(Satu tahun berselang, kediaman Asisten Residen kota Surabaya, Tuan Jan van der Beele)
Mengenakan setelan baju rapi, aku berjalan meninggalkan pintu rumah. Menyusuri halaman yang cukup luas, untuk kemudian sampai di depan gerbang.
"Tuan Willem…!"
Kereta kuda, telah menunggu tepat di muka gerbang, bersama Aldert turun menyambut.
"Hmmmm…!" gumamku singkat. Sekedarnya membalas salam sapa Aldert.
Menyempatkan untuk menoleh kebelakang, melambai pada sosok ibuku yang memperhatikan keberangkatan anaknya pada teras rumah, tanpa menunda, aku segera menaiki kereta.
Seperti biasa, Aldert memastikan terlebih dahulu bahwa aku telah berada dalam posisi nyaman, sebelum kemudian, ikut naik keatas kereta.
"Wardiman! Kita berangkat…!"
Menoleh sejenak meminta ijin padaku, Aldert memberi instruksi pada kusir kereta, untuk mulai berangkat saat melihat tanda anggukan yang kuberi.
Derap langkah kaki kuda, diiringi dengan suara berdecit kereta ketika itu mulai bergerak tertarik kedepan, menjadi alunan pertama menemani aktivitas pagi hari itu.
Aku lebih banyak diam sepanjang perjalanan. Menikmati memandang sekitar.
Menerobos jalan halus daerah perumahan totok Eropa, visi pagi hari yang akan selalu menyambut tiap aku berangkat meninggalkan rumah, itu adalah para gadis lajang totok Eropa, kebanyakan tentu saja adalah Belanda, berdiri pada teras rumah masing-masing.
Tiap dari gadis-gadis tersebut, berdiri dengan memakai pakaian terbaik mereka. Mengikat rambut seindah mungkin.
Saat keretaku bergerak melewati depan rumah, segera mereka akan melambaikan tangan, memberi senyum hangat. Sikap ramah yang kusambut dengan hanya mengangguk singkat.
Bukan bermaksud sombong atau apa. Terakhir kali aku membalas senyum dari salah satu gadis dengan senyum yang sama, sekedar menunjukkan sikap ramah, itu ternyata menyebabkan rangkaian peristiwa yang benar-benar tak terduga.
Entah apa yang dipikirkan oleh gadis tersebut. Atau memang ada yang salah dengan otaknya. Hanya balas senyum ramah sederhana, ia menganggap aku menaruh minat.
Menceritakan pada kedua orang tua nya dengan menambah beberapa bumbu fiktif berlebih, dimana diakhiri dalam satu bulan penuh, kedua orang tua gadis tersebut, terus berkunjung ke rumah. Menemui ayahku, untuk hanya mengangkat satu topik pembahasan tiap akan pulang. Yakni apakah ada kemungkinan aku dan putri nya, mengatur sebuah pertunangan.
Status sebagai anak dari Asisten Residen, sosok terpandang Kota Surabaya, juga sebagai pemuda yang menyelesaikan pendidikan di Eropa sebelum pergi ke tanah koloni, tampaknya menjadi satu daya tarik luar biasa dimana membuat setiap gadis totok Eropa, menaruh minat padaku.
Ibuku sendiri, cukup tak sejalan saat aku mengangkat topik ini dalam suatu kesempatan. Menurutnya, yang membuat para gadis jatuh hati, bukan status atau apa, itu lebih pada paras wajahku yang menurutnya sangat rupawan. Juga tubuh gagah yang kumiliki.
Pendapatan yang cukup kubalas dengan senyum sederhana. Karena jelas adalah bentuk buaian seorang ibu kepada anaknya.
Bagaimanapun juga, dari beberapa buku yang sempat k****a sebelum berangkat menuju tanah koloni, aku dapat menangkap serta memahami beberapa karakter umum orang-orang totok Eropa di tanah koloni.
Salah satunya adalah karakter dari keturunan yang lahir dan besar di tanah koloni. Hampir tiap dari mereka, memiliki hasrat serta impian, untuk suatu saat datang berkunjung serta menetap di tanah air. Benua Eropa.
Cara paling mudah, terutama bagi gadis-gadis Totok Eropa, tentu dengan menyasar sosok seperti aku. Pemuda berstatus tinggi yang memiliki kemungkinan besar suatu saat akan pulang kembali ke tanah air.
Menikah denganku, adalah tiket emas bagi para gadis Eropa, untuk memenuhi impian mereka.
Impian, yang sebenarnya menurut hemat pribadiku, cukup mengherankan. Bagaimanapun juga, aku tak yakin para keturunan yang lahir di tanah koloni, akan bisa membiasakan diri hidup di Eropa.
Terbiasa hidup mudah berlinang harta dan kehormatan, begitu ditinggikan posisinya oleh kaum pribumi, entah apa yang akan mereka rasakan saat semua kemudahan hidup tersebut, tiba-tiba lenyap saat sampai di tanah Eropa. Menjadi warga biasa kerajaan Belanda.
Contoh paling mudah untuk mendeskripsikan perbedaan status, bisa kuambil dari diriku sendiri. Saat ini juga.
Di Eropa, aku hanya warga biasa tanpa status apapun. Satu dari ribuan pelajar muda. Dan begitu sampai di tanah koloni, lihat bagaimana aku tiap hari berangkat pagi menaiki sebuah kereta kuda dengan desain nan megah. Jenis kereta yang dulu cuma bisa kupandangi penuh kekaguman saat anggota kerajaan Belanda, kebetulan lewat di jalanan depan rumah.
Bahkan kemanapun aku pergi, akan selalu ada dua orang pengawal yang ikut bersama. Menemani sekaligus menjaga. Aldert dan Wardiman.
Aku, Willem van der Beele, menjelma seolah anggota keluarga kerajaan saat menginjak tanah koloni.
Yang menyambut derak laju keretaku saat meninggalkan area perumahan khusus Totok Eropa, memasuki kampung-kampung pribumi, adalah tiap dari penduduk kampung, akan menghentikan aktivitas. Menunduk hormat.
Bangga? Tentu! Namun itu hanya sedikit yang kurasakan.
Lebih banyak justru entah kenapa aku merasa canggung. Satu hal yang tentu akan ditanggapi tatapan aneh serta kerutan kening oleh sesama Eropa seumpama aku menceritakan. Karena bagaimanapun juga, tiap-tiap dari mereka, tampak sangat menikmati segala sikap penuh hormat dan tunduk para pribumi.
Perlu beberapa minggu awal sejak datang ke kota ini sampai aku mulai terbiasa. Terbebas dari rasa canggung. Bisa dikatakan juga sebenarnya bukan terbiasa, aku hanya coba mengabaikan.
"Hmmmm…"
Cukup jenuh mengamati jalan, dimana memang selalu kulewati tiap pagi dan sore selama kurun waktu satu tahun belakangan, aku yang awalnya menatapi hijaunya pematang sawah, ganti mengarahkan mata pada punggung Wardiman.
"Wardiman! Ceritakan padaku mengenai sukumu!" tanyaku.
Dengan logat yang khas, Wardiman kemudian tanpa menunda mulai berkisah. Tampak benar sangat antusias dan bangga menceritakan sukunya. Suku Madura.
Aku hanya diam. Mendengar Wardiman mulai bertutur sembari mengemudikan kereta.
Sosok Wardiman sendiri, sebenarnya cukup terkenal dikalangan orang-orang Kota Surabaya.
Wardiman adalah seorang jagoan.
Meskipun tak bertubuh tinggi-besar layaknya tentara Eropa, Wardiman, memiliki pembawaan yang bisa dikatakan sangat gahar.
Wajah yang kerap kali tertangkap memasang ekspresi bengis. Lengkap dengan kumisnya yang begitu tebal, melintir keatas, sementara sebuah senjata yang ia perkenalkan dengan nama celurit, tiap saat terselip pada pinggang.
Sosok Wardiman yang selalu memakai setelan baju corak bergaris merah putih, konon adalah mantan pemimpin gerombolan rampok.
Disegani dalam kalangan sesama Pribumi, karena memiliki ilmu bela diri luar biasa.
Karir rampok Wardiman, kandas saat kelompoknya yang sempat meresahkan, diringkus oleh pasukan Belanda.
Hendak akan di eksekusi mati, nyawa Wardiman terselamatkan saat Jan van der Beele, ayah dari Willem. Sang Asisten Residen kota Surabaya, menggunakan pengaruhnya untuk melepas Wardiman.
Oleh Jan, hukuman Wardiman, diganti dengan pengabdian seumur hidup, berkembang justru mengangkat sebagai pengawal pribadi.
Terselamatkan dari nasib mati dalam eksekusi, Wardiman, menyambut pergantian hukuman, sebagai bentuk anugerah. Bersumpah setia dan sepenuh hati mengabdi pada Tuan Jan van der Beele.
Sumpah yang tetap ia junjung saat Jan van der Beele, menugaskan untuk kini Wardiman mengawal putranya, Willem van der Beele, kemanapun pergi.
Aku masih mendengar Wardiman bercerita, sampai tak terasa, kereta kuda yang kunaiki, tiba-tiba berhenti. Telah sampai di lokasi tujuan.
"Tuan…! Nanti saya lanjutkan saat perjalanan pulang!" Ucap Wardiman. Dengan nada bicaranya yang terdengar sangat khas.
Kalimat Wardiman, kusambut dengan anggukan singkat serta senyum tipis bersama aku melangkah turun dari atas kereta kuda.
"Hiya…!"
Wardiman, pergi membawa kereta kuda.
"Aldert! Apakah ada jadwal penting hari ini?" tanyaku pada Aldert yang setia dibelakang.
"Tuan… Untuk pagi ini, tak ada yang khusus, anda bisa memulai untuk inspeksi rutin!" balas Aldert, sembari membuka catatan.
"Namun di sore hari, Hong Kui, saudagar Tionghoa yang kemarin sempat kusebut, berharap bisa bertemu dengan anda untuk membahas beberapa bisnis ternak!" lanjut Aldert.
"Baik…!"
Mendengar pagi ini jadwalku cukup lenggang, aku mulai berjalan memasuki area khusus berhalaman depan luas. Terus berjalan menuju sebuah bangunan cukup besar, dimana pada depan bangunan, terdapat sebuah pagar dengan papan nama bertulis.
-Perusahaan Pertanian der Beele-
Aku, Willem van der Beele, dalam kurun waktu satu tahun sejak pertama menginjak kaki di tanah koloni, sukses mendirikan sebuah perusahaan pertanian terbesar di kota Surabaya. Biasa dikenal dengan Perusahaan Pertanian der Beele.