Sampai di ruang makan, Mas Hamid mendudukkanku di kursi kayu yang ada di dapur berukuran cukup luas ini. Setelahnya, dia lantas mengambilkan piring dan air minum untukku. Saat mungkin merasa sudah berbuat baik terlalu banyak padaku, terlihat dia begitu tertarik membalikkan badan untuk meninggalkanku secepat mungkin.
Punya masalah apa, sih, dia? Kok bisa, berdekatan sama istri saja kayak nggak nyaman begitu?
"Mas, mau ke mana?" sergahku cepat. Berusaha semaksimal mungkin mencegahnya mendatangi wanita itu. Bukan apa-apa, aku, kan istrinya, masa iya, dia malah lebih peduli dengan sepupunya?
Mas Hamid balik badan dan menatapku.
"Nanti panggil aja, ya, kalau udah selesai. Aku mau ke kamar sebentar," ucapnya beralasan.
"Oh, ya udah." Aku mengangguk, mencoba pura-pura paham dengan kemauannya.
Setelah Mas Hamid berlalu, aku menarik napas dalam, lalu mulai menyendok nasi. Hanya sedikit. Aku memang tidak berselera makan sejak tadi. Tiga suap saja aku bisa menelan makanan. Di suapan keempat, aku memang benar-benar kehilangan selera makan.
Berbagai prasangka tentang siapa sebenarnya sosok Mira terus meracuni pikiran, membuatku merasa tak tenang semenjak kedatangannya ke rumah ini.
"Mas …." Aku memanggil dengan suara yang mungkin saja terdengar cukup lantang saat memanggil anak pertama Bu Ida, mertuaku.
Aku yakin Mas Hamid baru sampai, jika memang tujuannya adalah kamar kami.
Tak berselang lama, pria 28 tahun yang selama beberapa hari ini kerap bersikap aneh, muncul lagi di hadapanku.
"Kok cepet banget makannya?" tanyanya heran saat melihatku telah menyudahi makan.
Aku mengangguk pelan.
"Udah kenyang, Mas." Aku mengusap perut dengan ekspresi manja yang aku sendiri saja begitu geli memperagakannya.
"Oh …," ucapnya sambil mengangguk-angguk. Entah percaya atau tidak dia sekarang.
Bodo amat!
Setelahnya, Mas Hamid kembali memapahku ke kamar dan kemudian mendudukkanku di tepian ranjang.
"Mas, kalau kakiku sakit begini, kayaknya mending kita nginep di sini dulu, deh, Mas, sampai beberapa hari ke depan. Kan nggak enak banget kalau aku ditinggal kerja, terus nggak bisa ke mana-mana. Mending di sini aja … enak, banyak temennya," usulku ketika melihatnya terlihat begitu salah.
Mas Hamid terdiam. Mungkin sedang berpikir keras tentang bagaimana caranya membuatku pulang dan tak berlama-lama serumah dengan wanita dan bayi yang berada di kamar sebelah. Mungkin, loh, ya.
"Eum … besok, aku panggilin tukang urut dulu, ya, pagi-pagi. Paling, ini cuma terkilir. Nggak usah terlalu dibesar-besarkan, Lis. Kamu juga, sih, nggak hati-hati tadi." Aku mendongak dan menatapnya tak percaya saat mendengarnya mengomel lagi. Membuat telinga dan hatiku memanas.
Huh! Kepalamu, tuh yang harusnya dibesarkan, Mas. Biar muatannya lebih banyak buat mikir.
Mendengar Mas Hamid tak berhenti berceramah dan mengomel sedari tadi, sungguh rasanya ingin aku geplak saja kepalanya dengan kemoceng yang bergantung di dinding. Gemes aku!
Huh!
Tahan, Lisa. Tahan …!
"Siapa yang besar-besarin, sih, Mas? Kamu kira aku sakit bohongan apa? Ini kaki aku sakit banget tau …," ujarku dengan nada geram bercampur gemas.
"Ya, kan aku udah bilang, besok pagi kita panggil tukang urut. Gimana, sih?"
Aku memilih diam, tak mau menyahut lagi ucapannya. Malas.
"Lagian, ngotot amat pengen lama-lama di sini, padahal, mah rumah sendiri pasti lebih nyaman, Lis."
Mas Hamid mulai berceramah lagi. Membosankan!
"Hamid …," panggil ibu mertuaku dengan nada panjang. Membuatku terdiam, sementara Mas Hamid gerak cepat mengunci mulut yang sedari tadi menceramahiku.
"Ya, Bu?" Mas Hamid berjalan dan membuka pintu.
"Gimana kakinya Lisa?" tanya Ibu sembari melihat keadaanku.
Aku berpura-pura mengeluarkan rintihan agar ibu mertua percaya kalau kakiku benar-benar sakit.
"Besok pagi aku panggilin tukang urut, Bu," ucap Mas Hamid setelah menatapku sekilas.
Ibu mengangguk pelan sambil tersenyum tipis saat memandang ke arahku.
"Bisa ditinggal sebentar nggak sekarang? Ibu mau minta kamu nganter ke rumah Bu Mala sebentar. Ibu lupa belum bayar arisan. Sudah ditagih ini. Mau minta tolong Lina, tapi udah tidur kayaknya."
Perasaan tiap aku ke sini, yang diributin arisan melulu. Ikut arisan di berapa grup sih, Bu Ida ini?
"Oh iya. Bisa, Bu," jawab Mas Hamid dengan tak sedikit pun menunjukkan raut wajah keberatan.
Bagus!
Anak yang berbakti!
Keduanya lalu keluar meninggalkanku seorang diri.
Aih! Satu kesempatan sebenarnya buat kembali ke kamar Mira. Tapi … aku, 'kan sekarang lagi pura-pura nggak bisa jalan.
Gimana, dong?
Huft!
Rupanya, rumah Bu Mala lumayan jauh. Terbukti setelah hampir satu jam, Mas Hamid baru kembali.
"Jauh ya, Mas, bayar arisannya?" tanyaku begitu Mas Hamid kembali ke kamar.
"Lumayan," balas suamiku pelan.
"Mas—." Aku baru hendak menginterogasi tentang sosok Mira saat Mas Hamid tampak menutup mulutnya ketika tiba-tiba menguap. Tak lama setelah dirinya menutup pintu kamar.
"Ngobrolnya besok pagi lagi, ya, sekarang kita tidur dulu, ya, Sayang. Aku ngantuk." Mas Hamid yang seperti enggan diajak berbicara, buru-buru memotong ucapanku. Seolah tak ingin membahas apa pun. Dia kemudian membaringkan tubuhnya setelah mematikan lampu kamar.
Kami pun lantas tertidur dengan posisi saling memunggungi. Entah siapa yang lebih dulu terlelap di antara kami berdua. Aku tak tahu.
Pertengahan malam, tiba-tiba timbul keinginan untukku buang air kecil. Sambil menggeliatkan badan, aku duduk dan menegakkan tubuh.
Deg!
Mataku langsung segar, saat melihat di sebelahku kosong. Tak ada orang.
Ke mana dia?
Lama aku menunggu, siapa tahu Mas Hamid sedang ke kamar kecil. Namun, setelah beberapa lama, tak juga ada tanda-tanda dia kembali.
Entah kenapa hati kecilku meyakini jika dia sedang ada di kamar Mira sekarang.
Ya aku yakin sekali kalau dia sengaja mencari kesempatan setelah melihatku tertidur pulas.
Oke. Baiklah! Mungkin ini saatnya.
Inilah saatnya aku membuktikan kecurigaan yang sudah sangat mengganggu pikiranku akhir-akhir ini.
Rasa ingin buang air kecil kuabaikan, aku pun memaksa diri bangkit dan berjalan pelan menuju kamar Mira. Satu-satunya tempat yang menjadi tujuanku saat ini.
Begitu sampai di tempat yang kutuju, suara dua orang yang sedang berbicara, terdengar dari dalam sana. Namun, sayangnya pendengaranku tak bisa menangkap pasti karena mereka setengah berbisik. Tapi jelas yang berbicara adalah suara lelaki dan perempuan.
Lantas, siapa lagi kalau bukan Mas Hamid yang berada di dalam sekarang? Bukankah hanya dia laki-laki di rumah ini?
Menyadari itu, sontak emosiku naik ke ubun-ubun. Tanpa ingin peduli pada anak kecil yang mungkin sedang tertidur pulas di dalam sana, aku pun nekat melakukan sesuatu.
Kena kau sekarang, Mas!
Brak!
Entah dapat kekuatan super atau memang pintu kamarnya tidak terkunci, dengan sekali tendang pintu kamarnya langsung terbuka, dan ....