Sepanjang perjalanan pulang, Mas Hamid terus diam, seperti enggan diajak bicara.
"Mampir ngebakso, yuk, Mas," ujarku saat melewati warung bakso favoritnya.
"Kalau kamu mau, bungkus aja. Aku enggak lapar," sahutnya agak dingin.
Tumben sekali. Biasanya dia tak pernah menolak.
"Oh, ya udah. Enggak usah, deh, kalau Mas enggak mau makan."
Aku memang hanya berbasa-basi menawarkan. Ya … daripada tidak ada topik buat dibahas, kan?
Mas Hamid kembali melajukan sepeda motor tanpa bicara. Yap, hari ini dia berubah menjadi sosok yang lebih kalem daripada biasanya.
Tiba di rumah, bukannya mandi, suamiku malah terlihat sibuk berselancar di dunia maya dengan ponselnya. Melihat hal itu, aku berusaha tampil setenang mungkin. Seolah tak terjadi apa-apa. Ya, seperti hari-hari biasa.
"Kok nggak langsung mandi, Mas?" tanyaku iseng.
"Bentar."
Hanya jawaban singkat singkat yang kudengar dari mulutnya, sementara tangannya sibuk menari-nari di atas layar ponsel. Matanya pun tak lepas fokus dari benda persegi panjang itu.
"Ya udah, kalau gitu, aku yang mandi duluan, ya, Mas."
Mendengar ucapanku, barulah Mas Hamid mendongak dan menatapku. "I-iya, ya udah buruan, gih, mandi."
Aku membeliak.
Loh, kok jadi kebalik? Biasanya aku yang sering memaksanya mandi cepat.
Lah, ini?
Ah iya! Pasti dia mau menghubungi orang rumah sana. Aku tahu itu. Hm ….
Sambil melilitkan handuk di tubuh, aku berpikir apakah aku harus datang ke sana diam-diam tanpa sepengetahuan Mas Hamid? Sepertinya jangan. Terlalu kentara kalau aku masih mencurigai mereka. Biarlah aku memantau suamiku di rumah dalam beberapa hari ini dulu. Anggap saja, aku sudah percaya pada kebohongan mereka.
Kuguyur tubuh secepat kilat. Kali ini, aku memakai shampo dan sabun sekenanya saja. Handuk pun langsung kulilit sedikit asal di badan. Tak peduli pada air yang masih menetes melalui helai rambut. Aku hanya ingin cepat keluar. Aku yakin, Mas Hamid pasti sedang menelepon seseorang saat ini.
Dari kamar kami yang memang paling dekat dengan ruang tamu, sambil memakai baju, kupasang telinga baik-baik. Berusaha menguping siapa tahu dapat info penting. Nihil. Tak ada suara orang berbicara bahkan sampai aku sudah berpakaian rapi. Gegas aku keluar kamar memastikan apakah Mas Hamid menelpon di depan rumah?
Ternyata tidak juga.
Dia masih anteng di sana. Di ruang tamu. Mas Hamid bahkan tak menggeser posisi duduknya seperti sejak aku masuk tadi. Rapi juga cara dia bekerja. Oke, oke, aku ikuti, Mas!
"Mas, mandi, gih. Apa … mau aku buatkan kopi?" ujarku sambil mengeringkan rambut yang masih setengah basah dengan handuk.
"Hm, boleh, deh."
Mas Hamid pun masuk kamar setelah meletakkan ponselnya di meja.
Sebelum membuatkannya kopi, untuk sementara waktu, gantian aku yang duduk di sofa ruang tamu. Sambil lirik-lirik ponselnya.
Setelah guyuran air dari kamar mandi terdengar, dengan sigap aku membuka ponsel Mas Hamid. Tidak terkunci. Seperti biasanya. Cukup aneh, sih. Pengalaman teman-teman yang suaminya doyan jajan atau punya simpanan, rata-rata ponsel suami mereka terkunci dengan sandi pola atau angka-angka yang rumit. Tapi ini, tidak.
Aku gamang lagi.
Dengan sedikit gugup kubuka semua riwayat chat dan panggilan.
Tak ada apa-apa. Tak ada yang mencurigakan.
Setelah tak menemukan sesuatu yang mencurigakan, kuletakkan kembali ponsel ke tempat semula. Supaya Mas Hamid tak curiga. Barulah setelahnya aku bangkit dan membuatkan kopi.
Calm down, Alisa.
Tak masalah jika kini belum menemukan bukti. Yang penting jangan lengah dan tetap waspada.
***
Tiga hari setelahnya, tak ada apa-apa yang mencurigakan. Mas Hamid bertingkah biasa saja. Ponselnya pun jarang dipegang.
Namun, seminggu berselang, suamiku kembali meminta izin pulang telat. Mau mampir ke rumah Ibu, karena Ibu mendadak sakit. Katanya.
Ya … entah benar entah tidak, aku tak tahu.
Oke, mari kita buktikan!
Kali ini, aku tak mau gegabah.
Dengan kepala dingin, aku sudah memikirkan baik-baik tindakan yang akan aku ambil kali ini. Aku akan menyusul diam-diam.
Ya, diam-diam saja lah. Jangan sampai keceplosan seperti hari itu. Bisa ambyar nanti, kalau aku keceplosan lagi. Karena aku yakin, kali ini, aku pasti akan bertemu dengan orang yang mereka sembunyikan dariku.
Aku menaiki angkot setelah mempersiapkan mental dan menata hati. Mempersiapkan diri tentang apa pun kemungkinan yang bakal aku hadapi.
"Lisa? Kamu nyusul naik angkot lagi?" sambut mertuaku saat aku mengetuk pintu dan mengucap salam.
"Iya, Bu. Kata Mas Hamid, Ibu sakit lagi, makanya Lisa buru-buru ke sini," balasku Sambil mengedarkan pandangan, menatap sekeliling. Tak ada, tak kutemukan baju bayi tergantung. Jangankan baju bayi, jemurannya saja tak tampak.
"Iya .. itu ... tadi, kepala Ibu mendadak pusing, rumah kaya muter-muter." Ibu mertua berucap sambil meringis.
"Tapi ini sudah sehat?" tanyaku memastikan.
"Sudah. Tadi cuma kehabisan obat. Hamid datang langsung bawa."
Sempat kulihat Lina keluar sebentar lalu masuk lagi. Bahkan sebelum sempat menyapaku. Soal sopan santun, dia memang kurang didikan kayaknya.
"Syukurlah, Bu. Mas Hamid di dalam, ya? Lisa masuk ya, Bu?"
"Eh, i-iya Lis. Sampe lupa." Ibu mertua menepuk pundakku seperti melupakan sesuatu, lalu mengajakku masuk.
Baru hendak memasuki ruang tamu, Mas Hamid terlihat keluar.
"Kok, nyusul lagi, Lis?" Mas Hamid jelas heran dengan kedatanganku yang tanpa diundang juga tanpa kabar berita.
"Iya … habisnya kamu kebiasaan, tiap Ibu sakit pasti aku ditinggal! Padahal ibumu, kan ibuku juga, Mas," ujarku sedikit berlebihan.
"Halah. Kamu ini pake repot-repot nyusul ke sini. Padahal aku sudah mau pulang, loh. Ayo!" ajak Mas Hamid buru-buru, sambil meraih tanganku.
"Apa sih, Mas? Aku baru datang juga." Kutepis cepat tangan Mas Hamid, tak mau menuruti begitu saja keinginannya yang secepat ini mengajak aku pulang.
Enak saja!
"Ayo, ah, pulang!" Jelas sekali Mas Hamid memaksa kali ini.
"Enggak!"
"Lagian Ibu udah sehat ini," kilahnya, membuatku semakin jengkel.
Melihat aku dan Mas Hamid saling adu pendapat, Ibu hanya diam mengamati. Namun, kentara sekali kalau ekspresi wajahnya menunjukkan perubahan. Lebih tepatnya … gelisah.
Aku dan Mas Hamid yang masih terlibat percekcokan kecil, dibuat terkejut saat bisa mendengar dengan jelas ada suara tangisan bayi dari dalam rumah.
"Loh, ada bayi lagi di rumah ini? Bayi siapa?"
Tanpa melihat dulu bagaimana suami dan mertuaku bereaksi, aku langsung bergegas ke dalam. Mencari dari kamar mana tangis bayi itu berasal. Dan ternyata … dari arah kamar Mas Hamid sewaktu masih bujangan dulu.
Daebak!
"Ya ampun ...! Ada dedek bayi di sini. Bayi siapa lagi ini? Gemesnya …," ujarku sambil berjalan mendekat. Menghampiri bayi yang beberapa hari ini membuatku penasaran siapa ayahnya.
Aku bersikap tak tahu diri, slonong boy, masuk tanpa permisi. Dan tanpa basa-basi, langsung mengangkat bayi mungil itu ke dalam dekapan.
Sengaja aku hanya fokus pada bayinya saja. Belum ingin fokus pada emaknya. Nanti saja.
"Iiih, dedeknya ciapa ini? Bikin emesh," ujarku menggoda bayi yang sebenarnya belum paham juga sama ucapanku.
Dari lirikan mata, bisa kupastikan Mas Hamid dan ibu mertua menyusul ke sini, ke kamar ini.
"Mas, kayaknya … aku pengen nginep, deh, malam ini. Seneng tau ada adek bayi, di sini, jadi rame. Siapa tahu … bisa buat pancingan. Terus aku hamil, deh." Masih sambil mengayun pelan tubuh si bayi misterius ini, aku heboh sendiri saat mengutarakan keinginan dan pendapat.
"Boleh, ya? Boleh, ya? Boleh, ya, Mas?" Aku merengek layaknya anak kecil yang meminta dibelikan es krim pada ibunya. Mas Hamid tak terdengar bersuara.
Dia mendadak sariawan apa bagaimana?
Kenapa berlagak gagu?
"Kalau Mas mau pulang, Mas pulang sendiri aja. Pokoknya malam ini aku pengen dekat dedek aja. Siapa tau besok-besok ketularan, ya, kan? Boleh, ya, Mas?"
"Eh, Lis. Mending kita pulang, ya. Ntar takutnya malah jadi rewel bocahnya," kata Mas Hamid setengah membujuk.
"Rewel? Emangnya aku bikin gaduh? Nih buktinya aku gendong diam, kok. Ah iya, aku tadi nanya, ini bayi siapa?"
Lagi-lagi sunyi tak ada yang bersuara. Hanya celotehan bayi mungil ini saja yang mengisi pendengaran.
"Ngomong-ngomong, Mbak ini siapanya Mas Hamid? Sepupunya juga?" Aku lantas tertarik memfokuskan pandangan pada ibu muda yang sedari tadi duduk, tak bergerak dari tepian ranjang.
"Anu … itu … saya …."
Pelan dia bersuara, dan entah kenapa membuat jiwa kriminalku meronta.
Kira-kira salah nggak, sih kalau aku ingin meremas mulutnya?