Tiga

1891 Kata
"Tumben banget. Biasanya mana pernah dia ngajakin makan malam bareng," ujar Seruni berbisik kecil. Aku dan Seruni akhirnya ikut Dilla dan Rayyan hendak makan malam bersama. Awalnya, aku enggan dan begitu juga dengan Seruni. Namun, Dilla sepertinya tidak menyerah, entah mengapa dia ngotot sekali ingin kami ikut bersama mereka. Hingga aku dan Seruni pun merasa tak enak untuk menolak. Sepanjang perjalanan, tangan Dilla tak berhenti menggandeng lengan Rayyan. Lelaki itu tampak tidak merasa risih sama sekali. Mungkin mereka memang sudah terbiasa seperti itu, karena keduanya sedang menjalin hubungan spesial. Tidak ada yang salah jika bergandengan tangan di tempat umum, bukan? "Makan di restoran hotel aja, nggak usah keluar," ujar Rayyan saat kami sudah memasuki lift. "Kenapa emangnya, Ian?" tanya Dilla mengernyit. Ian adalah panggilan khusus dari Dilla kepada Rayyan sejak mereka kecil. "Bukannya kamu tadi pengen nyari coto makassar?" "Nggak jadi." Aku hanya diam menyimak pembicaraan kedua orang yang berdiri di belakang aku dan Seruni di dalam lift. "Nggak usah banyak tanya. Nggak jadi ya nggak jadi aja." Nada bicara Rayyan terdengar begitu dingin. Seruni melirikku, namun aku pura-pura hanya diam saja seolah tidak peduli dengan apa yang kedua orang itu bicarakan. Tak lama, kami berempat tiba di restoran hotel. Aku memesan nasi goreng dan kami berempat mengobrol santai sambil menunggu pesanan makanan kami datang. Ah, lebih tepatnya hanya Dilla yang banyak berbicara dan ditimpali oleh Seruni. Sedangkan aku hanya sesekali menimbrung. Aku mual rasanya mengingat kelicikan Dilla dulu. Dia yang terlihat baik dengan sikap ramahnya kepada siapa saja, termasuk kepadaku dulu, namun di belakangku malah menjelek-jelekkan aku. Aku sempat mengajak perempuan itu bertemu sesaat setelah Rayyan meminta kami break, akan tetapi Dilla tampak tidak merasa bersalah sama sekali. "Kak Rayyan minta kami untuk break dulu," ujarku pada perempuan tinggi semampai yang duduk di depanku pada sebuah cafe. "Loh, kenapa gitu? Kalian ada masalah?" Rasanya aku ingin sekali mencakar mukanya mengingat kata-kata perempuan itu pada room chat di ponsel milik Rayyan. Aku ingat persis di mana dia menyarankan Rayyan agar mengakhiri hubungannya denganku. Dia itu masih labil, Ian Mungkin masih pengen senang-senang Enggak bisa LDR-an sama kamu, makanya dia cari yang lain Yang selalu ada nemenin kapan pun dia butuh Darahku mendidih begitu mengingat akan apa yang perempuan itu sarankan kepada kekasihku. "Kak Dilla bilang apa aja sama Kak Rayyan tentang aku dan Rafli?" tanyaku to the point. Tidak mau berbelit-belit. "Maksud kamu apa, Van? Aku enggak ngerti." Dilla meraih segelas cappucino latte di depannya, lalu meneguknya perlahan. "Kamu emangnya ada masalah sama Ian gara-gara Rafli?" Pintar sekali Dilla ini bersandiwara. Pura-pura tidak mengerti apa pun, padahal dia lah sumber masalahnya. "Kak Dilla bilang apa sama Kak Rayyan?" tanya sekali lagi dengan nada yang cukup tinggi dan dingin. "Aku enggak bilang apa-apa. Aku enggak ngerti maksud ka— " "Bohong!" potongku cepat. Aku tertawa hambar. "Kak Dilla bilang sama Kak Rayyan kalau sering ngeliat aku dan Rafli jalan, bermesraan dan banyak lagi. Dan aku nggak nyangka, Kak Rayyan ternyata lebih mempercayai ucapan sahabatnya sendiri dibanding aku pacarnya." "Ini pasti ada salah paham, Van. Karena aku benar-benar nggak ngerti apa yang kamu bilang barusan. Oke, Rayyan emang pernah cerita kalau terkadang dia ngerasa cemburu dengan kedekatan kamu dan Rafli. Tapi aku nasehatin dia buat nggak mikir yang macam-macam. Aku bilang sama dia agar mempercayai kamu, karena kamu nggak bakalan khianatin dia." Kenapa jadinya terbalik? Ucapan Dilla barusan merupakan balasan chat dari Rayyan kepadanya. Rayyan yang mengetikkan di sana jika mempercayaiku dan menyebut aku yang tidak akan berpaling darinya. Namun, Dilla terus mengompori dan berusaha meyakinkan sahabatnya itu terus-menerus hingga pada akhirnya Rayyan terpancing juga. Lalu, mulai meragukanku. Tampak ada beberapa foto terhapus pada chat itu—yang dikirimkan oleh Dilla. "Gitu ya, Kak?" Aku terkekeh sinis. Sudah bisa kutebak walau terus mendesak, dia tidak akan mau mengaku. Dilla mengangguk cepat. "Beneran, Van. Apa untungnya jika aku mengadu domba antara kamu dan sahabat aku sendiri?" "Kali aja Kak Dilla punya perasaan yang lebih dari sekedar sahabat sama Kak Rayyan dan ingin hubungan kami berdua berakhir." "Ngaco aja kamu. Aku itu udah punya pacar, loh." Dilla tertawa kecil, kemudian rajt wajahnya berubah serius. "Aku mau bilang sesuat, tapi kamu jangan marah, ya? Jujur aja kalau dulu Ian memang sempat ngajakin aku pacaran. Tapi aku nggak mau ngerusak hubungan persahabatan kami yang udah terjalin dari dulu banget. Kalau putus, kan jadi canggung. Susah buat temanan lagi." Terbayang akan percakapan dengan Dilla waktu dulu membuatku manggut-manggut paham saat ini, walau sering denial dulunya. Aku yang merasa jika Rayyan benar-benar mencintaiku dan Dilla lah yang mengejar-ngejarnya. Apa iya mereka dulunya saling cinta, lalu setelah putus dariku memutuskan untuk menjalin hubungan spesial lebih dari sekedar sahabat? "Jadi, sebelumnya kamu pramugrari di Sayap Air, Van?" tanya Dilla beralih padaku yang lebih banyak menyimak—sibuk dengan ponsel di tanganku. Begitu juga dengan Rayyan. Sama sepertiku yang sibuk dengan ponsel juga. Sesekali menimpali dengan gumaman singkat atau "iya, tidak, nggak kenapa-napa" Raut wajah Rayyan tampak datar tanpa ekspresi. "Iya,"jawabku singkat. "Berarti pas lulus kuliah langsung jadi pramugari, ya? Ngomong-ngomong, kenapa dulu nggak langsung daftar di Daruga ini?" "Nggak begitu percaya diri dulunya. Tinggiku agak kurang dan nggak yakin aja dengan saingan yang pastinya jauh lebih baik dari aku." "Padahal kamu cantik banget loh dan public speaking kamu in english itu oke banget," puji Dilla yang aku tidak tahu itu tulus dari hatinya atau hanya sekedar ucapan di bibir saja." "Ah, mungkin karena usah terlatih pas udah jadi pramugari aja." Sudut matanya mencuri pandang ke arah Rayyan, lelaki itu sama sekali tampak tidak berminat menimbrung percakapan kami. Beberapa menit kemudian, pesanan makan kami pun datang. Aku sempat mematung di saat melihat Dilla yang menarik piring Rayyan dan memindahkan sayuran yang terdapat pada mie goreng pesanan lelaki itu ke atas piring miliknya. Hal yang sering aku lakukan dulu di saat makanan yang dipesan Rayyan ada sayurnya. Lelaki itu tidak menyukai sayur, akan tetapi menyukai segala jenis buah-buahan. "Maaf, aku lupa pesanin kalau tanpa sayur," ujar Dilla sembari tersenyum manis—menggeser kembali piring berisi mie milik Rayyan yang sudah bersih dari sayuran. "Nggak apa-apa." "Aku cobain mie gorengnya boleh nggak?" "Hmmm... coba aja." "Maunya disuapin," ujar Dilla dengan manjanya. Aku tak mengerti kenapa Dilla mengajak aku dan Seruni makan malam bersama, padahal sebelum tidak pernah dia mengajak juniornya untuk makan malam bersama seperti apa yang dibilang Seruni tadi. Apa dia ingin menjelaskan tentang hubungannya dengan Rayyan saat ini kepadaku secara tidak langsung? Dan aku memilih sibuk memakan makan malamku tanpa melihat-lihat lagi ke arah mereka. Bohong kalau rasa sakit itu tidak ada mengetahui mereka berdua yang sudah bersama walau kami baru bertemu kembali. Aku yang kadang diam-diam masih mengenang masa-masa indah bersama Rayyan setiap kali usai memimpikan lelaki itu. Baru separuh melahap makananku, layar ponsel di atas meja di dekat piringku menyala dan memuncukan nama Eros di sana. Seorang lelaki yang beberapa bulan belakangan ini menjalin hubungan asmara denganku berawal dari perjodohan teman kuliahku dulu. "Maaf semuanya, aku harus angkat telepon. Nanti pada duluan aja balik ke kamarnya." Aku berjalan meraih dompetku dan bangkit berdiri dengan ponsel menempel di telingaku menuju arah outdoor restoran. "Pacarnya yang nelepon kayaknya." Suara Dilla yang masih terdengar jelas olehku sebelum langkah kakiku menjauh dari sana. *** Aku mengobrol dengan Eros di telepon ditemani semilir angin malam di bagian outdoor restoran yang letaknya tidak jauh dari pantai. Mencintai Eros? Entahlah, aku sendiri belum tahu jawabannya. Aku merasa nyaman bersamanya karena Eros bukan lelaki yang banyak menuntut. Dia juga lawan bicara yang baik. Dia juga tipe lelaki pekerja keras dan tampangnya juga lumayan tampan. Jadi, tidak ada salahnya jika aku mencoba menjalin sebuah hubungan dengannya, walau dia bukan berasal dari keluarga kaya raya sepertiku, bukan? "Weekend ini kamu di Jakarta?" tanya Eros di seberang sana. "Kayaknya, sih. Eh, tapi hari Minggu ada flight sore." "Ya udah. Nanti aku jemput kamu, berarti... hari Jum'at malam?" "Iya, boleh." "Mau nginep di apartemen aku biar bisa sama-sama lebih lama sampe hari Minggu?" Aku tertawa. "Enggak... makasih. Aku mau pulang ke rumah aja, kangen sama keluarga di rumah." Eros memang tidak banyak menuntut, namun dia sering menawarkan agar aku menginap di apartemennya sesekali agar bisa menghabiskan waktu lebih lama denganku. Aku tentu saja menolak karena tidak ingin terjadi hal-hal yang tidak diinginkan jika berduaan dengannya sepanjang hari. Eros adalah lelaki normal dan aku tidak akan percaya 100% kepada lelaki yang baru aku kenal sekitar 8 bulan yang lalu. Dua bulan masa pendekatan, baru setelah itu kami berpacaran. "Ya udah. Mau jalan-jalan atau ke mana hari Sabtu nanti? Aku siap nyopirin kamu ke mana pun." "Nggak tahu, bingung. Sebenarnya pengen di rumah aja, lagi malas ke mana-mana. Kamu keberatan semisal malam mingguan di rumah orang tuaku?" "Umm... boleh." Eros itu tidak ribet. Jika ada perbedaan pendapat di antara kami, dia lebih sering mengalah. Minusnya, mungkin sama denganku. Ketika sedang bekerja, aku pasti tidak bisa menghubunginya. Begitu pun dengan Eros yang merupakan seorang karyawan IT perusahaan ternama bagian software developer. Dia sering lembur bahkan menginap di kantor jika sedang banyak yang harus diselesaikannya. Kalau sudah begitu, dia jarang menghubungiku atau ponselnya tidak aktif. Aku memaklumi itu karena Eros telah menjelaskannya. Baru saja sambungan telepon dengan Eros berakhir, aku terkejut melihat Rayyan yang sudah berdiri di dekatku duduk. "Habis nelepon pacar kamu?" tanya lelaki itu tanpa menoleh, dengan arah mata yang lurus ke depan mengarah pada lautan samudera yang tak jauh dari area hotel. Aku melirik kiri kanan, tidak ada orang di sekitarku. "Ooh. Nanya sama saya barusan?" "Ck... emang ada siapa lagi di sini?" "Kirain nggak mau kenal lagi," ujarku tanpa menjawab pertanyaannya. Mengingat sedari tadi dia yang sepertinya enggan menoleh padaku. "Beneran, nelepon pacar kamu barusan?" Rayyan mengulang kembali pertanyaannya. "Pardon?" Aku tertawa, jengah sekali rasanya. "Saya rasa itu bukan urusan anda untuk mengetahui dengan siapa pun saya berkomunikasi." Rayyan memutar badannya hingga menghadap padaku. "Saya cuma ingin memastikan sesuatu tentang dugaan saya." Keningku berkerut, tak mengerti ke mana arah pembicaraan mantan pacarku ini. "Saya cuma ingin memastikan kalau menjadi pramugari di Daruga itu bukan salah satu cara kamu agar bisa bertemu dan berusaha mendekati saya lagi?" Aku sontak tertawa mendengar lelucon yang keluar dari mulut lelaki di hadapanku ini. "Malam-malam anda ngelawak, ya, Kapten? Kenapa bisa percaya diri sekali, sih?" "Saya tahu kamu masih suka stalking media sosial saya." "Sok tahu banget!" Rayyan terkekeh. "Nggak usah bohong sama saya. Di sini, saya cuma mau ngingetin kalau harap profesional dalam bekerja. Jangan pernah ungkit masa lalu kita. Dan juga, jangan harap kamu akan bisa dengan mudahnya mendekati saya karena sampai kapan pun saya nggak akan mau kembali dengan perempuan yang enggak bisa setia hanya dengan satu laki-laki aja." "Setelah bertahun-tahun berlalu, anda masih berpikir bahwa saya tidak bisa move on dari anda?" Aku tertawa meledek. "Laki-laki di dunia ini bukan cuma anda doang, Captain! Perihal setia juga, setelah 3 tahun menjalin hubungan, anda ternyata sama sekali tidak mengenal saya sesungguhnya. Maklum aja, sih, kan cuma dia yang anda tahu persis. Yang anda selalu percaya melebihi siapa pun. Gimana? Udah bahagia bisa bareng-bareng sama dia sekarang?" Aku bangkit dari dudukku, ingin segera pergi dari sana tanpa perlu menunggu jawaban darinya. "Maksud kamu apa, hah?" Rayyan mencekal tanganku di saat aku hendak melangkah pergi. "Pikir aja sendiri!" Aku menepis cekalan tangannya pada tanganku. "Nggak usah pegang-pegang tangan saya, nanti Seruni atau kesayangan anda ngeliat, kan bisa jadi salah duga. Saya nggak mau nanti dapat predikat sebagai pramugari baru yang keganjenan sama pilot tampan pacar orang."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN