Akankah Dia Cemburu?

680 Kata
"Lisa ... dia ini ya ... Mira." Ibu Mertuaku beringsut mendekati wanita yang sedari tadi tampak kesulitan walaupun hanya mengungkap sepatah dua patah kata, mengenai jati dirinya. Dengan penuh kasih sayang, wanita paruh baya itu mengelus punggung wanita yang katanya bernama Mira. Agak berlebihan menurutku. Bukankah Ibu bilang Mira merupakan sepupu jauh Mas Hamid? Tapi, kok, bisaan banget, ya, sedekat itu? Sudah seperti memperlakukan anak sendiri. "Oh … sepupu yang diceritain kemarin dulu itu?" tanyaku meski hati sudah dihinggapi perasaan tak enak sedari tadi. "Iya." "Loh, kok balik lagi?" Aku mengerutkan dahi menatap mertuaku, karena sedari tadi, dia yang asyik menjawab, kan? "Iya, kan hari itu udah diceritain, suaminya selingkuh. Sekarang suaminya bener-bener ninggalin dia. Jadi ... dia kembali dan Ibu yang minta dia tinggal di sini saja." Jika sedang bersandiwara, aku akui, akting ibu mertua patut diacungi jempol. Lancar, loh, dia ngomongnya. Sudah seperti artis yang paham skrip di luar kepala. "Oh, iya. Cuma, kenapa dia harus ke sini? Memang, orang tuanya ke mana?" tanyaku menyelidik, dan saat kulirik wanita yang konon bernama Mira, menunjukkan tatapan sendu lantas menunduk. Persis seperti wanita teraniaya dalam sinetron ikan terbang! Muak sekali aku melihatnya. "Lisa! Kamu nggak pantes bertanya begitu! Dia ini sedang kesusahan! Udah, daripada kamu banyak tanya, kita pulang!" Mas Hamid yang sedari tadi diam, tiba-tiba menyambar ucapanku. Bukan secara lemah lembut, tapi cukup ngegas dan tak enak didengar. Membuat dadaku bergemuruh dan ingin sekali melemparkan bayi di tangan jika tak ingat perihal kemanusiaan. Dia? Kesusahan? Lalu, bagaimana dengan aku, Mas? Kutatap wajah Mas Hamid dengan tatapan nyalang. "Aku, 'kan, cuma nanya, Mas? Kok kamu yang nggak terima? Lagian, apa salahnya, sih, kalau sekali-sekali aku nginep di rumah mertua? Atau jangan-jangan ... aku udah nggak dianggap menantu disini, Mas? Sampai-sampai setiap Ibu sakit saja kamu enggan mengajakku kemari?" Kuletakkan bayi mungil itu kembali ke kasur. Suaraku mulai serak. Hampir saja pertahananku jebol. Wajah sedih tak bisa kusembunyikan. Bukan sedih karena merasa tak dianggap, melainkan karena baru kali ini Mas Hamid membentakku di depan mertua. Tahan, Lisa …! Tahan. Seperti sebelumnya, ibu dari bayi kecil itu menunduk. Kulihat raut wajahnya berubah lebih sendu. Apa pertanyaanku begitu menyedihkan untuknya? Aku rasa biasa saja padahal. "Ya sudahlah … ya sudah, Mid. Kalian biar tidur di sini. Kamu yang salah. Selama ini tak pernah mengajak Lisa bermalam di sini." Ibu mertua akhirnya memberi keputusan, seperti ingin menengahi pertengkaran yang terjadi antara aku dan anak sulungnya. Mendengar Ibu bersuara, raut wajah Mas Hamid terlihat mulai melunak. Tak tegang seperti sebelumnya. "Ya udah, kalau gitu, aku ambil baju dulu ke rumah," cetusnya kemudian. Meski mungkin masih setengah hati, Mas Hamid keluar juga dan pergi membawa motornya. Untuk mengambilnya baju ganti. "Karena Mira udah terlanjur di sini, berarti nanti malam kalian tidur di kamar satunya saja lagi, ya, Lis," usul Ibu mertua kemudian. Aku diam. Ingin menjawab lantang, 'ini kan kamar suamiku dulu, harusnya Mira yang di sana'. Tapi, ya, sudahlah. Bentakan Mas Hamid tadi menyadarkanku bahwa percuma aku pakai cara kekerasan. Di sini posisinya aku sendiri. Berontak percuma juga kan? Satu lawan empat? Lebih baik aku pura-pura percaya saja pada setiap apa yang mereka katakan. "Iya, Bu. Biar Lisa bersihin dulu kamarnya." Aku mengangguk pelan, bertindak layaknya menantu idaman. "Ya sudah, ayo Ibu bantu," ucap Ibu padaku. "Mira, kalau ada perlu apa-apa panggil Lina saja, ya." Masih dengan gayanya yang lembut dan sangat keibuan, ibu mertua mengalihkan pandangan pada wanita bernama Mira itu. "Iya, Bu." Mira mengangguk penuh hormat pada mertuaku. Cih! Sepanjang membersihkan kamar yang lama tak terpakai, aku hanya berbicara bila ibu mertua bertanya sesuatu. Tak seperti biasanya, ibu mertua yang selama ini terkenal ramah dan banyak bicara, kini pun berubah jadi sosok yang pendiam dan irit bicara. Mungkin, makan siangnya tadi tak cukup mengenyangkan. Bertepatan dengan bersihnya kamar, Mas Hamid terlihat kembali dengan membawa pakaian kami. Aku memutuskan untuk berdiam diri dan mendinginkan kepala sejenak, sebelum keluar untuk menempel pada Mas Hamid nantinya. Biar saja dibilang seperti upil nanti. Aku cuma ingin melihat reaksi wanita sok kalem itu. Akankah dia terlihat cemburu jika melihatku bermesraan dengan Mas Hamid? Oke, kita buktikan nanti.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN