Part 21

1594 Kata
Dini hari pintu penjara digedor-gedor oleh petugas. Se Hwa terbangun dari tidurnya. Sedikit terhunyung, dia mengikuti petugas menuju sebuah ruangan. Tungku api besar menyala di sana. Se Hwa dipaksa duduk di kursi kayu. Gadis itu hanya pasrah, dia sangat tahu apa yang akan terjadj selanjutnya. Seorang petugas tampak mengaduk-aduk tungku panas itu berisikan arang yang terbakar itu. Sebuah tongkat besi yang ujungnya berisikan stempel dengan tulisan pengkhianat negara sudah berada di sana entah untuk berapa lama. Ujung besi itu kelihatan membara, memerah seperti kayu yang terbakar. Se Hwa tak berani membayangkan bagaimana sakitnya jika benda itu menempel pada kulitnya. Namun, begitulah hukum kerajaan. Stempel itu dibubuhkan ke tubuh mereka yang dianggap bersalah dan layak menerima hukuman. "Buka bajunya!" Sipir penjara memerintah dengan mata melotot tajam. Rasanya Se Hwa ingin menonjok pria itu. Seperti kacang lupa sama kulitnya sebab dahulu Se Hwa sendiri yang mengajari pria itu saat ada di camp militer, sebelum dia ditugaskan ke bagian kehakiman. Airin yang ada di tubuh Se Hwa hampir bisa mengingat semua masa lalu dan semua kenangan yang terpatri di dalam hati dan pikiran Se Hwa. Karena itu, terkadang dia lupa bahwa dia adalah Han Airin, seorang gadis dari masa depan. Karena Se Hwa tak berniat membuka bajunua, sipir penjara pun memaksanya. Baju gadis itu diturunkan pada setengah bagian sehingga bahunya terlihat, lalu stempel besi panas itu ditempelkan di sana. "Aaaarrgghhh!" Se Hwa berteriak kesakitan. Tubuhnya terasa melepuh dan begitu sakit. Bahkan, rasanya ketika tertusuk pedang pun tak seperti itu. Dia meneteskan air mata. Kulit dan daging yang terbakar bisa tercium olehnya. Dia hampir tak bisa membayangkan bagaimana kondisi bahunya saat ini. "Bawa dia pergi!" kata sang petugas, lalu petugas yang lainnya membawanya keluar gedung. Sebuah gerobak kayu sudah siap membawa Se Hwa menuju Hokdo. Gadis itu menoleh ke arah timur di mana rumah kediaman keluarga Hwang berada. Matanya kembali menitikkan bulir-bulir bening. Kesedihan menumpuk di dadanya. Kemudian, dia menatap ke utara. Istana Joseon ada di sana. Se Hwa bisa membayangkan bagaimana wajah pangeran yang bersedih seperti ketika dia datang ke sel tahanan. Ingatan tentang ciuman mereka waktu itu menyapa pikiran Se Hwa. Ada sesak yang makin menusuk-nusuk hatinya. Dia kembali menangis. Seorang petugas mendorongnya masuk ke gerobak kayu. Dia menghapus air matanya, lalu masuk ke sana. Gerobak itu pun bergerak pelan meninggalkan penjara. Se Hwa duduk bersandar pada jeruji. Perlahan rombongan yang akan membawa Se Hwa ke Hokdo memasuki perkampungan. Banyak warga menghentikan kegiatannya hanya untuk melihat tahanan kerajaan yang akan diasingkan atau hanya untuk melihat bagaimana rupa jendral mereka yang gagah perkasa yang ternyata seorang wanita. "Dasar p*****r!" Seorang warga tiba-tiba berteriak, lalu melepari Se Hwa dengan kotoran babi. Se Hwa dan hampir semua orang di sana terkesiap. Dia menatap pria itu yang dengan geram menghujat dan melemparinya terus menerus. "Kau wanita sialan! Bagaimana kau bisa berpikir ingin berkuasa seperti pria! Dasar p*****r!" Begitulah umpatan-umpatan yang terlontar dari mulut pria itu. Warga yang awalnya hanya diam saja pun terpengaruh dan mulai mengambil kerikil, batu, kotoran kemudian beramai-ramai melempari Se Hwa. Gadis itu menyembunyikan wajahnya di antara kedua lututnya. Tangannya dia gunakan untuk melindungi diri. Sebuah batu sebesar bola pimpong menyasar kepalanya. Benda itu tepat mengenai pelipis Hwang Se Hwa. Kepala gadis itu berdarah. Sekilas Se Hwa bisa melihat siapa pelempar itu. Seorang pria berpakaian lusuh dengan codet di wajahnya. Pria itu tersenyum sinis. Sepertinya dia-lah yang menghasut warga agar menyerang Se Hwa beramai-ramai. Tapi, siapa pria itu? Yang pasti Se Hwa sangat yakin kalau dia bukanlah warga desa di sana. Tiba-tiba Se Hwa teringat dengan penyakit di desa itu, lalu tugas yang diberikan kepadanya untuk memusnahkan desa. Apakah itu sebuah konspirasi? Bagaimana kalau penyakit itu buatan manusia? Lalu, apa yang diinginkan manusia itu? Menghancurkan kekuatan keluarga Hwang? Atau ada hal lain yang lebih menguntungkan dari itu? Se Hwa mulai memikirkan kejanggalan-kejanggalan yang terjadi. Jika mereka memang diracun, apa media yang digunakan untuk meracuni warga, lalu siapa yang menjadi pelaksana untuk menyebarkan racun itu? Pemilik losmen. Dalam benak Se Hwa terlintas tentang pemilik losmen. Bagaimana mungkin dia bisa luput dari penyakit itu di tengah warga yang semuanya sakit? Apa dia memiliki penawar racunnya? Apa dia yang jadi pelakunya? Tapi putrinya sendiri terjangkiti. Apa itu bagian dari skenario agar dia tak dicurigai? Se Hwa terus memikirkan berbagai kemungkinan, juga mengingat-ingat apa yang dia dan Naya makan selama ada di desa itu. Kenapa Naya bisa terjangkit dan dia tidak? Namun, kendati Se Hwa terus-menerus memikirkannya, dia tak menemukan jawaban sama sekali. Rasanya dia ingin ke tempat itu dan menyelidikinya sendiri, tapi bahkan dirinya sendiri tengah ada di dalam kurungan, lalu bagaimana dia bisa pergi ke sana? Matahari semakin meninggi. Panas membakar tubuh Se Hwa yang terjebak dalam jeruji. Tenggorokannya kering, perut pun terasa begitu lapar. Dia menoleh ke petugas yang duduk mengendalikan menarik gerobak itu, lalu berganti menatap mereka yang mendorongnya. Sementara beberapa prajurit bersenjata juga mengawal perjalanannya. "Hei, aku haus. Berikan aku sedikit minuman," kata Se Hwa. Prajurit berkuda di sisi kanan kereta tahanan bergeming. Dia tak peduli. Se Hwa pun hanya bisa menghela napas. Tak berapa lama, mereka kembali memasuki sebuah perkampungan. Pemimpin rombongan menyuruh semua anak buahnya beristirahat dan makan di kedai makanan. Sementara itu, Se Hwa dibiarkan di dalam kurungan di bawah terik matahari. Gadis itu menatap orang-orang yang menyantap makanan dengan lahap. Sesekali, dia menoleh ke arah matahari, lalu menutupi pandangannya dengan tangan, seakan-akan itu bisa menglindunginya dari rasa panas yang membakar. "Ya! Setidaknya berikan aku air jika kalian tak ingin memberiku makan!" Gadis itu berteriak kencang. Seorang petugas menoleh kepadanya, lalu mengambil mangkok di atas meja yang berisikan air cucian tangan. "Minum ini!" Dengan kasar pria itu menyiramkan air di dalam mangkok ke wajah Se Hwa. Gadis itu menggeram. Mereka sungguh kurang ajar. Seandainya dia bisa keluar dari sana rasanya dia ingin membunuh para prajurit kurang ajar itu. "Hei, jangan perlakukan dia seperti itu." Salah satu dari mereka menasehati temannya. Pria berkumis itu bangkit dari duduknya, lalu mebawakan Se Hwa sebungkus kue beras dan air. "Makanlah," ucapnya. Se Hwa sangat berterima kasih. Dia segera memakan kue itu untuk mengobati rasa laparnya. Kemudian, dia meminum air hingga tandas. Se Hwa merasa jauh lebih baik. Akan tetapi, tak berapa lama setelahnya, timbul ruam-ruam pada kulitnya. Rasa gatal menyerangnya. "Ada apa ini?" Dia bergumam sambil menggaruk tangan dan kakinya, lalu menggaruk-garuk tubuhnya. Para prajurit yang melihat itu pun menertawakannya. Mereka kini bersiap untuk melanjutkan perjalanan. "Ya! Apa yang kau lakukan padaku?" Se Hwa terus menggaruk tubuhnya. Dia menyadari bahwa ini adalah gejala yang sama yang ditimbulkan oleh virus itu. Jadi, dugaannya benar bahwa penyakit itu bukanlah virus, melainkan racun yang sengaja diberikan kepada rakyat untuk tujuan tertentu. Mereka mungkin ingin menggulingkan pemerintahan dengan cara yang keji, tapi siapa mereka? Se Hwa tak bisa berpikir dengan benar ketika seluruh tubuhnya dipenuhi rasa gatal. Warga desa yang melihat dia menggaruk-garuk tubuhnya langsung menjauh dan lagi-lagi dia dilempari kotoran karena dianggap membawa virus penyakit. Rombongan memasuki hutan ketika hari sudah senja. Pimpinan prajurit memerintahkan anak buahnya untuk membawa tahanan masuk ke tengah hutan. Se Hwa kebingungan karena itu bukan jalan menuju Hokdo. "Kalian mau membawaku ke mana?" "Diamlah! Kami membawamu ke tempat yang seharusnya," kata kepala prajurit. "Cepat, kita harus keluar dari hutan sebelum gelap!" perintahnya kepada semua anak buahnya. "Apa yang akan kalian lakukan?!" "Tenang saja, kau hanya akan mati di hutan sana dan menjadi santapan binatang buas. Lagipula, beberapa hari lagi luga kau akan mati karena pengakitmu itu." "Kurang ajar! Siapa yang menyuruh kalian melakukan ini padaku!" Se Hwa meronta marah sambil memukul-mukul jeruji yang membelenggunya. Semua orang menertawakannya. "Sudah cukup! Kita sudah sampai!" Kepala prajurit menghentikan laju kereta tahanan itu, kemudian dia memerintahkan pasukannya untuk kembali. "Tunggu! Jangan pergi! Tunggu!" Suara Se Hwa ditelan angin. Mereka tak menggubrisnya sama sekali. Gadis itu menoleh sekitar. Hutan itu memang terkenal dengan keganasannya. Banyak orang yang menjadi korban keganasan binatang buas. Baru sekarang Se Hwa mengerti kenapa tahanan yang dikirim ke Hokdo banyak yang tak selamat karena mereka sengaja ditinggalkan di hutan ini. Jika beruntung, mereka masih bisa melewati malam hari, maka mereka akan diantar ke Hokdo sesuai perintah. Jika tidak, mereka akan ditinggalkan begitu saja. Hutan itu terkenal jauh lebih menyeramkan jika malam. Bahkan, ada desas-desus hutan itu dijaga oleh siluman harimau. Se Hwa hanya bisa pasrah. Airin yang ada dalam tubuhnya hanya bisa menangis. "Aku tidak mau mati di negara aneh ini. Aku ingin kembali ke tempatku. Apa jika aku mati, tubuhku yang dulu akan kembali? Atau aku akan mati bersama tubuh ini?" Malam pun menyapa, binatang malam mulai terdengar saling bersahutan. Se Hwa hanya bisa meringkuk di balik jeruji sambil sesekali menggaruk tangannya. Dia tak berani menatak sekeliling karena takut melihat binatang buas mendekat ke arahnya. Sementara itu, di kejauhan lolongan srigala terdengar nyaring. Desis ular seakan-akan mendekati kereta tahanan. Se Hwa pun terpaksa membuka mata. Tepat pada saat itulah sekelebat bayangan menerjang terali membuat kereta itu bergetar. Seekor srigaka lapar menatap tajam ke arahnya. Se Hwa berusaha mencari senjata, tapi dia tak menemukan apa pun. Harimau itu kembali menyerang dan ingin menghancurkan tempat itu. Salah satu jeruji yang terbuat dari pohon mahoni retak. Se Hwa mengambil batang kayu itu dan bersiap melakukan pertahanan. Ketika serangan kembali datang, Se Hwa memukul kepala harimau itu. Binatang buas itu sempat tersungkur, tapi kembali berdiri dan melakukan serangan. Se Hwa berusaha melindungi dirinya dengan sekuat tenaga. Jeruji yang tadinya melindungi sudah roboh sepenuhnya. Gadis itu mencoba melarikan diri dari sana. Napasnya terengah-engah. Dia mencoba bersembunyi di balik pohon besar, tapi harimau itu menemukannya. Sekali lagi dia melakukan perlawanan sebelum cakar harimau itu berhasil menggores dadanya. Se Hwa tersungkur jatuh ke tanah dan bersimbah darah. Harimau itu melompat untuk menerkamnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN