Empat

1239 Kata
"Lama bener. Habis teleponan sama pacar barusan? Lo udah punya pacar?" tanya Seruni begitu membukakan pintu kamar untukku. "Hmmm." "Udah punya pacar ternyata," lanjut Seruni lagi. "Wajar sih, lonya cantik begini. Ya kali nggak ada yang punya." Seruni ini orangnya mudah akrab walau baru kenal. Lihat saja sekarang, dia seperti seseorang yang sudah lama mengenalku karena tadi tidak henti-hentinya mulut itu berbicara. Membahas apa pun dari tadi, mulai bergosip tentang Dilla dan Rayyan serta banyak hal lainnya yang tidak penting. "Emm." Aku duduk bersandar diri di sofa kamar. Lalu, Seruni ikut duduk di sebelahku. "Eh, Van, gue kok ngerasa hubungan Kak Dilla dan Captain Tama itu kayaknya nggak se-romantis yang gue kira, ya?" ujarnya tiba-tiba. Aku sontak menoleh ke arah Seruni. Merasa tertarik dengan apa yang hendak disampaikannya, walau beberapa saat yang lalu lelaki yang sedang ingin dibicarakannya itu membuatku begitu kesal dengan tuduhannya yang sama sekali tidak benar. "Kenapa emangnya?" tanyaku penasaran. "Gue tahu kalau Captain Tama itu memang terkenal dingin gitu ke perempuan. Tapi, gue pikir jika sama Kak Dilla bakalan beda kalau di luar jam kerja. Lihat gimana ekspresi dia tadi waktu Kak Dilla minta disuapin?" Aku menggeleng. Aku memang langsung mengalihkan pandangan ke arah Rayyan dan Dilla yang duduk di kursi di depanku tadi, ketika mendengar perempuan itu meminta Rayyan untuk menyuapinya. Aku sama sekali tidak mau melihat, karena jujur saja jika rasa itu belum sepenuhnya hilang meski sudah bertahun-tahun berlalu. Pastinya ada rasa sakit melihat kebersamaan mereka. "Gue nggak begitu perhatiin tadi." "Gue juga nggak niat perhatiin mereka juga, cuma kam ada di depan mata jadi ya kelihatan. Jadi, Kapten Tama itu kayak yang ogah-ogahan nyuapin Kak Dilla. Yang gue lihat, si Kak Dilla yang antusias banget. Sementara captain kita itu stay cool aja. Menurut penilaian gue, Kak Dillanya yang lebih dominan ke Captain Tama." "Mungkin karena nggak enak ada kita kali! Mau mesra-mesraan tapi dia nggak mau. Semacam kayak jaga image gitu." "Gue rasa, enggak jaim juga. Emang dianya kelihatan biasa aja. Pas lo pergi angkat telepon tadi, kan lumayan lama tuh, kita udahan makan dan Captain Tama nyuruh Kak Dilla balik ke kamar. Dianya masih mau di restoran dan pengen sendiri. Gue kayak orang bengong gitu ngeliatin Kak Dilla ngerajuk nggak mau disuruh balik ke kamar duluan. Sampe dibentak Kak Dilla itu di depan gue." "Masa?” ”Beneran, serius!” “Mungkin Captain Tama lagi badmood." Seruni mengedikkan bahunya. "Terus gimana habis itu?" Seru juga mendengar cerita Seruni mengenai kedua orang itu. Setahuku, dulu itu Rayyan tak pernah sekali pun berkata dengan nada tinggi kepada perempuan itu. Rayyan selalu membelanya seolah Dilla tak pernah salah di mata lelaki itu. "Malu banget lah pasti, si Kak Dilla itu. Matanya udah berkaca-kaca, terus gue inisiatif ngerangkul dia ajakin segera pergi dari sana. Nggak tahu kenapa, mukanya Captain Tama itu nggak enakin banget diliat tadi. Kayak orang lagi kesal gitu. Padahal, Kak Dilla itu cuma ngajakin balik bareng ke kamar dan kalau pun Captain Tamanya masih mau di sana, dia mau nungguin. Eh, nggak tahunya malah dibentak suruh pergi. Gue lagi pengen sendiri, lo ngerti nggak, sih? Dia bilang begitu sama pacar sendiri dengan nada tinggi.” "Ooh. Iya kali, lagi badmood." "Nggak ngerti juga. Mukanya asam banget habis lo pergi angkat telepon, heran nggak tahu kenapa tiba-tiba begitu. Aneh banget, ‘kan?” Aku rasa, salah satu alasan Rayyan menyuruh Dilla pergi karena ingin berbicara denganku yang memastikan kalau aku tidak akan mendekatinya lagi. Hufftt… semisal pun masih ada sedikit rasa yang tertinggal, aku tidak akan pernah mengejar lelaki kain di saat aku sendiri tengah memiliki seorang kekasih. Ketika aku dan Seruni baru saja pindah ke kasur hendak tidur, ada yang mengetuk pintu kamar kami. "Siapa sih, malam-malam ganggu orang mau tidur aja?" gerutu Seruni dengan bibir mengerucut. "Tolong bukain dong, Van. Mager banget gue, ngantuk parah." Aku bangkit dan berjala ke arah pintu. Saat pintu terbuka, ternyata ada Dilla yang berdiri di depan pintu kamar kami. "Aku cuma sendiri, tanpa Rayyan," ujar Dilla pelan saat menyadari pandanganku yang menyapu ke arah ke segala penjuru di lorong. "Bisa bicara sebentar, Vania? Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan sama kamu." "Penting? Soalnya aku ngantuk, mau tidur." "Penting, Van... penting banget!! Please... " "Oke. Aku bilang Seruni dulu." Aku kembali ke dalam dan Seruni sudah memejamkan matanya. "Run, gue keluar bentar, ya?" ujarku sembari mengguncang pelan lengannya. "Kak Dilla minta ditemenin cari angin segar." Dan Seruni hanya menjawab dengan sebuah gumaman. Aku pun membawa salah satu kartu akses kamar yang diberi dua oleh resepsionis tadi. Karena Seruni sudah tidur dan tidak ingin mengganggunya apabila aku lama di luar. *** Dilla mengajakku berbicara di coffeshop yang letaknya tidak begitu jauh dari hotel, bisa dijangkau hanya dengan berjalan kaki saja. “Kak Dilla mau ngomongin hal penting apa?” tanyaku to the point sembari melirik jam di pergelangan tanganku. “Aku enggak bisa lama.” “Banyak sebenarnya. Tapi, malam ini aku akan ngomong intinya aja.” Ucapannya terjeda sesaat. Perempuan itu tersenyum kepada salah waitress yang mengantar pesanan minumannya. Sedangkan aku tidak memesan apa pun. “Beneran nggak mau pesan apa-apa?” “Enggak, terima kasih.” Dilla meneguk minumannya sebelum kembali lanjut berbicara. “Oke, langsung aja ke intinya. Aku cuma mau bilang kalau aku dan Rayyan sekarang sedang menjalin hubungan spesial.” “Terus?” tanyaku tidak begitu terkejut dengan pengakuannya barusan. Sesuatu yang sudah kuduga sebelumnya. “Dan jujur aja, aku merasa agak risih dengan kemunculan kamu di penerbangan yang sama dengan kami.” Aku terkekeh kecil, namun tak langsung menyela, aku menunggu Dilla melanjutkan ucapannya. “Kamu nggak ada niat untuk merebut Rayyan dari aku, ‘kan?” Rasanya aku ingin sekali menertawai ekspresi wajah ketakutan yang ditunjukkan Dilla saat ini. “Aku dulu pernah bilang sama kamu kalau aku sama Rayyan nggak akan pernah lebih dari sekedar sahabat. Nyatanya, pemikiran aku salah. Setelah putus dari pacarku waktu itu, Rayyan kembali gencar dekatin aku lagi dan suatu saat dia ngungkapin perasaannya. Ngajakin aku pacaran untuk kedua kalinya. Setelah aku pikir-pikir, nggak ada salahnya jika aku mencoba pacaran dengan sahabatku sendiri. Semakin dewasa, tentunya arah hubungan yang aku inginkan ke tahap yang lebih serius. Bukan hanya sekedar pacaran, aku berharap Rayyan menjadi pasangan hidupku.” Aku menyimak setiap kata yang keluar dari mulut Dilla. “Kami udah pacaran selama 3 tahun ini. Dan berniat melangkah ke jenjang pernikahan dalam waktu dekat.” Terdengar helaan napas dari Dilla. “Kata orang, cobaan sebelum menikah itu banyak. Salah satunya orang ketiga—bisa jadi orang ketiga itu seseorang yang datang dari masa lalu.” “Apa yang mesti Kak Dilla khawatirin kalau Kak Rayyan benar-benar mencintai Kak Dilla tulus dari dulu, bahkan sebelum pacaran sama aku?” “Aku tahu dia sayang banget aku. Tapi, godaan bisa saja datang dari orang yang nggak ingin kami bersama. Umm… sorry, kamu udah nggak punya perasaan apa-apa lagi sama dia, ‘kan?” “Sekian tahun berlalu dan sekarang aku udah punya pacar juga. Kak Dilla pikir, aku masih ngarep balikan sama Rayyan? Cih.. kayak nggak ada laki-laki lain aja di muka bumi ini. Lagi juga, aku nggak jelek-jelek amat. Semisal suatu saat nggak jodoh sama pacarku yang sekarang, aku yakin masih banyak yang mau sama aku,” ujarku dengan percaya dirinya. Aku tersenyum tipis. “Kak Dilla nggak usah khawatir, aku bukan tipe perempuan yang suka merebut pasangan orang. Apalagi dengan menggoda atau menfitnah seseorang demi mendapatkan yang diinginkan. Enggak… aku bukan seperti itu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN