8-TERUSIK

1596 Kata
"Lanjut nggak, nih?" tanya Prima. "Gue enggak!" Meyka menggeleng tegas. Merlin mengangguk paham, karena besok Meyka masih harus bekerja. Kemudian dia menatap Rado yang terdiam. "Lo?" "Emm...." Rado menatap arloji lalu menggeleng. "Mending gue pulang." "Kalau gitu nggak jadi," ujar Prima. "Kita balik aja." "Kalian berdua aja yang pergi. Kalian butuh quality time," saran Rado. "Lo pasti masih kangen, kan?" lanjutnya sambil menunjuk Merlin. Merlin dan Prima saling pandang. Mereka akhirnya mengangguk. "Ya udah, gue jalan sama Prima," jawab Merlin sambil menggandeng kekasihnya. "Gue balik, ya!" Meyka melambaikan tangan dan berjalan lebih dulu. "Lo pulang bareng siapa?" tanya Prima. "Bareng Meyka sana. Ka, kasihan Rado nggak ada yang nebengin!" Meyka tetap lanjut berjalan. Dia pikir, Rado akan ikut bersama Merlin dan Prima, ternyata lelaki itu memilih pulang. Dia sudah menebak, Rado pasti akan pulang bersamanya. "Duluan!" Rado melambaikan tangan lalu mengejar Meyka. "Gue boleh bareng nggak, Ka?" tanyanya setelah beberapa langkah di belakang Meyka. Tidak ada respons. Meyka masuk mobil dan memakai sabuk pengaman. Pandangannya lalu tertuju ke Rado yang masih berdiri menunggu jawaban. "Ayo!" Barulah Rado memutuskan masuk. "Gue pikir nggak boleh." "Gue nggak sekejam itu." "Tapi, wajah lo...." "... apa? Jutek?" potong Meyka lalu melajukan kendaraannya. "Capek nggak? Biar gue aja yang nyetir." "Gue masih bisa kok." "Ya udah...." Rado menatap depan, melihat jalanan yang sudah agak lenggang. Drttt.... Samar-samar, Meyka merasakan getar ponsel dari pangkuannya. Tangan kirinya turun dari kemudi lalu mengambil ponsel. Dia mengernyit melihat nomor baru yang menghubunginya. Seketika dia ingat dengan lelaki tadi. Meyka memasukkan ponsel begitu saja, enggan mengangkat panggilan sambil mengemudi. "Siapa?" tanya Rado. "Cowok tadi." "Secepet itu dia hubungin lo?" Rado geleng-geleng. "Emang nggak boleh?" "Kalau gue jadi dia, gue tarik ulur dulu, sih." Rado menahan tawa. "Cewek juga makin tertantang, kan, kalau digituin?" Meyka menggeleng tegas. "Emang si cewek bakal terus kepikiran, tapi cewek nggak suka digituin." "Lo juga gitu?" "Ya. Gue nggak suka nunggu dia telepon. Jadi, gue pastiin telepon duluan," aku Meyka. "Gue juga nggak suka dia ingkar janji." Rado manggut-manggut. "Terus, lo terima cowok tadi?" "Haha. Kenalan aja belum." "Ya maksud gue, lo mau dideketin?" "Sebagai temen nggak masalah," jawab Meyka tanpa menatap lawan bicaranya. "Gue baru aja putus. Sebenernya masih males cari lain, tapi kebetulan ada yang deketin ya udah." "Kebetulan?" Meyka melirik sekilas. "Iya. Kebetulan dipertemukan." "Jangan coba-coba main kebetulan," pinta Rado. "Lo nggak tahu latar belakang cowok itu gimana. Cari tahu dulu sebelum nyesel." "Makasih sarannya." Rado memperhatikan Meyka yang tampak lelah. Ekspresinya kembali seperti saat berangkat ke kafe. Padahal, sebelumnya Meyka begitu antusias. Benar kata Merlin, Meyka jika mood-nya sedang bagus banyak omong. "Kalau lo kenapa putus, Kak?" tanya Meyka ingin tahu. "Siapa yang putus?." "Katanya lo habis putus." "Oh itu? Udah lama, sih." "Terus, kenapa tadi bilang baru saja patah hati?" Meyka mengingat perdebatan sebelum ke kafe. "Beneran bohong." Rado mengacak rambut. "Gue nggak patah hati, Ka. Apaan, tuh." Tanpa sadar Meyka mencengkeram kemudi. Secara tidak langsung, Rado menunjukkan bahwa lelaki itu tidak berubah. Dari dulu, Rado gampang sekali jadian dengan wanita dan memutuskan dengan sepihak. Ternyata sekarang masih sama. Sepertinya, lebih parah dari sebelumnya. "Oh...." "Gue baik-baik aja, Kak. Jangan khawatir." Rado mengusap puncak kepala Meyka. Sesuai dugaan, wanita itu bergeser menghindar. "Sabtu nanti senggang nggak?" "Mau tidur seharian." "Mau temenin gue ke pantai?" "Kenapa nggak ajak Kak Merlin sama Kak Prima?" tanya Meyka. "Temen Kak Rado yang lain juga banyak." Rado tidak langsung menjawab. Dia mengusap kepala Meyka dan menyelipkan anak rambut di belakang telinga. "Teman gue pada hilang." "Nggak mungkin." "Serius," jawab Rado sambil menarik tangannya dan fokus menatap depan. "Mau nggak temenin? Gue udah nggak hafal jalan di sini." Meyka menghela napas berat. "Nanti gue kabarin lagi, ya! Takutnya ada lemburan." "Oke. Gue tunggu kabar lo." Meyka menoleh, ternyata Rado juga menoleh. Meyka melihat Rado yang tersenyum samar. Dia buru-buru membuang muka dan mencoba biasa saja. *** Pagi hari, tubuh Meyka terasa agak kaku. Dia yakin, penyebabnya karena semalam nge-dance terlalu bersemangat. "Aduh," keluhnya sambil memijit bagian leher. Meyka masuk dapur dan tidak mendapati makanan yang tersaji. Dia menatap Merlin yang memakan roti sambil malas-malasan. "Nggak sempet masak?" "Gue baru tidur tiga jam." "Ck! Ke mana aja semalem?" Meyka mengambil roti dan mengoleskan dengan cokelat. "Terus, kenapa bangun?" Merlin membuka matanya agak lebar. "Gue pikir masih bisa bikinin lo sarapan." "Nggak perlu repot-repot. Gue bisa beli." "Lo tanggung jawab gue." "Lo emak gue dong," canda Meyka lalu duduk di depan Merlin. Dia memakan rotinya sambil memperhatikan rambut Meyka yang berantakan. "Kalau capek, nggak perlu masakin gue. Gue harus mandiri, bentar lagi lo nikah." Merlin menahan tawa. "Oh ya, cowok semalem udah hubungin lo?" Meyka seketika ingat dengan telepon lelaki itu semalam. "Udah, tapi nggak gue angkat." "Kenapa? Lo nggak suka?" "Dia telepon pas gue nyetir." "Terus, dia nggak telepon lagi?" "Enggak!" Meyka menggeleng. "Dia ngerasa udah malem kali." "Terus, lo semalem nganter Rado sampai apartemen." "Iyalah." "Dia nggak aneh-aneh, kan?" Mata Meyka seketika memicing. "Aneh yang kayak gimana maksudnya?" Merlin melipat kedua tangan di atas meja dan fokus menatap Meyka. "Mungkin dia marah-marah, atau mood dia naik turun." Meyka mencoba mengingat. "Sempet agak badmood dia. Emang ada masalah?" "Gara-gara tuh cewek!" "Cewek siapa?" "Eh...." Merlin tidak sadar telah menyuarakan isi kepalanya. "Bukan siapa-siapa." Dia berdiri dan memaksakan senyuman. Sayangnya, Meyka mendengar dengan jelas ucapan Merlin. Siapa cewek yang dimaksud? Apa hubungannya dengan Rado? "Kayaknya dia emang punya pacar," gumam Meyka sambil memakan rotinya. "Ah, omongannya nggak bisa dipercaya." *** Drttt.... Lelaki yang masih terlelap dengan posisi tengkurap itu terdengar mendengar getar ponsel di atas kepala. Dia masih nyaman di alam mimpi. Tidak peduli jika matahari telah naik. "Hoam...." Rado menggeliat saat dadanya terasa sakit. Sepertinya dia sudah lama tidur dengan posisi tengkurap. Seketika dia berbaring terlentang dan mencoba tetap tidur. Sayangnya, setelah lima menit berlalu Rado belum bisa kembali ke alam mimpi. Rado membuka mata lalu mengusap bagian sudutnya. Dia menatap ke arah balkon dan melihat langit tampa cerah. Setelah itu dia mengambil ponsel dan melihat waktu telah menunjukkan pukul sebelas. Saat itulah Rado melihat beberapa panggilan tidak terjawab dari nomor baru. "Dia nggak ada capek-capeknya ganggu gue," gerutu Rado lalu meletakkan ponsel kembali. Dia turun dari ranjang sambil mengacak rambut. "Ah, berat banget kepala gue." Dia memukul kepala yang tiba-tiba berdentum. Tiga puluh menit kemudian, Rado memutuskan keluar apartemen. Rasa pusing di kepalanya masih terasa, tetapi dia tetap harus keluar untuk mencari makan. Bisa saja dia memesan makanan online, tapi dia yakin akan tetap pusing jika tidak menghirup udara bebas. Entahlah, menurut Rado terkadang berada di keramaian dan merasakan embusan angin membuat rasa pusingnya menghilang. Rado memutuskan berjalan menuju deretan perkantoran. Di sana banyak kafe yang menyediakan makanan enak. Sekaligus, dia berharap bertemu dengan Meyka. Jangan salah paham dulu, dia butuh bertemu orang untuk mengalihkan rasa pusingnya juga. "Ah, kebetulan," gumam Rado melihat beberapa karyawan keluar dari kantor Meyka. Dia menatap arloji yang telah menunjukkan pukul sebelas lebih tiga puluh lima menit. Dia memutuskan berjalan pelan sambil menunggu wanita itu. Ternyata setelah melewati kantor, Meyka tidak kunjung terlihat. Rado akhirnya memutuskan ke kafe tempatnya bertemu dengan Meyka. "Dia pasti di sana." Begitu masuk kafe, banyak karyawan kantor yang mengantre untuk memesan kopi sedangkan meja-meja lain masih banyak yang kosong. Rado memutuskan duduk di kursi terdekat dan menyandarkan kepala. Rasa pusing di kepala Rado ternyata semakin menjadi. Jika sudah begini, keluar bukan lagi menjadi obat, tetapi dia benar-benar butuh obat. "Sial banget." "Aduh, antreannya panjang banget!" Rado mengangkat wajah mendengar suara yang tidak asing. Dia melihat seorang wanita sambil membawa dompet kecil berdiri di dekat pintu. "Ka!" Dia hendak berdiri, tetapi dentuman di kepalanya kembali terasa. Merasa ada yang memanggil, Meyka menoleh. Dia mendengus begitu melihat Rado. Sepertinya kafe ini menjadi kafe favorit Rado. Padahal, itu juga tempat favoritnya. Tidak mungkin dia mencari kafe lain agar menghindari lelaki itu. "Sini," pinta Rado sambil menggerakkan tangan. Meyka menatap antrean yang masih mengular. Dia memutuskan mendekat dan melihat Rado mengernyit. "Kenapa?" "Agak pusing gue." "Kalau udah ngerasa pusing kenapa keluar?" "Biasanya pusing gue bakal ilang," aku Rado sambil memaksakan senyuman. "Mau cari makan siang?" Meyka menggeleng. "Tadi udah beli, tinggal beli kopinya aja." "Oh...." Meyka memperhatikan Rado yang sesekali memejamkan mata. Sepertinya lelaki itu tidak hanya pusing biasa. "Beneran pusing?" "Beneran, lah. Masa boongan?" Rado mengurut kening. "Kayaknya mending gue balik." "Naik taksi aja." "Enggaklah. Apartemen gue deket sini." "Kalau kenapa-napa gimana?" "Gue kuat kok." Rado perlahan berdiri dan memaksakan senyuman. "Duluan, Ka." Dia berjalan keluar sambil menahan dentuman di kepala. Meyka berbalik, melihat Rado yang berdiri dengan satu tangan memegang kepala. Ada rasa kasihan yang tiba-tiba muncul. Lelaki itu tinggal sendiri, jika sakit pasti akan kesusahan. Meyka sudah berkali-kali merasakan itu. "Aduh!" Meyka seketika berdiri dan berlari keluar. "Ayo gue anter!" Rado masih mendengar suara itu, tetapi dia tidak menoleh. "Makasih." Meyka berlari mendekat lalu memegang siku Rado. "Daripada lo pingsan." "Gue nggak selemah itu." "Nggak apa-apa gue anter aja." Meyka mengeratkan pegangannya dan lanjut berjalan. "Pusingnya makin bertambah?" Rado mengangguk. "Biasanya nggak sepusing ini." "Tekanan darah lo lagi rendah kali." "Bisa jadi," jawab Rado. "Terlalu banyak mikir." "Mikir apaan? Kan, nggak kerja." Rado menggerakkan tangan dan merangkul Meyka. "Namanya juga manusia hidup, pasti ada aja yang dipikirin." Beberapa menit kemudian, Meyka dan Rado sampai apartemen. Rado masih merangkul Meyka, khawatir kehilangan keseimbangan. Sedangkan Meyka merangkul pinggang Rado. Tring.... "Ayo!" Rado melangkah lebih dulu. "Apartemennya nyaman, kan?" Meyka sejak masuk apartemen sudah berdecak kagum. Memang apartemen itu masih baru dan jelas lebih moderen. "Iya." "Nggak mau beli apartemen di sini biar deket sama kantor?" "Mahal." "Rado!" Dua orang yang berjalan bersisian itu mengangkat wajah. Rado yang melihat wanita itu datang kembali seketika semakin pusing. "Huh...."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN