Menangiskah Dia?

739 Kata
Apa mereka pikir bisa semudah itukah mengusirku? Oh .... tidak bisa! Aku di sini posisinya menantu. Menantu seharusnya lebih diprioritaskan daripada sepupu, bukan? Dan seperti yang kita ketahui bersama, Mira hanya sebatas sepupu. Iya, sepupu. Ya … walaupun mungkin hanya sebatas sepupu ... palsu. Entahlah. Rasanya aku masih harus menunggu keabsahan dari pengakuan mereka. "Kalau belum lapar, ya nggak bisa dipaksa juga kan, Mas?" kilahku kemudian. Membuat Mas Hamid dan Mira kompak terdiam. "Lagian, ngapain juga kamu makannya buru-buru? Orang ada aku, kok yang jagain. Iya, 'kan, Dek? Dek Mei?" Eum … kayaknya lucu juga, ya, kalau panggilannya Mei Mei kayak temen Upin-Ipin itu, loh." Mendengar aku berceloteh, tampak Mira tersenyum canggung. Entah keberatan atau bagaimana anaknya aku panggil Mei Mei. Aku tak tahu. Dan well, aku hanya berharap dia tidak sedang menyamakan aku dengan Kak Ros kali ini. Rasanya terlalu jutek dan agak bengis jika seorang Alisa disamakan dengan kartun berwatak garang itu. "Btw ... dipanggilnya apa biasanya?" tanyaku saat memfokuskan pandangan pada Mira. "Ya … Meisha. Mei." Aku tersenyum tipis mendengar jawaban ibu muda itu. "Khusus Tante, panggil Mei-nya dua kali enggak apa-apa, kan, ya, Dek?" tanyaku lantas membaringkan bayi cantik gembul ini ke atas ranjang. Lagi-lagi Mira tersenyum canggung, sementara Mas Hamid berdiam diri tanpa banyak bicara. "Mas, kok kamu masih mandorin kami begitu, sih? Aku doang juga cukup kali, buat jagain Si Mei Mei," ucapku dengan mata terus terfokus ke arah bayi yang sudah kubaringkan. "Eum …." Saat kulirik sekilas, tampak Mas Hamid begitu salah tingkah. Terlihat dia menggaruk-garuk belakang kepalanya yang mungkin saja tidak gatal. "Ya ...ya udah. Aku ke kamar duluan, ya, Lis," ujar Mas Hamid masih dengan nada gugup saat aku menatap tajam ke arahnya. "Tapi ingat, orang kalau lagi makan jangan diajak ngobrol, ya, nggak sopan," imbuhnya kemudian. Aku menarik napas dalam. Huh! Sempat-sempatnya dia berceramah dan mengulang lagi nasihat yang sama. Herannya, kok, ya over protektif banget sama sepupunya. Bikin kesal saja. "Nanti kalau Mira selesai makan, kamu cepetan ke kamar, ya, Lis. Aku lagi pingin minta dikerokin, nih. Kurang enak badan." Setelah sebelumnya banyak diam, aku akui suamiku mulai terdengar banyak bicara kali ini. Tapi intinya satu, kayaknya aku nggak boleh kepo sama latar belakang si Mira ini. Ada apa, sih? Apa yang salah? Mas Hamid baru hendak membalikkan badan, ketika ibu mertuaku terlihat sudah selesai dengan acara makannya dan mendatangi kami di kamar ini. Membuat Mas Hamid urung menarik langkah keluar. Hih! Kenapa juga Ibu harus datang, sih? Padahal mulutku sudah gatal ingin bertanya banyak pada Mira tanpa terganggu oleh mereka. Kalau bertanya sekarang, jelas percuma. Ibu mertuaku pasti mendominasi dalam hal tanya jawab. Mungkin juga, memang dia sutradaranya dalam sandiwara kali ini. Ya sudahlah, aku hanya perlu menunggu momen yang tepat, itu saja. "Aduh ... sakit …!" Aku menjerit sambil memegang pergelangan kaki saat aku sengaja menjatuhkan diri dari bibir ranjang ketika duduk mengawasi si bayi. Agaknya aku harus belajar menjadi tukang drama mulai sekarang. Biar imbang saja. Melihatku jatuh, Mas Hamid sigap mendekat. Ia lantas menegakkan tubuhku dengan cekatan. Sementara Mira, terlihat menghentikan makannya dengan segera. Sedangkan ibu mertua terlihat membelalak karena kaget. Mungkin, wanita paruh baya yang pandai bersandiwara itu tak menyangka kalau aku akan terjatuh dari tepian ranjang seperti ini. "Bisa-bisanya coba, jatuh. Ceroboh banget, sih." Sambil mengomel, Mas Hamid mengurut pergelangan kakiku yang kubuat senatural mungkin kesusahan saat hendak berdiri. "Aw! Mas … sakit banget. Aku nggak bisa berdiri," rengekku manja. Kulihat sekilas Mira benar-benar menghentikan makannya. Mungkin sudah tidak berselera lagi. Sementara Mas Hamid, masih saja fokus mengurut pergelangan kakiku. "Mas ... gendong." Aku merengek seperti anak kecil yang tengah minta jajan pada ayahnya. "Jalan sendiri aja kenapa, sih?" Tampak sekali Mas Hamid keberatan dengan permintaanku yang memang sedikit mengada-ada. "Mid …!" Terdengar suara ibu mertuaku meninggi dengan delikan tajam mengarah pada anak sulungnya ketika sang anak seperti ogah-ogahan memenuhi permintaanku. "Namanya sakit. Mana bisa dipaksa jalan," lanjutnya seolah membenarkan permintaanku. Ck! Memang mertua idaman semua orang. Pengertian dan bijak sekali dan sangat memahami kemauan menantu. Setelahnya, tanpa banyak omong, kukalungkan kedua tanganku ke leher Mas Hamid. "Aku mau makan dulu, Mas. Temenin, ya?" ucapku masih dengan suara manja menggelikan. Mas Hamid mengangguk kemudian langsung membawaku keluar sambil memapahku pelan. Dari dua ekor mataku bisa kulihat dengan jelas Mira tertunduk melihat kemesraanku dengan suaminya, eh, salah, suamiku. Punggung tangannya lantas mengusap sudut mata. Menangiskah dia? Padahal menu makanan tak ada yang pedas loh. Kok bisa-bisanya dia mengeluarkan air mata?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN