4 - Sadari Posisi

1229 Kata
Memulai inspeksi rutin pagi hari, Willem berjalan pada area yang selalu menjadi favoritnya. Tak lain kandang ternak. Lokasi yang selalu membuat Aldert, heran. Mempertanyakan kenapa sosok macam Willem, sangat menyukai berada di kandang ternak yang jelas cukup kotor dan memiliki aroma khas tak sedap. Satu hal yang tak diketahui oleh Aldert, itu adalah keluarga Willem, keluarga van der Beele, pada dasarnya di Eropa adalah keluarga peternak. Hampir seluruh kerabat sejak jaman nenek buyut, berprofesi sebagai peternak. Sekedar ayah Willem, Jan van der Beele, memiliki minat berbeda. Menggemari hal-hal terkait administrasi, ayah Willem, mendaftarkan diri saat kerajaan Belanda, membuka kesempatan bagi yang berminat untuk mengabdi di tanah koloni. Tentu bukan sembarang orang dapat mendaftar. Selain harus memiliki keunggulan akademis, dimana dapat dipenuhi oleh Jan yang seorang lulusan terbaik salah satu perguruan tinggi Eropa, sosok yang berkenan ditempatkan mengabdi pada tanah koloni, juga harus memiliki integritas serta keteguhan. Bagaimanapun juga, tugas mereka emban, membutuhkan untuk jauh dari tanah air dalam waktu tak bisa ditentukan. Situasi yang membuat harus rela meninggalkan sanak saudara. Juga ditambah faktor dari Hindia yang merupakan tanah koloni kerajaan Belanda adalah tempat benar-benar berbeda baik itu secara iklim maupun kultur dengan Eropa, tak jarang menyebabkan banyak abdi kerajaan memutuskan meninggalkan tugas saat belum waktunya berakhir. Pulang karena tak betah, merasakan ketidaknyamanan harus hidup di tanah koloni. Mungkin faktor tersebutlah yang menjadi salah satu alasan mendasar membuat situasi kemudian berkembang tiap totok Eropa mengabdi di Tanah koloni, mendapat berbagai fasilitas berlebih. Diperlakukan layaknya sosok terhormat bak anggota keluarga kerajaan. Bergelimang kemewahan serta kehormatan. Meski memang pada dasarnya para pribumi, dari awal sudah akan begitu menghormati orang-orang Eropa. Merasa inferior. Alami rendah diri. "Tuan… Kenapa kau tampak begitu menyukai tempat ini?" tanya Aldert. Tak mampu lagi membendung rasa heran selama satu tahun belakangan. Merasa sudah cukup dekat dengan sosok Willem hingga pada tahap ia berani membuka percakapan. Bertanya. "Kenapa memang?" Pertanyaan Aldert, justru bersambut pertanyaan balik dari Willem. Willem sendiri, tampak tak memberi terlalu banyak perhatian pada sosok asisten pribadinya tersebut. Sekedar melempar tanggapan asal sembari mengerutkan kening untuk sesaat. Bahkan tak menoleh. Bertahan mengusap kepala salah satu Sapi ternak dihadapannya. "Tuan, itu jelas tempat ini terlalu kotor dan juga bau! Sungguh tak cocok untuk sosok terhormat macam anda!" balas Aldert. Segera mengutarakan segala keluhan selama ini ia pendam, tanggap menangkap kesempatan dengan Willem bertanya. "Hei Aldert, sedikit kotor dan bau, apakah itu jenis permasalahan perlu diangkat?" tanya Willem sekali lagi. Tampak memiliki kebiasaan cerdas cenderung licik menyudutkan orang lain dengan selalu melempar pertanyaan balik untuk menjawab sebuah pertanyaan. Pembawaan Willem, jelas menunjukkan karakternya yang tak suka dibaca oleh orang lain. Lebih suka melakukan sebaliknya. Mengamati untuk membaca karakter lawan bicara. Melempar pertanyaan untuk menunggu tanggapan sebelum benar-benar menanggapi. Salah satu dari beberapa hobi Willem, memang adalah mengamati sifat orang. Hobi atau kebiasaan yang membawa beberapa hal bagus datang kepadanya. Terutama ketika ia memutuskan untuk terjun ke dunia bisnis. Mampu membaca baik karakter seseorang, membuat ia cepat sukses membangun bisnisnya yang terhitung baru berjalan satu tahun. Tiap kesepakatan dicapai dengan partner bisnis, selalu berujung sepenuhnya pada keuntungan mutlak bagi Willem meski pada awal, tampak merupakan kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak. "Itu…" Aldert yang sebenarnya kurang berpendidikan, sekedar mampu baca tulis, segera terlihat memasang wajah canggung. Kesulitan menemukan kalimat tepat menjawab pertanyaan Willem. "Tuan, itu hanya seperti kurang cocok saja untuk orang berkedudukan terhormat macam dirimu! Anak seorang Asisten Resident!" gumam Aldert. Akhirnya memilih kembali pada topik sempat ia angkat diawal. "Urusan remeh temeh nan kotor macam ini, seharunya cukup diurus oleh pekerja rendahan seperti para pribumi disekitar!" lanjut Aldert. Menyapukan pandangan pada kelompok pekerja kebetulan lewat. "Bagaimana kabar kalian? Sudah sarapan sebelum memulai hari?" Kata-kata terdengar merendahkan baru terucap dari mulut Aldert, juga tatapan sinisnya pada kelompok pekerja pribumi, justru bersambut Tuan-nya, Willem. Menyapa dengan intonasi nada serta raut wajah ramah para pekerja. Willem sendiri, tampak sudah cukup mahir berucap Jawa. Jelas memiliki kecerdasan diatas rata-rata. Mengingat, baru setahun ia menginjak tanah koloni. "Tuan besar! Kami tak sempat! Lagipula, cukup kopi panas pagi hari, sudah menjadi pengisi tenaga!" balas salah satu pekerja. Memasang wajah bersemangat menjawab pertanyaan Willem. "Ohhh… Jangan lupa kretek! Satu batang menemani kopi panas, akan benar-benar cukup memberi tenaga bagai seekor sapi yang kuat!" celetuk kawan disebelah pekerja pertama yang menanggapi Willem. Ikut bersemangat masuk kedalam obrolan. "Hahahhaha…!" Willem, tertawa lepas. Reaksi sederhana nan manusiawi yang justru bersambut wajah tiap pekerja, menjadi semakin bersemangat. Tampak sangat antusias. Bagaimanapun juga, bekerja dengan sosok macam Willem, memang merupakan suatu keberuntungan bagi mereka. Disaat totok Eropa lain kebanyakan selalu memasang wajah sombong serta tatapan penuh kerendahan tiap memandang mereka, jenis sama sempat ditampilkan oleh orang macam Aldert yang bahkan bukan totok, sekedar pemilik darah campuran, golongan Indo. Willem, tampil benar-benar berbeda. "Selalu ingat yang kusampaikan! Sarapan pagi, adalah hal yang sangat penting! Coba biasakan itu mulai sekarang!" ucap Willem. Setelah sempat tertawa. "Tuan besar, kami tak sempat…" "Hei… Jangan terlalu berkembang melebihi batas! Terima saran Tuan Willem! Terus membantah! Maumu apa!" dengus Aldert. Memotong untuk benar-benar merusak suasana hangat sedang menyelimuti pagi. Sekejap, situasi berkembang hening. Para pekerja diam dengan wajah menunduk muram. Tak berani membantah Aldert. "Hei Aldert! Itu kau yang maunya apa?" dengus Willem tegas. Wajah hangat nan sumringah sedari tadi sempat ia tampilkan. Lenyap untuk berganti gelap. "Tuan… Mereka perlu mengetahui batas serta posisinya! Dengan siapa sedang bicara!" balas Aldert. Coba menyampaikan pembenaran. Sedari tadi merasa gatal hatinya melihat bagaimana para pribumi disekitar, berbicara menggunakan nada normal sehari-hari saat berhadapan dengan Willem. "Ohhh… Lalu, dengan siapa kau saat ini berbicara?" tanya Willem. Kesekian kalinya, terhitung sejak Aldert membuka percakapan, tak sekalipun menjawab normal. Selalu dengan pertanyaan balik. "Itu… Tuan… Bukan maksudku…" Aldert, segera tergagap. Cepat memahami kemana arah pertanyaan Willem. "Kau mengatakan mereka harus tahu posisi, sementara kau, justru terlihat melakukan hal sama yang seperti tak kau sukai itu! Apakah menurutmu kau cukup spesial?" lanjut Willem. "Sadari posisimu! Jika mengacu pada hal itu, seharusnya kau dan mereka, berstatus sama! Yakni orang-orang yang bekerja untukku!" "Tak lebih, dan tak kurang!" dengus Willem. Aldert terdiam. Menunduk. Reaksi yang segera bersambut sorot mata tersembunyi tampak puas para pekerja disekitar yang sedari tadi ikut mendengar. Seolah dalam hati sedang berteriak 'rasakan itu!' Willem, benar-benar memberi pembalasan sempurna. "Baiklah cukup! Kalian bisa kembali bekerja! Jika perkerjaan kalian baik untuk bulan ini, berhasil meningkatkan jumlah produksi, aku akan mempertimbangkan mulai bulan depan, tersedia sarapan pagi untuk seluruh pekerja!" ucap Willem. Kalimat yang segera bersambut tatapan antusias para pekerja. Menyempatkan memberi salam hormat menunduk kepada Willem, para pekerja melangkah bersemangat meninggalkan tempat. "Aldert! Ingat ini sebagai bentuk pembelajaran! Setidaknya kau harus mendapat sesuatu dari terus mengikutiku!" ucap Willem tepat setelah para pekerja pergi. Kembali pada Aldert yang masih bertahan menunduk diam. "Tempat kau sebut kotor dan bau ini, adalah yang selama ini memberimu makan! Dari mana pakaian bagus kau kenakan? Dari maha kehormatan kau dapatkan? Semua dari tempat ini! Dari ternak-ternak ada disekitar!" "Para pekerja, juga menjadi bagian sistem sama! Seperti apa kau memperlakukan mereka, akan berpengaruh pada hasil akhir capaian yang didapat perusahaan pertanian ini!" "Setiap manusia, adalah sumberdaya! Rawat dengan baik, maka mereka juga akan merawat milikmu dengan baik!" tutup Willem. Melangkah pergi. Tampak sudah memasang wajah tak lagi peduli. Melanjutkan inspeksi sembari menyapa santai para pekerja. Seolah tak sedang baru terjadi apapun. Aldert sendiri, melangkah dalam diam mengikuti kemanapun punggung Willem. Bertahan menunduk hanya menatap kaki Tuan-nya, Aldert jatuh pada pemikiran mendalam. Coba memahami kata-kata tadi sempat disampaikan oleh Willem.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN