Katanya Namanya Mira

831 Kata
"Oh, i-tu ... iya, semalam ada sepupunya Hamid yang main ke sini. Kebetulan dia punya anak bayi," sahut mertuaku dengan wajah yang terlihat sedikit memucat. Padahal ini Lisa, loh, yang bertanya. Bukan polisi yang sedang menginterogasi. "Sepupu? Sepupunya yang mana, ya, Mas? Apa aku kenal?" tanyaku sambil terus berusaha menormalkan nada bicara ketika memindai wajah suamiku. "Itu itu—." Mas Hamid terlihat sedikit gelagapan. "Si Mira. Sepupu jauh yang tinggal di Bandung itu, loh, Lis. Baru pulang beberapa hari ini. Karena pas hamil tua, suaminya malah selingkuh, jadi dia nggak tahan, makanya pulang," sambar mertuaku cepat. "Ooh … suaminya selingkuh? Kasian." Aku menggeleng kepala sambil mendecak singkat saat menunjukkan rasa simpati pada si 'Mira' itu. Walau heran karena ibu mertua yang selalu menjawab, aku terus mencoba menenangkan diri. Meski hati diliputi perasaan curiga sedari tadi, aku tak mau gegabah. Slow down, Alisa. "Ya sudah, Mas, ambil pakunya yang di dalam jok, gih. Sebelah mana genteng ibu yang bocor, cepat perbaiki." Setelah tadi gelagapan saat kutanya perihal sepupunya, kini Mas Hamid nampak bingung ketika aku membahas pasal paku dan genteng. Ya ampun! "Sebenarnya gentengnya bocor sedikit saja, kok. Lagian ini mulai memasuki musim kemarau. Nanti-nanti saja diperbaikinya, Nak. Kasian kamu juga, habis kerja. Harusnya sudah istirahat. Udah … besok-besok aja kamu mampir lagi," sahut ibu mertuaku sambil menepuk pundak Mas Hamid yang sedari tadi menunjukkan tampang bingung. Seperti orang yang kelaparan tapi tak ada makanan, begitulah ekspresi suamiku saat ini. "Oh, iya, Bu." Mas Hamid mengangguk canggung. "Kalau gitu, besok-besok saja lagi Hamid mampir." Ibu mertua mengangguk pelan sambil mengulas senyum. "Ayo, Lis. Kita pulang." Mas Hamid mengalihkan pandangan padaku. Aku masih enggan, karena apa? Paket yang aku pesan tadi, kan belum datang. Suamiku lantas berdiri, lalu mendekat dan merangkul pundakku. "Permisi! Paket!" Detik kemudian, seruan dari kurir paket terdengar jelas di telinga. Membuat semua yang ada di ruangan ini saling pandang satu sama lain. Mas Hamid lantas mengambil inisiatif, bergegas keluar untuk menghampiri kurir yang datang. "Paket apa, Mas?" tanyaku begitu melihat Mas Hamid masuk sambil membawa sebuah bungkusan paket di tangan. Suamiku menggendikkan bahu dan menampilkan tampang lugu. "Palingan salah alamat, Lis." "Mana, coba lihat?" Aku mengambil alih paket dari tangan Mas Hamid tanpa basa-basi. "Paling salah alamat itu, Lis …." Mas Hamid terlihat keukeuh dengan pendapatnya. "Ah, masa, sih? Tapi kalau atas namamu seharusnya, kan ke alamat rumah kita?". Mas Hamid tampak bingung. "Salah alamat tapi, kok alamat ibu di sini, bener? Ini juga bener, loh, nomor hape kamu." Aku menunjuk dengan santai paket yang sebenarnya aku pesan sendiri saat di rumah tadi. "Aku penasaran, deh, Mas. Apa isinya." "Paling orang mau kirim paket buat Ibu Lina, enggak tahu nama Ibu, makanya pake namaku. Udah … taruh aja." Mas Hamid memaksaku tetap pulang. "Ah! Tapi aku penasaran." Kutepis tangan Mas Hamid. Tak ingin membuang waktu, langsung kurobek kertas dan plastik pembungkus paket. Dari lirikan mataku, terlihat jelas Mas Hamid menanti dengan wajah gelisah ketika aku membuka paket. Mertuaku pun tak kalah gelisah. "Pakaian bayi?" Kuangkat selembar pakaian dan kuperlihatkan pada mereka. Aku memperhatikan dengan seksama perubahan raut wajah keduanya. Mengalami peningkatan, dari gelisah menjadi tegang. "Tuh, kan salah kirim. Udah, ah. Nggak penting, ayo kita pulang!" Mas Hamid memaksa lagi. "Bu. Sepertinya ada yang nggak beres." Aku beralih menatap mertuaku yang sedang mengetik sesuatu di ponselnya. Ya, untuk ukuran emak-emak jaman old, ibu mertuaku memang bisa dikata cukup lincah bermain ponsel. Salut! "Nggak beres apanya, sih, Lis. Sudah Ibu bilang, memang tadi ada anak bayi tapi sudah pulang. Anaknya Mira, kamu masih ingat, kan?" Nada bicara ibu mertuaku mulai berubah. Mungkin dia kesal karena aku mulai menampakkan kecurigaan. "Tunggu, Ibu telepon Lina dulu," ucap mertuaku menahan Mas Hamid yang memaksaku pulang. "Halo, Lin. Ini kok ada paket atas nama Hamid. Isinya baju bayi. Apa kamu yang pesen?" tanya mertuaku saat telepon sudah tersambung dan loudspeaker pun sudah diaktifkan. "Iya, hehehehe," jawaban dan tawa Lina terdengar begitu sumbang. "Buat apa?" "Gak apa-apa, Bu. Tadi Mas Hamid bilang mau beli baju bayi buat ngadoin anaknya Kak Mira, tapi dia belum gajian. Jadi, aku inisiatif aja beliin pake uang kiriman dari Mas Aryo. Udah, ya, Bu. Aku mau latihan dulu, nih. Udah ditunggu sama teman-teman. Assalamualaikum." Lina mengakhiri percakapan setelah berucap panjang lebar. Tapi membual. "Tuh, kan. Lina yang punya kerjaan. Nggak ada apa-apa. Udah sana, kalian pulang saja. Ibu mau arisan. Lina habis latihan, tuh, biasanya pulang mepet Maghrib." Ibu Mertua seperti sengaja mengusir kami. Baiklah kali ini aku pulang. Tapi dari apa yang terjadi sejak tadi di rumah ini, aku bisa menarik satu kesimpulan pasti. Mereka bertiga ternyata satu tim yang solid dalam bersandiwara. Membohongiku. "Baik, Bu. Maafin Lisa, ya, kalau Lisa sempat curiga dan berpikir macam-macam. Lisa pamit, ya, Bu." Kuraih dan kucium dengan takzim tangan mertua walau hatiku sakit karena kebohongannya. Tak mengapa. Bukan kalian saja yang pandai bersandiwara. Aku juga bisa. Kita tunggu saja tanggal mainnya. Tenang saja, Mira, Maisaroh, atau siapa pun itu. Setelah ini, akan kucari kau walau sampai ke lubang semut sekalipun.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN