Part 19

1490 Kata
Pertarungan sengit terjadi di antara Se Hwa dengan para prajurit kerajaan yang harus dipimpinnya. Tak ada yang mengenalo sosoknya saat mengenakan pakaian wanita. Kendati tubuhnya terluka, dia masih saja terlihat tangguh. Beberapa prajurit tumbang, lalu menyusul yang lainnya. Sang jendral yang menggantikan kepemimpinan Se Hwa tampak geram. Dia memerintahkan anak buahnya untuk menembakkan panah api agar desa itu cepat terbakar. Kepanikan kembali terjadi. Ditambah lagi beberapa orang yang sudah minum ramuan obat yang diberikan Naya menunjukkan gejala seperti yang dialami Naya, memuntahkan darah kental yang menghitam. "Bunuh mereka semua!" Perintah Jendral mengelegar. Se Hwa makin geram. Sesegera mungkin dia melumpuhkan prajurit yang mengepungnya untuk mendapatkan sang jendral dan mengancamnya sebagai sandra. Namun, tentu saja itu tak semudah perkiraannya. Perlahan, Se Hwa sadar tindakannya itu salah. Dia menoleh ke arah desa yang mulai membara dengan api yang berkobar-kobar. Se Hwa memutuskan untuk mundur. Dia mencari Naya di balai desa, juga mengumpulkan orang-orang yang masih bisa diselamatkan. "Paman, pimpinlah mereka untuk bersembunyi di dalam hutan. Naya akan menjadi pemandu kalian. Kalian akan aman di sana," ucapnya kepada kepala desa. Pria paruh baya itu pun mengangguk, lalu dengan bantuan warga yang lain, dia mengumpulkan orang-orang, dan memimpinnya masuk hutan. Sementara itu, Se Hwa berusaha mati-matian agar tak ada prajurit yang mengejar mereka. Beberapa kali tubuhnya terkena sabetan pedang, tapi itu tak melumpuhkan niatnya melindungi warga desa itu. Sebentar lagi warga desa itu akan sembuh. Melihat warga desa berbondong-bondong memasuki hutan, jendral pasukan makin kesal. Dia memutuskan untuk terjun langsung menghabisi Se Hwa karena gadis itulah satu-satunya penghalangnya menjalankan tugas. Se Hwa pun terjebak pertarungan sengit dengan jendral itu. Dia memainkan teknik pedang wushu yang pernah dipelajarinya dari bangsa Ming. Bersyukur tubuh gadis itu merespon seperti tubuh Se Hwa yang asli. Jika tidak, maka sosok Airin tak akan sanggup mengahadapi serangan lawan. Se Hwa melompat, begitupun jendral itu. Suara perang yang beradu di udara terdengar nyaring. Percikan api pun muncul di sana. Tubuh kedua petarung itu terpental. Se Hwa memegangi pinggangnya. Sang Jendral yang mengetahui titik kelemahan gadis itu pun melakukan serangan yang lebih agresif. Kali ini serangannya bahkan berfokus pada pinggang Se Hwa yang terluka. Se Hwa berusaha menghindar, tapi serangan Jendral yang bertubi-tubi berhasil menyudutkannya. Luka di pinggangnya terkena tendangan. Gadis itu tersungkur dan jatuh ke tanah. "Dasar bodoh! Kau pikir bisa melawanku, huh!" Jendral itu mengangkat pedangnya, siap menebas kepala Hwang Se Hwa. "Matilah kau!" Trang! Tiba-tiba sebuah anak panah melesat mengenai pedang sang jendral. Pedang itu pun jatuh dari genggaman, terhempas ke tanah hampir mengenai Se Hwa yang merintih di bawahnya. Jendral itu menoleh dengan geram ke arah sang pemanah. Namun, kemudian dia berlutut di hadapan orang itu. "Yang Mulia," ucapnya. Pria yang dipanggil yang mulia itu mengabaikan jendralnya dan mendekati Se Hwa. "Se Hwa ...." Dia merangkul Se Hwa dalam pelukannya. "Kau tidak apa-apa?" Se Hwa membuka mata dan menatap pria itu dengan tatapan sayu. Tenaganya terkuras habis karena pertarungan tadi. "Pangeran ...." Suaranya terdengar lirih sebelum akhirnya tumbang tak sadarkan diri. "Se Hwa, bertahanlah! Se Hwa!" Pangeran histeris. Segera dia membawa Hwang Se Hwa pergi dari sana. Kudanya melaju cepat menuju perkemahan tentara. Sampai di sana, Se Hwa segera ditangani oleh tim medis yang bergabung dalam militer. "Bagaimana keadaannya?" "Dia kehilangan banyak darah, tapi kondisinya baik-baik saja. Hanya saja, dia lebih baik dibawa ke istana untuk mendapatkan perawatan yang lebih baik," kata tabib yang menanganinya. Pangeran terdiam. Dia menatap Se Hwa yang masih tertidur di tempat tidur. "Aku mengerti. Pergilah!" Tabib itu pun meninggalkan pangeran dan Se Hwa berdua di dalam camp. Pangeran mendekati sang gadis dan duduk di sisinya. "Se Hwa ...." Diusapnya rambut gadis itu dengan sangat lembut. "Sudah kuduga kau akan melakukan ini. Maafkan aku karena terlambat mengetahui soal surat perintah itu." Pangeran menitikkan air mata. "Seandainya aku tau lebih awal bahwa yang ditugaskan memusnahkan desa itu adalah pasukanmu, maka aku tak akan membiarkanmu berjuang melindungi mereka. Lihatlah, kau terluka parah, Se Hwa. Terkadang kita tak harus peduli dengan orang lain. Yang harus kita pedulikan adalah diri kita." Sang Pangeran menjeda ucapannya. Dia menatap wanita yang dicintainya dengan rasa sedih yang berkecambuk dengan amarah. "Kau tau, aku sedang memperjuangkanmu. Aku menerima tugas untuk membunuh siluman rubah, agar aku bisa meminta pencabutan larangan untukmu. Jadi, kau dan keluargamu akan aman meski Yang Mulia Raja mengetahui kau seorang jendral. Kau tetap bisa menjadi jendral meski kau seorang wanita." Pangeran tampak frustasi. Sekarang berita bahwa jendral kebanggaan kerajaan adalah seorang wanita pasti akan menyebar. Se Hwa dan keluarganya akan berada dalam bahaya. Terlebih lagi Se Hwa melakukan pemberontakan dengan menolak perintah pemusnahan desa yang diisolasi. Pangeran kesulitan memikirkan pembelaan untuk gadis itu. Hatinya bercabang antar mengikuti Se Hwa melapor ke istana atau melanjutkan tugasnya melakukan pencarian di mana siluman rubah berada. Tadi, ketika dia mendengar perintah pemusnahan desa dipimpin oleh Jendral Hwang Se Hwa dan sang jendral justru menghilang, pangeran langsung bergegas menuju desa itu. Dia sangat yakin kalau Se Hwa pasti akan menyelamatkan desa itu dan benar saja, Se Hwa ada di sana menjadi garda terdepan untuk melindungi warga yang masuk ke tengah hutan. Sekarang pria itu hanya bisa menatap wanita pujaannya dengan perasaan bingung. Wajah pucat sang gadis membuat hatinya teriris-iris. Pangeran menyentuh pipi gadis itu. "Katakan bagaimana caraku melindungimu?" Pria itu bergumam. Dia begitu menyayangi Se Hwa. *** Luka di tubuh Se Hwa masih belum sembuh ketika dia dan keluarganya dihadapkan di persidangan. Seluruh orang yang ada di kediaman keluarga Hwang di tangkap dan diikat di alun-alun. Kaisar menyatakan mereka bersalah karena sudah bertahun-tahun menipu kerajaan. Min Ju menatap sahabatnya dengan sedih. Se Hwa dan keluarganya diikat di kursi. Berbagai pertanyaan memojokkan terlontar dari petugas kehakiman. Sementara itu, di depan istana raja, putra mahkota bersimpuh memohon ampunan kepada raja. Setidaknya dia bisa memohon agar Se Hwa dan keluarganya tidak dihukum mati. "Yang Mulia, Putra Mahkota sudah dua hari bersimpuh di sana, cepatlah ambil sebuah keputusan untuk masalah ini." Selir kesayangan raja, Han Hangbyouk mencoba menasehati sang raja yang begitu geram menerima kenyataan bahwa jendral yang dia percaya justru seorang wanita. "Putra mahkota tak menuntut banyak, Yang Mulia. Dia hanya ingin Yang Mulia mengasingkan keluarga Hwang. Bukankah itu sudah merupakan hukuman yang berat bagi mereka." Kali ini Yang Mulia Ratu yang urun pendapat. "Anda harus bersikap tegas terhadap pembangkang, Yang Mulia." Pentolan klan keluarga Kim yang menjadi penasehat raja saat itu jelas menentang semua permitaan ratu dan selir. Sudah lama dia ingin keluarga Hwang tumbang karena keberadaan keluarga itu membuat klan Kim tidak bisa menguasai militer. Merek hanya bisa berkuasa atas administrasi negara. Sementara kemiliteran yang membuat Joseon begitu kuat ada di bawah kendali klan Hwang. Itu sangat tidak baik bagi klan Kim jika ingin menguasai berbagai aspek pemerintahan di negeri itu. "Tapi, biar bagaimanapun, keluarga Hwang, terutama Jendral Hwang Se Hwa sudah banyak berjasa kepada negara kita." Yang Mulia Ratu berusaha memertahankan pendapatnya. Ada perasaan putra mahkota yang ingin dia lindungi. Dia tak ingin putranya itu kecewa dan membenci ayahnya. Bagaimanapun dia seorang ibu, dia sangat mengerti jika putra mahkota memendam rasa kepada Hwang Se Hwa. Dia wanita yang tangguh dan berbeda dengan kebanyakan wanita. Yang Mulia Raja hanya diam. Dia tak menanggapi salah satu dari mereka. Pikirannya membenarkan kata ratu dan selirnya. Namun, ucapan sekertaris kerajaan juga terdengar masuk akal. "Yang Mulia ...." Yang Mulia Raja mengangkat tangannya memberi isyarat agar selirnya tak bicara lagi. "Kalian semua keluarlah. Aku ingin istirahat," kata Raja. Dengan sangat terpaksa tiga orang tadi meninggalkan istana Raja. Ratu terdiam di depan pintu istana. Matanya berkaca-kaca memandangi putranya yang duduk bersimpuh di tengah terik matahari. Kepala putra mahkota menunduk lemah. Yang Mulia Ratu mendekati putranya. Dia berjongkok di hadapan buah hatinya, "Mari sudahi ini semua, Putra Mahkota. Kau tak akan bisa mengubah keputusan Raja. Apa pun yang beliau pikirkan, itulah yang akan beliau perintahkan." "Tapi, Yang Mulia Ratu ...." "Percayalah, Raja tidak mungkin menghukum mati keluarga Hwang. Raja membutuhkan mereka karena tanpa mereka, pertahanan militer Joseon tidak ada apa-apanya. Jika pertahanan militer Joseon melemah, secara otomatis Mongol dan Jepang akan lebih mudah menaklukkan Joseon. Kau mengerti?" Putra Mahkota mengangguk. Apa yang dikatakan ibunya benar. Jelas sekali kekuatan Joseon memang ada di bawah kekuasaan klan Hwang. Raja tanpa pasukannya yang kuat dan tangguh bukanlah apa-apa. Akan tetapi, dia masih ingin melanjutkan aksinya sebentar lagi. Setidaknya, sampai sang ayah bersimpati kepadanya. Yang Mulia Ratu pun meninggalkan putranya. Mendengar penjelasan putranya, hati Ratu tak lagi sedih. Dia yakin Putra Mahkota lebih dari mampu bagaimana cara memanipulasi situasi. Dengan cara seperti ini, jika keluarga Hwang akhirnya dibebaskan, maka dapat dipastikan kalau kesetiaan keluarga itu nantinya akan berpihak penuh kepada Putra Mahkota. Mereka akan merasa berhutang budi kepada Putra Mahkota. Ratu sangat bangga dengan pemikiran cerdas putranya. Pemikiran yang jauh menuju masa depan. Tak berapa lama, setelah kepergian ratu, selir, dan sekertaris kerajaan, Yang Mulia Raja berdiri dan melangkah keluar dari kediamannya. Dia menatap putra mahkota dengan tatapan yang sulit dimengerti. Dia membalik badan, lalu meninggalkan tempat itu. Namun, di sisi lain, dia memerintahkan kepada kasim untuk menyuruh Putra Mahkota berhenti, dia akan memikirkan permintaannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN