Desir angin laut yang seperti biasa terasa sangat kencang, dimana memiliki aroma khusus yang tak bisa terdeskripsikan, menerpa wajahku saat kapal yang telah kunaiki selama kurang lebih 6 pekan, akhirnya sampai di tujuan.
Tanjung Perak, begitu Sang kapten kapal, salah satu sosok akrab denganku selama perjalanan, menyebut pelabuhan yang sebentar lagi akan menerima kapal nya untuk berlabuh.
Perjalanan dari Belanda ke Hindia, tepatnya Surabaya lokasi tujuanku, berjalan cukup memakan waktu lama karena kapal yang kunaiki, harus melewati rute dagang.
Sang Kapten, menerima beberapa pesanan khusus dari pihak kerajaan agar singgah di beberapa lokasi tertentu. Membawa pulang sumberdaya penting khas wilayah Asia, untuk memenuhi kebutuhan rumah.
Berangkat dari Belanda, kapal awalnya mengikuti rute normal dengan menyisir belahan sisi benua Afrika. Jika dilihat menggunakan peta, rute yang wajar dipakai oleh Bangsa Eropa ini, seperti sebuah telapak tangan yang sedang membelai sisi wajah Afrika.
Belaian, akan berhenti pada dagu, ujung paling bawah benua Afrika, biasa di sebut dengan nama, Tanjung Harapan.
Lokasi dimana menjadi titik balik awal para nenek moyang kami, bangsa Eropa yang melakukan penjelajahan samudra guna mencari pusat sumberdaya rempah-rempah, untuk akhirnya menemukan arah yang tepat.
Disebut sebagai Tanjung Harapan, karena dari titik inilah, dimulainya bangsa kami berhasil meraih segala kejayaan.
Dari Tanjung Harapan, ujung terbawah benua Afrika, kapal-kapal bangsa kami, tinggal berlayar lurus untuk sampai pada lokasi-lokasi yang telah lama diidamkan.
Rute tercepat untuk sampai di Hindia, sebenarnya tinggal menerjang lurus dari Tanjung Harapan, membelah Samudera Hindia, untuk kemudian sampai di Selat Sunda.
Tinggal menyusuri pantai-pantai Pulau Jawa sebelum kapal akan sampai di Pelabuhan Tanjung Perak. Dengan rute ini, perjalanan akan cukup memakan waktu empat pekan. Atau satu bulan.
Hanya saja seperti sempat kusampaikan diawal, Sang Kapten Kapal, kawan karib selama perjalanan, harus melewati rute dagang.
Kapal yang ia kemudikan, menyempatkan mampir ke wilayah India. Singgah sementara waktu untuk memuat beberapa keperluan, sebelum kemudian melanjutkan perjalanan menuju Selat Malaka.
Menyusuri Sumatera, hingga bertemu Pulau Jawa. Rute ini, menambah dua pekan perjalanan lebih lama.
Aku cukup beruntung karena kapal yang kunaiki, tak mendapat permasalahan apapun sepanjang perjalanan. Cukup lancar tanpa hujamam badai maupun hadangan para Perompak Selat Malaka yang terkenal ganas.
Kapal, berlabuh dengan sempurna tepat ketika matahari, telah sampai pada ufuk barat. Menyajikan pemandangan cukup berkesan bagiku.
Warna Jingga nan indah pada langit sore kota Surabaya, adalah penyambut paling awal dari pijakan kaki pertamaku di kota ini.
Seumur hidup tinggal di Belanda yang memiliki empat musim, harus jujur kuakui bahwa aku begitu antusias ingin merasakan bagaimana tinggal di satu wilayah yang sepenuhnya memiliki iklim berbeda. Yakni Tropis.
Menyempatkan memberi salam perpisahan pada kawan karib selama perjalanan, Sang Kapten kapal yang seperti tak lelah memasang senyum ramah, aku turun dari kapal.
Itu hanya beberapa detik setelah kakiku memijak tanah Hindia, sekilas menikmati pemandangan unik di sekitar sampai satu suara, terdengar memanggil.
"Tuan Willem!"
Sesosok pemuda, berjalan mendekat dengan langkah terburu. Terus melambaikan tangan seolah takut kehilangan keberadaanku.
Tindakan yang tentu kusambut dengan senyum tipis. Merasa pria muda ini cukup jenaka. Bagaimana tidak, memang kemana aku akan hilang? Ini adalah saat pertama aku sampai di wilayah Hindia. Sama sekali tak tahu arah.
Harapan satu-satunya untuk sampai ke lokasi tujuan selanjutnya, cuma dengan mengikuti pemuda ini dimana bertindak sebagai penyambut serta penunjuk jalan yang tentu di utus oleh ayahku.
"Tuan Willem! Akhirnya anda sampai! Saya sudah menunggu cukup lama!" ucap sang pemuda. Tepat setelah sampai dihadapanku.
Willem van der Beele. Itulah nama lengkapku. Anak dari salah satu sosok penting Kota Surabaya, Jan Van der Beele, ayahku, adalah seorang Asisten Residen.
"Kita akan langsung berangkat atau anda ingin berkeliling terlebih dahulu? Saya bisa memberi tur perkenalan pada beberapa tempat menarik di Kota Surabaya!" tanya pemuda yang bertugas sebagai penyambut. Tak henti memasang wajah ramah.
Dalam sekali lihat, aku bisa menyadari sosok seorang penjilat ulung dalam diri pemuda ini.
"Siapa namamu? Bukankah itu cukup tak sopan terlalu banyak bicara bahkan sebelum memperkenalkan diri?" ucapku. Membalas dengan sengaja memasang wajah dingin. Penasaran dengan reaksi apa yang akan di beri oleh pemuda ini.
"Ahhh… Maafkan saya!" gumam sang pemuda, tampak mulai tergugup.
Satu reaksi yang sudah kutunggu-tunggu. Sepenuhnya sesuai harapan.
"Potong basa-basi! Kenapa masih belum memperkenalkan diri!" dengusku. Meneruskan untuk mengejar. Begitu menikmati wajah gugup sang pemuda yang kini berkembang semakin menjadi.
"Ahhh… Saya Aldert..!" balas sang pemuda cepat.
"Aldert?" gumamku. Sembari menaikkan salah satu sudut alis.
"Sungguh tak cocok kau memakai nama itu!"
Aldert sendiri, dalam bahasa Belanda, memiliki arti tegas atau mulia. Jelas tak sesuai dengan pembawaan sang pemuda.
"Segera antar aku ke rumah!" dengusku.
"B-baik…!" balas Aldert singkat. Tampak tak lagi mencoba bermain seolah ingin mengakrabkan diri denganku.
Aldert dengan sopan, terlalu sopan sampai terus menundukkan kepala, bergerak terlebih dahulu memimpin di depan untuk menunjukkan jalan.
Sebelum mengambil langkah, ia sempat memberi tanda pada beberapa sosok pria pribumi di sekitar, dimana tampak memang sedang menunggu untuk mendapat order mengangkut barang, membawakan barang-barang pribadiku yang tersimpan pada beberapa koper.
Hingga sampai diluar pelabuhan, telah menunggu sebuah kereta kuda yang tampaknya adalah transportasi kami.
Aldert mempersilahkan aku naik terlebih dahulu. Memberi instruksi pada beberapa kuli panggul, menempatkan koper dengan baik.
Sebelum kemudian, hanya ikut naik setelah melihat dan benar-benar memastikan bahwa aku telah berada pada posisi nyaman.
Aldert, duduk mengambil posisi agak dibelakang. Sementara yang menjadi kusir, adalah seorang pribumi.
"Tuan, kita berangkat sekarang?" ucap Sang kusir, bertanya pada Aldert.
"Ya…!" balas Aldert singkat.
"Hiya…!!"
Kereta kuda, berjalan menyusuri jalanan kota Surabaya.
Sepanjang perjalanan, aku hanya diam. Mengisi waktu dengan menikmati pemandangan sekitar. Tempat baru, entah kenapa seperti memberi satu sensasi tersendiri pada jiwaku dimana berdesir penuh antusiasme.
Saat bosan, aku memutuskan membuka percakapan dengan Aldert. Pemuda ini, baru berani bersuara saat aku bertanya.
Dari percakapan, dapat kugali informasi menarik bahwa Aldert, meskipun memiliki paras Eropa, ternyata bukanlah seorang Totok. Sebutan bagi yang memiliki garis darah murni seorang Eropa.
Aldert, bergaris darah campuran. Ayahnya seorang Belanda pegawai biasa yang bekerja untuk Asisten Residen, sementara Sang Ibu, merupakan pribumi, salah satu Gundik koleksi Ayahnya.
Telah menjadi kebiasaan orang-orang Eropa yang memang kerap datang seorang diri ke tanah koloni tanpa membawa istri atau keluarga, untuk mengambil seorang wanita pribumi. Dijadikan teman satu ranjang, memenuhi kebutuhan.
Wanita-wanita pribumi yang di bawa pulang oleh kaum Eropa ini, dimana tak dinikahi atau memiliki status apapun awalnya, lama kelamaan disebut sebagai Gundik.
Dari hubungan antara orang-orang Eropa dengan para Gundik koleksi mereka inilah, lahir anak-anak bergaris darah campuran.
Bukan seorang pribumi, juga bukan seorang Eropa. Golongan baru yang kemudian disebut sebagai Indo.
Anak-anak Indo, memiliki status lebih tinggi dari pribumi, namun tak bisa setara dengan Totok Eropa. Bahkan sering terjadi tak di akui sebagai anak. Ditelantarkan oleh ayahnya bersama sang Ibu yang sekedar Gundik. Dibuang saat dirasa sudah tak menarik untuk kemudian mencari yang baru. Gundik lain, lebih segar.
Keretaku, berjalan memasuki wilayah yang mulai cukup ramai. Melewati satu lokasi perumahan khusus orang-orang Eropa.
Sepanjang perjalanan di wilayah tersebut, tiap pasang tatap mata gadis Eropa yang kebetulan menangkap sosokku, segera berubah seolah bercahaya.
Banyak orang memang sempat mengatakan bahwa aku memiliki wajah yang sempurna, bagai deskripsi sosok-sosok pangeran negeri dongeng.
Aku sendiri, tampak tak terlalu peduli dengan tatapan di sekitar. Sampai setelah beberapa waktu bertahan dengan wajah tanpa ekspresi, keningku sedikit mengerut saat sebuah kereta lain, berpapasan.
Mataku, sepenuhnya terpaut lekat menatap sosok wanita pribumi yang saat ini berada diatas kereta lain.
"Siapa dia?"