Mereka Mengusirku?

550 Kata
"Lina, antarkan makanan ini ke kamar Kak Mira, ya." Ibu mertua tengah menata makanan khas orang habis melahirkan di atas nampan, ketika memberi perintah pada anak bungsunya yang sedang menikmati hidangan di meja makan bersama sang kakak. Lina yang aku tahu bukan anak rajin, tak buru-buru menyahut dan melaksanakan perintah yang diberikan sang ibu. "Biar Lisa yang antar, Bu." Aku yang baru lepas mandi, meraih dengan sigap nampan yang telah dipersiapkan oleh mertuaku. Mas Hamid yang sebelumnya tampak khidmat di meja makan dapur, urung menyuapkan makanan pada sendoknya ke mulut. Apa penyebabnya, tak dapat kupahami. "Kamu ... nggak makan, Lis?" tanya Mas Hamid sambil menatapku penuh tanya, seperti tak setuju dengan apa yang kulakukan saat ini. Aneh, kenapa harus keberatan begitu? "Belum lapar, Mas. Biar Lina makan duluan aja," balasku datar. Tanpa banyak pertimbangan, aku langsung mengambil alih tugas Lina, membawakan makanan ke kamar Mira tanpa menoleh ke belakang. Juga tanpa peduli bagaimana reaksi Mas Hamid selanjutnya. "Permisi ... maaf gak bisa ketuk pintu, tanganku penuh," ucapku langsung masuk ketika melangkahkan kaki masuk ke kamar yang dulu merupakan kamar Mas Hamid. Seulas senyum tersungging dari bibir Mira saat melihatku datang dengan membawa nampan berisi makanan yang dipersiapkan khusus untuknya. Ibu muda yang entah kenapa diperlakukan dengan sangat istimewa di rumah mertuaku ini. "Makasih, Mbak," ucapnya lirih. Membuatku sedikit risih. Selalu begitu. Seperti orang kurang gizi. Perasaan dulu, kakakku sehabis lahiran biasa aja, deh, nggak gini-gini amat. Kenapa dia lebay begini, sih? "Sini, biar aku yang pegang. Dedeknya namanya siapa, sih? Umur berapa?" Aku berinisiatif mengambil alih bayi perempuan itu setelah meletakkan nampan tadi di meja kecil kamar ini. "Namanya Meisha, umurnya 20 hari, Mbak," balas Mira masih dengan suara rendah. Aku mengangguk dan ber-oh ria. Sambil dalam hati, menghitung-hitung usia pernikahanku dan Mas Hamid. Juga kemungkinan Mas Hamid kenal wanita ini, jika kecurigaanku benar. Ini kalau benar, loh, ya. "Iiih, gemesss. Hidungnya mancung, ya, kayak punya Mas Hamid. Kalian sepupuan memang hidungnya pada mancung-mancung, ya?" ucapku memuji saat dalam hati mengakui paras bayi dalam dekapanku memang cantik dan menggemaskan. Uhuk! Mira yang sedang meneguk air minum di sela-sela makan, tersedak. Melihat itu, buru-buru kuletakkan kembali bayinya dengan hati-hati. "Kenapa?" tanyaku sambil menunjukkan raut wajah cemas. "Eng-enggak. Tenggorokanku gatal, Mbak." "Oh … ya udah, makan, biar gak gatal lagi tenggorokannya," balasku asal. "Mbak sendiri, sudah makan apa belum?" Wow, akhirnya wanita ini mengeluarkan banyak kata juga dengan suara emasnya. Lemah lembut memang, tapi entah kenapa tak nyaman di indera pendengaranku. "Aku, belum lapar," jawabku sekenanya. Bayi yang konon baru berusia 20 hari ini tiba-tiba menangis. Membuat Mira meletakkan makanannya dengan cepat. "Udah, makan aja, Mbak. Biar aku yang gendong," sergahku buru-buru mengambil bayi yang sempat aku baringkan belum lama ini. Mira pun urung bangkit dan kembali menyantap makanannya. "Orang tuamu, di mana?" tanyaku pelan setelah bayi perempuan dalam dekapanku tenang. "Lis, orang lagi makan kok ditanyain macam-macam, sih? Sini, dedeknya biar aku yang pegang. Kamu makan sana!" Suara Mas Hamid mengagetkanku. Cepat sekali dia makan? Tadi aku lihat nasinya banyak, sepiring munjung. Oh, makan kilat. Mungkin langsung telan tanpa dikunyah. Luar biasa! "Sini! Kamu makan sana, mumpung Lina sama Ibu masih makan juga," ulang Mas Hamid lagi. "Iya, Mbak, kamu juga harus makan," timpal Mira kemudian. What's? Mereka kompak mengusirku? Karena ingin berdua? Ah, tidak, maksudku ... bertiga dengan bayi ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN