Meyka menarik tangannya perlahan. Dia memperhatikan Rado yang bersiap tidur. Tangannya terulur, menyentuh kening Rado yang terasa hangat. "Gue tinggal, ya."
Tidak ada respons.
"Lo bakal baik-baik aja, kan?"
Mata Rado seketika terbuka. "Hmm...."
"Ya udah, gue balik." Meyka berbalik dan berjalan menuju pintu. Sebelum keluar, dia menatap Rado penasaran. Lelaki itu berbaring miring dengan tangan bersedekap. Meyka seketika keluar, ingat dengan pekerjaan yang telah menunggu.
Setelah mendengar suara pintu ditutup, Rado membuka mata. Dia tidak menyangka wanita itu akan datang di saat dia bersama Meyka. Padahal, dia berusaha menutup rapat-rapat apa yang terjadi, selain kepada Merlin dan Prima.
"Sorry," gumam Rado. Dia tidak mengada-ngada jika bisa jadi wanita tadi menunggu Meyka. Dia hafal dengan wanita yang pernah dicintainya itu.
***
Kejadian tadi siang, ternyata cukup menyita pikiran Meyka. Sesekali dia teringat Rado, tetapi berusaha melupakan. Ketika sudah waktunya pulang kantor, perasaan khawatir itu kian bertambah.
Meyka akhirnya memutuskan untuk menemui Rado. Sebelumnya dia membeli makanan dan obat pusing, khawatir lelaki itu belum makan. Apakah khawatirnya berlebihan?
Tet....
Meyka sampai di apartemen Rado dengan kantung makan di tangan kiri. Dia mengedarkan pandang, lorong apartemen Rado sangat sepi. Selain itu dia juga tidak melihat wanita tadi. Saat keluar tadi dia juga tidak melihat.
"Ck! Lama banget, sih," maki Meyka karena pintu tidak kunjung terbuka. "Kak Rado, ini gue Meyka!"
Ceklek.... Barulah pintu terbuka.
Meyka mengulurkan kantung yang dipegang saat melihat Rado. "Duluan."
"Nggak mau masuk?"
"Makasih."
"Ka...." Rado menatap Meyka yang enggan menatapnya. "Masuk dulu. Ada yang perlu gue omongin juga."
Meyka langsung menyelinap masuk. Dia duduk di ujung ranjang dan menatap Rado tak sabaran. "Apa?"
Rado menutup pintu dan menghampiri Meyka. "Jangan cerita ke Merlin, ya."
"Gue nggak gampang cerita," jawab Meyka. "Paling lo sendiri yang cerita."
"Bener. Awalnya gue cerita ke dia."
"Itu hak lo, Kak."
Rado meletakkan kantung makanan di ranjang dan fokus menatap Meyka. "Emang, wanita itu terus berusaha temuin gue."
Meyka memandang Rado. "Nggak perlu diceritain juga. Itu privasi lo, Kak."
"Karena lo udah tahu, gue ngerasa nggak masalah cerita dikit," ujar Rado. "Kalau lo nggak sengaja ketemu dia, nggak usah dipeduliin."
"Iya. Tenang aja."
"Makasih...." Rado mengusap puncak kepala Meyka. "Makasih udah anter gue ke apartemen. Makasih udah ngirim makanan juga."
Pandangan Meyka tertuju ke sorot mata Rado yang agak sendu. Dia merasa ada masalah yang lebih berat. Tidak mungkin hanya karena wanita itu meninggalkan Rado dan membuat lelaki itu frustrasi.
"Kenapa? Gue menyedihkan?" tanya Rado karena Meyka terus memperhatikan.
"Enggak kok."
"Syukur, deh."
"Ternyata, lo bisa patah hati juga. Nggak kayak semalem nggak mau ngakuin."
Rado menggaruk kepala. "Gue laper, nih!" Dia mengambil kantung yang dibawa Meyka dan membukanya. "Kebetulan banget, gue emang pengen rendang."
Meyka menahan tawa. Ternyata Rado masih saja sok gengsi. "Susah banget buat ngakuin kalau patah hati."
"Enak banget. Makasih, ya!" Rado mengunyah makanan di mulut dan menatap Meyka.
"Kalau gitu gue balik."
"Nggak mau di sini aja?"
"Idih, ngapain!" Meyka buru-buru berdiri. "Cepet sembuh."
Rado ikut berdiri lalu menarik Meyka ke dalam pelukan. "Sekali lagi makasih," bisiknya. "Jangan jutek-jutek lagi ke gue."
Plak.... Meyka memukul punggung Rado kencang.
***
Hari Sabtu pagi, Meyka masih bermalas-malasan di apartemen. Beberapa menit yang lalu Merlin pamit pergi bersama Prima. Tentu saja Meyka diajak, tetapi dia enggan. Meyka lebih memilih mengistirahatkan tubuhnya.
Pukul sebelas, Meyka baru keluar kamar. Dia belum mandi dan belum sarapan. "Sarapan apa, nih?" gumamnya setelah masuk dapur.
Tet....
Meyka mengernyit mendengar suara bel apartemen. "Nggak mungkin Kak Merlin," gumamnya curiga. Hingga, dia teringat satu nama Rado.
"Aduh, masa tuh orang?" gumam Meyka mendadak panik. "Ah, tapi enggak, deh!"
Tet....
"Huh...." Meyka menghela napas berat. "Biarinlah. Gue nggak janjian sama orang." Dia membuka kulkas dan mengambil telur untuk didadar.
Bip....
Saat mendengar suara pintu apartemen terbuka, Meyka segera meletakkan telurnya dan keluar dapur. Dia terdiam melihat seorang lelaki berkacamata cokelat dengan jaket denim. "Kok bisa masuk?"
Rado menatap Meyka yang tersentak kaget. Pandangannya tertuju ke celana pendek dan kaus tanpa lengan Meyka. Kemudian, dia memperhatikan wajah wanita itu yang masih kusut. "Gue pikir nggak ada orang."
"Terus, ngapain langsung dibuka?"
"Mastiin beneran ada orang atau enggak!"
"Mau cari siapa?" tanya Meyka. "Kak Merlin udah pergi."
Rado melangkah mendekat sambil memperhatikan rambut Meyka yang berantakan. Meski dalam kondisi seperti itu, wajah Meyka masih terlihat cantik. Rado tidak menyangka dengan pengelihatannya. "Pengen ketemu lo."
"Gue?" Meyka menunjuk wajahnya. Sadar belum mandi, dia segera menutup mulut dan mundur dua langkah.
"Waktu itu gue minta temenin jalan, kan?"
"Enggak!"
"Iya! Gue tanya lo Sabtu sibuk atau enggak. Lupa?"
Meyka baru ingat dengan hal itu. Dia tidak menyangka jika Rado serius, bahkan sampai menghampirinya. "Gue nggak ada niatan keluar."
"Ka, gue butuh hiburan."
"Silakan hibur diri sendiri." Meyka melewati Rado hendak ke kamar. Tetapi, lelaki itu menahan pundaknya.
"Siap-siap, gue tunggu."
"Enggak!"
"Ya udah, gue bakal di sini. Gue butuh temen."
Meyka bergidik, menurutnya itu buruk. Dia menghindari berduaan dengan Rado, terlebih di suasana sepi. "Ck!" Dia menyentak tangan Rado kemudian berlari ke kamar. "Tunggu!"
"Oke!" Rado berjalan ke ruang tengah sambil melepas kacamata cokelatnya. "Gue udah sembuh, Ka. Berkat obat dari lo."
"Baguslah!"
"Kok lo masih jawab? Nggak siap-siap?"
Meyka berbaring di atas ranjang sambil menahan tawa. "Gue minta lo tunggu, kan?"
Ceklek.... Rado membuka pintu kamar Meyka, tapi tidak mengintip. "Cepet siap-siap! Atau gue tarik nggak peduli lo pakai baju apa!"