Part 20

1008 Kata
Yang Mulia Raja duduk di singgasananya. Dia sudah siap dengan segala keputusan yang bakal diambilnya. Dipandanginya wajah-wajah para menteri sebelum membuka gulungan yang berisi surat keputusan atas kasus Se Hwa. Semua orang terdiam. Lalu, suara raja menggelegar, begitu berwibawa. Akhirnya, raja memutuskan untuk membebaskan seluruh keluarga Hwang, kecuali Se Hwa. Dia dicabut dari kepemimpinannya sebagai jendral dan akan di asingkan ke pulau terpencil di Hokdo, bagian selatan Kekaisaran Joseon. Tak ada yang bisa mengganggu gugat keputusan itu. Stempel kerajaan sudah dibubuhkan di hadapan semua mentri, lalu seorang utusan membawa gulungan perintah itu ke bagian kehakiman. Kepala hakim membaca isi surat itu dengan saksama. Dia pun memerintahkan untuk membawa semua tahanan keluar dari ruang tahanan. Mereka kembali dikumpulkan di alun-alun. Semuanya bersuduj bersiap menerima titah sang penguasa. Air mata pun tumpah di kalangan para dayang keluarga Hwang karena mereka tak jadi dihukum. Akan tetapi, hal lain terjadi dengan Tuan Hwang. Dia dan istrinya memeluk Hwang Se Hwa dan menangis. Sesal yang teramat dalam menyesakkan dadanya. Seandainya dulu dia tak melakukan itu dan membiarkan Se Hwa tumbuh sebagai wanita, maka anak gadisnya tak akan mengalami kejadian ini. Jika beruntung, putrinya itu bahkan bisa dinobatkan menjadi putri mahkota. "Se Hwa ...." "Sudahlah, Ayah. Tidak apa-apa. Di sana aku akan hidup dengan baik. Menikah dengan sesama tahanan yang diasingkan, lalu punya anak dan hidup bahagia." Se Hwa berkelakar, tapi tak ada satu pun yang tertawa. Mereka sibuk menangisi nasib Se Hwa. Ketika petugas penjara memaksa Se Hwa berdiri dan meninggalkan alun-alun, Naya, Min Gyu, dan beberapa dayang yang lain menangis sambil mengejarnya. Para prajurit segera menghentikan tindakan mereka, lalu menyuruh mereka semua kembali ke kediaman keluarga Hwang. Se Hwa sendiri kembali dimasukkan ke sel sebelum diberangkatkan besok pagi-pagi buta. "Hah ...." Gadis itu mengeluh. "Buruk sekali nasibmu, Hwang Se Hwa. Lalu, kenapa aku yang harus bertukar tubuh denganmu?" Se Hwa menertawakan dirinya. Lebih tepatnya, Han Airin-lah yang tertawa yang menertawakan nasib Hwang Se Hwa. "Hei, apa kau tau nasibmu akan seperti ini makanya kau lari meninggalkan tubuhmu dan membiarkanku tersika?" Airin sedang bicara sendiri seperti orang gila ketika putra mahkota masuk ke sel tahanan. Refleks Airin mengangkat wajahnya. Pangeran memeluk gadis itu. "Dengarkan aku, kau hiduplah dengan baik di Hokdo. Tunggu aku menjemputmu. Hanya sampai aku bisa membunuh siluman rubah itu. Setelah itu, akan kuminta kebebasanmu sebagai hadiah, lalu kita bisa menikah. Aku berjanji, kelak kau-lah yang akan jadi ratuku." Pangeran mengurai pelukannya, lalu memandangi wajah Airin yang sedikit pucat. Pria itu mengusap lembut wajah sang gadis. Perlahan dia mendekatkan wajahnya ingin mencium bibir Airin, tapi gadis itu memalingkan wajah. Pangeran terdiam. Dia menelan ludah kelu. "Bagaimana luka-lukamu?" Pria itu mengalihkan pembicaraan. "Akan kupanggil tabib untuk mengobatimu." "Untuk apa?" Gerakan pangeran terjeda saat Airin bertanya. "Pada akhirnya aku akan mati, jadi untuk apa dipanggilkan tabib?" "Se Hwa ...." "Luka ini masih basah, Yang Mulia." Airin menunjuk pinggangnya. "Semalam bahkan kembali berdarah. Lalu, luka di kakiku, tanganku, dan besok mereka akan membubuhkan stempel pengkhianat di bahuku. Selain itu, di sini." Se Hwa menepuk dadanya. "Ada luka di dalam sini. Di hatiku, Yang Mulia. Aku tanya, luka mana yang bisa kau obati? Atau tabib itu akan menyembuhkan lukaku yang mana?" Pangeran terdiam. Dia mengerti jika sekarang Se Hwa sangat kecewa. Pengorbanannya, jasa-jasanya tak bisa membuatnya terhindar dari hukuman. Namun, di dalam hatinya, Se Hwa masih bersyukur karena raja membebaskan seluruh keluarga, dayang, dan b***k-b***k lain yang hidup dan tinggal di kediaman keluarga Hwang. "Aku akan mengobati semuanya." "Apakah luka ini akan sembuh dalam semalam? Jika iya, panggilkan tabib istanamu yang hebat itu! Jika tidak, biarkan aku mati dengan tenang." "Siapa bilang kau akan mati?" "Lalu, siapa menjamin aku akan hidup? Siapa pun tau perjalanan ke Hokdo sama dengan perjalanan menuju neraka. Dari tiga ratus tahanan yang dikirim ke sana, hanya kurang dari lima puluh yang bisa bertahan hidup. Semuanya mati dalam perjalanan!" "Se Hwa ...." Pangeran kembali memeluk gadis itu. "Tapi aku yakin kau akan selamat dan kita pasti menikah. Kau jendral, kau berbeda dengan para tahanan itu." "Itu menurutmu, tapi tidak denganku." Se Hwa melepaskan diri dari pelukan sang pangeran, lalu mendorongnya. "Pergilah, aku ingin istirahat. Setidaknya, aku ingin istirahat sebelum aku mati dalam perjalanan nanti." "Se Hwa ...." "Pergilah!" Perlahan pangeran bangkit, lalu keluar dari sel. Se Hwa merebahkan diri di lantai sel yang dingin dengan wajah menghadap tembok. Dia memunggungi pangeran. Setelah pangeran pergi, Se Hwa pun bangkit dan duduk bersandar di dinding sel tahanan. Air matanya menetes begitu deras. Bagaimanapun dia seorang wanita, kendati dia dulunya seorang jendral, tetap saja hatinya didominasi oleh hati perempuan. Hal serupa juga terjadi kepada pangeran. Dalam perjalanan menuju istananya, berulangkali dia menyeka air matanya yang tumpah tanpa bisa dicegah. Bagaimanapun, keputusan raja untuk membuah Se Hwa sudah sangat melukai hatinya, lalu ditambah penolakan gadis itu, dan kenyataan bahwa tahanan yang dikirim ke Hokdo memang sangat jarang bisa sampai di Hokdo dengan selamat. Dia sangat takut membayangkan kalau Se Hwa sejatinya dijauhi hukuman mati. Hanya cara menyampaikannya saja yang berbeda. Pangeran tak punya kuasa untuk mempengaruhi keputusan raja. Salah satu anggota keluarga memang harus dikorbankan dan dipersalahkan agar yang lain bisa selamat. Sayannya, yang harus dikorbankan adalah Se Hwa, orang yang sangat dicintainya. Lalu, mampukah dia mengikhlaskan semuanya dan menerima kenyataan pahit itu? Tidak, dia jelas tak akan bisa menerimanya. Karena itu, pangeran hanya bisa menangis. Dalam kamarnya, pangeran meminta dayang membawakannya minuman keras terbaik. Hari ini dia akan minum sampai tak sadarkan diri dan melupakan Se Hwa barang sejenak. Dia akan melupakan Se Hwa yang meringkuk di sel tahanan yang dingin sambil menangis. "Se Hwa ...." Pangeran bergumam diiringi derai air mata. Tubuhnya bangkit dengan sempoyongan setelah minum begitu banyak minuman keras. Dia berjalan keluar kamar karena ingin menemui Se Hwa dan menemaninya di penjara. Namun, kasim mencegahnya, lalu sesuai perintah raja, seorang prajurit yang berjaga di kediaman pangeran, memukul tengkuk leher pangeran agar dia tak sadarkan diri. Setelah pingsan, pangeran itu dibawa ke tempat tidur dan diistirahatkan di sana bersama luka dalam hatinya. Pangeran di tempat tidur yang nyaman, berbanding terbalik dengan Se Hwa di sel tahanan. Yang sama hanyalah, keduanya sama-sama terluka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN