2 - Kirana

1266 Kata
Raden Rara Kirana, Biasa dipanggil Kirana, adalah putri Bupati Sidoarjo. Berparas ayu, berusia 17 tahun. Pagi itu, Kirana yang baru selesai mandi, hendak menuju ruang tamu. Sekedar menjalankan kewajiban menyapa ayah nya dimana rutin menghabiskan secangkir kopi pagi sebelum berangkat tugas. Perjalanan Kirana cukup memakan waktu karena halaman rumah memang sangat luas. Kamar pribadinya sendiri berada terpisah dengan bangunan utama. Langkah kaki Kirana, bertahan teratur. Tak terlalu cepat, juga tak terlalu lambat. Bagaimanapun juga, sudah menjadi pengajaran dasar bagi gadis ningrat, memiliki tata krama tertentu pada berbagai hal. Salah satunya cara berjalan. Sepanjang perjalanan, Kirana berpapasan dengan beberapa saudara atau saudarinya, dimana telah melakukan kewajiban pagi seperti hendak akan ia lakukan, menyapa sang ayah. Kirana menyempatkan berhenti beberapa kali guna bertukar sapa dengan saudara-saudara nya. Hal yang membuat perjalanan bertambah semakin lama. Saudara Kirana sendiri, berjumlah cukup banyak, tak lepas dari kebiasaan ningrat jawa berkedudukan tinggi seperti layaknya sang ayah yang terbiasa untuk mengambil banyak istri. Raden Mas Adiwangsa, ayah Kirana yang merupakan Bupati Sidoarjo, memiliki total 3 istri sah, belum termasuk beberapa istri siri di luaran sana yang telah di cerai. Anak-anak dari hubungan dengan istri siri, tetap bertahan tinggal di rumah. Alasan kenapa saudara Kirana, berjumlah cukup banyak. Kirana sendiri, merupakan anak dari istri sah ketiga. Ibu Kirana cukup beruntung. Meskipun bukan golongan ningrat, hanya rakyat biasa, namun di nikahi secara sah oleh sang ayah. Semua tak lepas dari paras cantik sang ibu, dimana jauh diatas rata-rata gadis jawa pada umumnya. Desas-desus mengatakan, salah satu leluhur jauh pihak ibu Kirana, sempat diperistri oleh saudagar Arab. Meninggalkan warisan genetik khas bangsa-bangsa arab. Hidung mancung, serta wajah cukup eksotis dimana berpadu dengan wajah Jawa. Warisan yang tampak juga menurun pada Kirana. Saat ibu Kirana menjadi Istri favorit ayahnya, Kirana, menjadi anak gadis yang begitu di sayang. Hanya saja, karena ibu Kirana bukan berasal dari golongan ningrat, Gelar yang hadir pada nama awal Kirana, bukan Raden Ayu layaknya saudari wanita lain dari istri bergaris darah ningrat sama seperti sang ayah. Kirana mendapat awalan gelar Raden Rara. Sesuai tradisi dari anak seorang istri yang berasal dari golongan rakyat biasa. "Wahhh… Kirana! Anakku yang paling cantik!" Raden Mas Adiwangsa, ayah Kirana, Bupati Sidoarjo, segera menyambut dengan wajah ceria saat melihat sosok Kirana berjalan dengan langkah sopan memasuki ruang tamu. "Kirana menyapa Ayahanda!" ucap Kirana, setelah mengambil duduk bersujud di hadapan sang ayah. "Lepas semua hal macam itu! Cepat kemari nak! Lebih dekat!" balas Ayah Kirana. Menurut, Kirana yang masih bersujud, mulai mendekati sang ayah dengan kedua lutut. "Anak cantik…! Anak cantik…!" Raden Mas Adiwangsa, mengusap lembut kepala Kirana penuh kehangatan. Tampak benar begitu menyayanginya. Kehadiran Kirana, segera membuat saudaranya yang lain, dimana sampai terlebih dahulu di ruang tamu, tak lagi mendapat perhatian dari Raden Mas Adiwangsa. Semua perhatian, kini tercurah hanya untuk Kirana. Sikap tegas yang selalu ditampilkan Raden Mas Adiwangsa sebagai seorang Bupati, bahkan dihadapan anak-istrinya, tak berlaku untuk Kirana dan Sang Ibu. Pembawaan Raden Mas Adiwangsa berubah halus dan penuh kelembutan. Seolah Kirana dan Istri ketiganya, adalah harta paling berharga. Satu sisi, sikap sang ayah jelas bagus bagi Kirana, sejak kecil, ia selalu mendapat luapan kasih sayang tak terbatas. Namun di sisi lain, itu juga memberi dampak buruk. Dimana Kirana, berakhir di kucilkan oleh saudara-saudaranya yang lain. Merasa iri dengan bagaimana perlakuan beda ayah mereka pada Kirana. Seperti saat ini, ketika sang ibu yang duduk bersimpuh di sebelah ayahnya memandang Kirana dengan penuh bangga dan kasih, dua ibu tiri Kirana dimana juga duduk bersimpuh di sekitar sang ayah, menatap tajam penuh ketidaksukaan pada Kirana. Tatapan sama, juga di beri oleh saudara yang hadir di ruang tamu. Sakit hati di abaikan oleh ayah mereka. "Kirana, setelah ini kembali ke kamar! Siapkan pakaian paling indah!" ucap Raden Mas Adiwangsa, masih mengusap lembut kepala Kirana. "Baik Ayahanda!" balas Kirana. Sama sekali tak mempertanyakan apapun. Bagaimanapun juga, sudah didikan dari dini bagi ningrat jawa bahwa seorang anak, tak boleh membantah intruksi orang tuanya. Terutama sosok Ayah. Kirana hanya dapat menduga, bahwa ayahnya, hendak akan mengajak untuk menghadiri satu acara penting. Atau berkunjung menghadap sosok berkedudukan tinggi. Dalam beberapa tahun belakangan, memang itu sudah menjadi kebiasaan Raden Mas Adiwangsa mengajak anak gadis paling disayanginya tersebut, pada berbagai acara penting.  Bupati Sidoarjo ini, seolah sengaja memamerkan bahwa ia memiliki anak gadis yang begitu cantik. Seorang ayah yang bangga pada anak gadisnya. Kebiasaan yang di kemudian hari, nyatanya akan sangat ia sesali. Karena berdampak pada satu peristiwa yang begitu memukul hati Raden Mas Adiwangsa. Pagi hari menjelang siang, setelah Raden Mas Adiwangsa menyelesaikan kopi pagi, menggunakan sebuah kereta kuda berdesain cantik, bersama Kirana, ia berangkat meninggalkan halaman rumah. Sepanjang perjalanan, Kirana yang telah memakai pakaian cantik nan indah, menghabiskan waktu dengan diam. Memandangi keindahan pematang sawah daerah Sidoarjo. Sesekali, mata Kirana terpaut pada sosok-sosok anak kecil yang bermain di sekitar persawahan. Senyum kecil, tersungging pada wajah ayu Kirana. Jelas menyukai anak-anak. "Kuperhatikan kau begitu suka dengan anak kecil!" ucap Raden Mas Adiwangsa, memecah situasi hening perjalanan. "Benar Ayahanda! Begitu senang hati ini melihat tingkah mereka!" balas Kirana. "Ohhh… Ayahanda dan ibumu, sedang mengusahakan agar kau mempunyai adik!" ucap Raden Mas Adiwangsa. Memasang senyum penuh kasih pada Kirana. "Benar begitu?" tanya Kirana, dengan nada manja. Saat tak ada orang lain, Kirana agak berani bersikap manja di hadapan ayahnya. "Tentu! Apapun untuk anak gadisku yang paling cantik!" balas Raden Mas Adiwangsa. Mengusap lembut kepala Kirana. "Ayahanda, hari ini kita kemana?" tanya Kirana. Menjadi bunga hatinya mendengar akan memiliki adik. "Surabaya! Tuan Agung Asisten Residen Kota Surabaya, ingin ayah menghadap! Ada beberapa urusan yang perlu di laporkan!" balas Raden Mas Adiwangsa. Mendengar tujuan adalah Surabaya, raut wajah Kirana berkembang antusias. Bagaimanapun juga, sangat jarang berkesempatan untuk mengunjungi Surabaya yang terkenal ramai. Raden Mas Adiwangsa, menghabiskan waktu perjalanan dengan hati bahagia, menikmati bersama anak gadis kesayangan tanpa ada yang mengganggu. Sepanjang perjalanan sendiri, banyak penduduk yang menyempatkan berhenti saat berpapasan dengan kereta. Memandang penuh kekaguman sosok Kirana yang begitu ayu bak penggambaran Dewi-Dewi dalam cerita rakyat. Raden Mas Adiwangsa, terus memasang wajah sumringah. Menyukai bagaimana tiap orang memandang penuh kekaguman pada sosok anak gadisnya. Sebuah sikap yang sebenarnya cukup tak wajar, dimana biasa para bangsawan Jawa, tak akan senang atau berkembang terisinggung saat ada rakyat biasa yang memandangi anak gadisnya. Raden Mas Adiwangsa, tampak telah terpengaruh kebiasaan orang-orang Eropa, karena memang sempat mengenyam pendidikan Eropa. Alumni HBS kota Surabaya. Sekolah untuk anak-anak golongan Eropa, Indo, dan juga Ningrat pribumi. Memiliki guru yang didatangkan langsung dari Eropa. Sampai di kediaman Asisten Residen kota Surabaya, Tuan Jan van der Beele, Kirana dapat melihat, bagaimana sang ayah, Bupati Sidoarjo yang biasa terpandang dikalangan pribumi, begitu tinggi kedudukan sosial untuk bahkan menatap langsung sembarangan pada mata adalah sebuah kesalahan, kini tampak bukan siapa-siapa. Tuan Jan van der Beele, bersikap seolah ayah Kirana, cuma petugas biasa. Beberapa kali membentak. Sementara sang ayah, hanya menunduk. Tak berani membantah. Pertemuan, berlangsung cukup singkat, tak layak dengan lamanya perjalanan menggunakan kereta kuda Sidoarjo-Surabaya. Pada sore hari, Tuan Jan van der Beele, menyuruh ayah Kirana pergi. Mengatakan ada urusan penting. Hendak menyambut kedatangan putranya yang baru menyelesaikan pendidikan di Belanda. Raden Mas Adiwangsa, pulang dengan satu hal yang menurut Kirana cukup aneh. Dimana sepanjang perjalanan, dirinya yang sedari tadi sering dibentak, nyatanya merasa berbangga diri. Merasa telah menjadi orang penting karena berkesempatan untuk diundang langsung ke kediaman Asisten Residen. Kirana, hanya mendengar kalimat-kalimat bangga sang ayah. Dalam diam memandangi gedung-gedung perumahan khusus Totok Eropa yang menurutnya sangat indah. Sampai pada momen tertentu, kereta kuda Kirana, berpapasan dengan kereta lain. Sesosok pemuda yang tampak adalah Totok Eropa, berperawakan gagah dengan wajah rupawan, tak henti menatap kearah dirinya. Kirana, membalas tatapan Willem van der Beele, hanya dengan lirikan singkat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN