Lima

1665 Kata
Pukul 07:00 pagi, aku dan Seruni sudah rapih berdandan. Mobil jemputan sudah menunggu kami di lobi hotel. Baru saja keluar dari kamar, pandanganku beralih ke arah lorong sebelah kanan karena di sana tampak Dilla yang juga sudah rapih dengan seragam pramugarinya tampak sedang mengetuk pintu kamar di depannya. Hanya berjeda 2 kamar jaraknya dari kamarku dan Seruni. Hingga muncul sosok Rayyan dari dalam kamar tersebut. "Wah, kayaknya semalam ada yang pisah ranjang nih!" ujar Seruni yang ternyata menatap ke arah yang sama denganku. "Lagi ribut yang sejak semalam itu kali, ya?" Aku mengedikkan bahu. "Nggak usah kepo. Bukan urusan kita." Aku memutar badan menuju ke arah lift dan diikuti oleh Seruni. Tiba-tiba, ada Dilla yang sudah berada di dekat kami dengan menyeret kopernya. Hanya sendirian, tidak bersama Rayyan. "Kalian udah pada sarapan?" tanya Dilla yang sekarang sudah berdiri di sebelahku persis. "Udah," jawabku dan Seruni serentak. "Aku belum sempat makan, agak kesiangan tadi bangunnya. Si captain semalam susah banget disuruh tidur cepat. Aku jadi ikut-ikutan enggak bisa tidur juga." "Ciee... udah baikan ceritanya soal semalam?" goda Seruni. Dilla mengangguk sembari tersenyum. "Badmood-nya dia kayak begitu doang, Run. Semalam itu dia lagi ada sedikit masalah kecil aja dianya. Mana bisa dia diemin aku lama-lama. Nggak lama aku nyampe kamar, dia langsung datengin aku minta maaf takut aku marah balik. Karena dia benar-benar nggak sengaja katanya. Kan dia paling enggak bisa lihat aku marah." Apa gunanya dia menjelaskan panjang lebar seperti itu? "Ooh, gitu. Semoga langgeng hubungannya dengan Captain Tama ya, Kak," ucap Seruni. "Do'ain aja." Kami bertiga masuk ke ketika lift-nya terbuka. "Kami akan berencana menikah dalam waktu dekat. Semoga nggak ada halangan," lanjut Dilla lagi seraya melirik ke arahku. "Cobaan sebelum menikah itu banyak, contoh salah satunya itu kehadiran orang ketiga. Jangan sampe deh, ada seseorang yang mengacaukan hubungan kami." Aku menahan napas. Seandainya tidak ada Seruni di sini, aku sudah pasti akan menyahuti ucapan Dilla barusan. Apa maksudnya berbicara seperti itu? Kenapa dia seolah menuduhkan akan merebut Rayyan darinya. Huuffttt... percuma rasanya aku berbicara panjang lebar dengan perempuan seperti Dilla ini semalam. Playing victim sekali. Bukannya dia dulu yang berusaha merebut Rayyan dariku dengan cara memfitnah aku dan mengompori lelaki itu agar meninggalkanku? Sepertinya Dilla pura-pura amnesia. Lupa dengan apa yang pernah dilakukannya dulu. Kelicikan yang tak pernah diakuinya walau beberapa kali pun aku bicara membeberkan faktanya. Dia terus saja berkilah. "Perempuan perfect kayak Kak Dilla ini, mana mungkin disia-siain begitu aja sama Kapten kita," ujar Seruni. Aku hanya diam saja dari tadi menyimak sampai kami bertiga keluar dari lift. "Aku kayaknya mau sarapan sebentar di restoran, masih ada waktu, 'kan?" ujar Dilla sebelum kami tiba di meja resepsionis. "Sambil nunggu captain kita dan si Yuda juga." "Masih bisa sarapan kok, kak," jawab Seruni. Kemudian, perempuan itu menepuk keningnya. "Aku lupa deh, airpods ketinggalan di kamar. Nitip bentar kopernya ya, Van? Mau balik ke kamar. Nanti tunggu di restoran aja nemenin Kak Dilla." "Hmmm. Gue tunggu di mobil jemputan aja deh, Run. Kalau lihat makanan, nanti gue bawaannya pengen makan lagi," ujarku mengelak. Malas sekali rasanya duduk semeja dengan Dilla di restoran. Sejak semalam, aku muak sekali rasanya kepada perempuan itu. Ah, bukan dari semalam saja, mungkin sudah dari tahun-tahun sebelumnya juga. Bukannya dendam, hanya saja sulit untuk dekat kembali dengan seseorang yang telah mengecewakanku. Aku bisa bersikap profesional dalam bekerja, namun tidak untuk di luar pekerjaan. "Terserah lo aja." Seruni langsung bergegas pergi. Aku hendak melangkah menyeret dua koper dengan kedua tanganku, namun Dilla mencekal pergelangan tanganku. "Kenapa nggak mau nemenin aku sarapan?" tanyanya. "Malas aja," jawabku tanpa perlu berpura-pura. Perempuan itu menatapku dengan kening berkerut. "Soal semalam? Ayo lah, Van, aku kan sekedar ngingetin kamu aja. Sorry kalau ucapan aku semalam membuat kamu tersinggung. Aku nggak ada maksud begitu sebenarnya, aku cuma ingin kamu tahu hubunganku dengan Rayyan sekarang." ‘Cuma’ katanya?? Aku memutar bola mata malas. "Sorry juga sebelumnya, Kak. Kalau di luar kerjaan, kita nggak sedekat itu. Jadi, aku nggak bisa walau hanya sekedar nemenin sarapan doang. Aku tunggu di mobil aja." Segera kuseret kedua koper di kedua sisi tubuhku karena selain malas berada di dekat Dilla, ada sosok Rayyan juga yang tengah berjalan menyeret kopernya ke arah resepsionis yang tidak jauh dari aku dan Dilla berdiri. "Songong banget itu orang!" Sebelum melangkah lebih jauh dari sana, aku sempat mendengar gerutuan kesal dari Dilla. Aku terus melangkah maju, tidak menanggapi apa yang keluar dari mulut perempuan itu. Baru saja menaruh koper di bagian belakang dan hendak duduk di bangku di bagian tengah, aku melihat Rayyan keluar berjalan keluar lobi—diikuti oleh Dilla di belakang lelaki dengan raut wajah yang cemberut, beda dengan Rayyan yang tampak tenang saja. Loh... Dilla tidak jadi sarapan? *** Tiba di bandara, kami sepeeti biasa pada awalnya kami mengisi presensi kehadiran di flops. Setelah itu, kami para pramugari menuju crew room, namun tidak dengan Rayyan. Rayyan baru saja memasuki ruangan tempat briefing setelah sebelumnya ke sebuah ruangan lain untuk menanyakan perihal kondisi cuaca dan lain sebagainya. Sekarang, lelaki yang merupakan mantan kekasihnya itu sedang memberi arahan kepada kami. Aku pun mencatat apa yang dikatakan oleh sang captain tersebut. Sebelum terbang, kami diberikan informasi tentang kemungkinan-kemungkinan yang terjadi ketika penerbangan berlangsung. Salah satunya kondisi cuaca, kemungkinan turbulensi, durasi penerbangan, dan faktor lain yang dapat mempengaruhi penerbangan yang akan datang nantinya, dibahas rinci pada pengarahan ini. Selain itu, kami juga diberi pengarahan tentang keselamatan dan persediaan peralatan darurat yang relevan dengan pesawat yang digunakan. "Cukup sekian dari saya, kalian semua paham?" tanya Rayyan kepada kami semua. "Paham, Captain!" sahut kami semua serentak. "Kamu, Vania, ada yang mau ditanyakan lagi?" tanya Rayyan menatapku dengan tatapan dinginnya. Aku menggeleng. "Enggak ada, Captain." Lelaki itu manggut-manggut. "Walau sebelumnya kamu memang sudah punya pengalaman sebagai pramugari, tapi saat ini kamu berada dalam maskapai nomor satu di negeri ini. Tolong belajar lebih banyak lagi, jangan sampai mengecewakan pihak maskapai. Belajar sama senior kamu, Dilla. Dia peraih best flight attendant maskapai ini pada tahun lalu." "Iya, Captain." "Jangan iya-iya aja!" decak lelaki itu. "Contoh apa pun dari Dilla dan jangan segan untuk bertanya. Apa yang senior bilang tentang tugas kamu, jangan ngeyel!" Apa melongo, apa maksud ucapan Rayyan? Kapan aku membantah ucapan senior sejak terbang bersama mereka pada kemarin? Aku menarik napas, lalu menghembuskannya perlahan. Sepertinya bukan aku yang tidak bisa profesional di sini, melainkan mantan kekasihku itu. "Baiklah, Pak Captain. Saya akan belajar banyak sama Kak Dilla." Aku menoleh pada Dilla dan perempuan itu tersenyum kepadaku. Entah apa arti senyumannya itu. Aku jadi curiga, jangan-jangan dia telah berkata sesuatu kepada Rayyan yang membuat lelaki itu berkata seperti barusan. Begitu memasuki pesawat sebelum penumpang naik, kami para pramugari memeriksa apabila didapatkan alat keselamatan yang tidak berfungsi dengan baik, contoh salah satunya adalah alat pemadam kebakaran. Itu akan diganti sebelum lepas landas jika bermasalah. "Periksa yang teliti, Vania!" ujar Dilla yang baru kusadari sudah berada di dekatku yang tengah memeriksa pelampung. "Baik, Kak Dilla." Baru hari kedua terbang bersama Dilla dan Rayyan, mereka begitu menguji kesabaranku. Akankah aku bertahan lama di maskapai ini? Aku mencintai pekerjaanku sebagai pramugari di mana aku bisa berkunjung ke berbagai tempat sambil bekerja, tanpa mengeluarkan biaya. Paling hanya untuk membeli sesuatu yang aku inginkan atau ketika jalan-jalan di tempat peristirahatan. Di saat semuanya sudah clear, Kak Dilla memberi report, jika cabin sudah ready untuk boarding. Kami semua membantu para penumpang yang membutuhkan bantuan, mengecek jumlah penumpang dan memastikan bagasi cabin tertutup dengan baik. Lalu, melakukan safety demo setelahnya. Cleared for take off... Pesawat sudah siap untuk lepas landas usai Rayyan mengucapkan kalimat itu. *** Dari Bandara Juanda di Surabaya, pada pukul 19:00 pesawat kami bertolak menuju Soekarno Hatta International Airport untuk penerbangan terakhir hari ini. Dan setelah itu, aku bisa langsung pulang ke rumah. Rasanya ingin segera tiba di rumah beristirahat menenangkan isi kepalaku yang cukup mumet 2 hari ini, dan bercerita kepada mama keesokan harinya. Karena akan tiba di rumah larut malam, pasti mama sudah tidur. "Dijemput apa dianter pulangnya, Van?" tanya Seruni ketika semua penumpang sudah keluar dari cabin pesawat. "Gue dijemput," jawabku sembari tersenyum. "Ciee... dijemput pacar pastinya, ya?" goda Seruni. "Enak banget yang udah punya. Kalau gue cuma dijemput kakak gue. Selalu begitu kalau pulang malam." Aku mengangguk. "Tandanya kakak lo perhatian. Sama, kakak dan adek gue yang cowok juga gitu. Kecuali kalau gue bilang cowok gue mau jemput. Sudut mataku melirik Dilla untuk melihat ekpspresi perempuan itu, namun dia tampak tenang saja sembari meraih kopernya. Tak lama, pintu dari arah bagian pilot terbuka. Yuda sang co-pilot keluar dari sana terlebih dahulu diikuti oleh Rayyan setelahnya. "Mau pulang bareng, Vania?" tanya Yuda begitu tiba di dekatku dan Seruni. "Ck... mau modus, ya, Mas?" sela Seruni mengejek. "Sayangnya Vania udah punya pacar. Dan malam ini pacarnya jemput." "Yaah... patah hati sebelum bertarung gue," ujar Yuda sambil menekan-nekan dadanya. Setelah selesai semuanya, aku menunggu Eros pacarku dengan duduk di terminal kedatangan. Setengah jam menunggu, lelaki itu tak kunjung muncul. Hingga sosok Rayyan keluar seorang diri, tanpa Dilla di sampingnya. Aku pikir, mereka akan pulang bersama. Nyatanya hingga 15 menit berlalu, Dilla tak kunjung muncul juga. "Pacar kamu belom datang menjemput?" tanya Rayyan yang awalnya berdiri tak jauh dariku duduk, sekarang malah sudah duduk di sebelahku persis. "Bukan urusan anda," jawabku dingin. "Udah berapa lama nungguin?" "Nggak usah kepo!" Aku kembali sibuk dengan ponsel di tanganku, kembali menghubungi Eros, namun tak kunjung ada jawaban. Ponsel lelaki itu tidak aktif. "Saya antar pulang kalau pacar kamu nggak datang juga," ujar Rayyan membuatku sontak menoleh dengan mata menyipit. "Cuma nganterin doang, nggak usah mikir berlebihan," lanjut Rayyan lagi. "Anterin Kak Dilla aja sana! Ngapain repot-repot mau anterin saya?" "Dilla udah pulang dari tadi dijemput sepupunya." "Terus, kenapa anda nggak langsung pulang juga?" "Saya hanya ingin memastikan pramugari yang terbang bersama saya malam ini sampai di rumah dalam keadaan baik. Ayo... mau saya antar pulang?" "Enggak usah, terima kasih. Kalau pun pacar saya nggak bisa jemput, ada kakak atau adek saya yang bakalan jemput. Lebih baik saya menunggu salah satu dari mereka dari pada pulang bersama anda."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN