Se Hwa terjaga menjelang malam. Perutnya terasa sangat lapar. Dia pun keluar gubuk itu untuk mencari makanan. Namun, alangkah terkejutnya dirinya ketika mendapati buah-buahan beralaskan daun pisang ada di depan pintunya. Se Hwa memungut buah itu. Dia melihat-lihat sekeliling mencoba mencari tahu siapa sekiranya orang yang telah mengiriminya buah, tapi dia tak menemukan siapa pun.
Dikalahkan oleh rasa lapar, Se Hwa memakan buah itu meski hatinya sedikit ragu. Sudah dua buah peach dia makan. Se Hwa pun merasa kenyang. Dia melanjutkan perjalanannya menuju halaman rumah. Di tangannya, Se Hwa mengapit seruling kesayangan Jeong Guk. Beberapa waktu lalu, Jeong Guk pernah mengajarinya memainkan benda itu.
Se Hwa mulai memainkan seruling itu guna mengusir rasa sepinya. Alunan nada-nadanya yang merdu membuatnya menitikkan air mata. Dalam hati dendam dan rindu bertarung saling mematahkan dan menghancurkan. Nyatanya dendamnya yang telah terbalaskan tak memberinya kedamaian, tapi malah menimbulkan sesal yang berkepanjangan.
Sepoi-sepoi angin malam memainkan rambutnya. Se Hwa terus memainkan serulingnya mengundang kunang-kunang datang mendekat. Sesaat dia menghentikan permainannya, lalu menengadahkan tangan ketika kunang-kunang itu hinggap di tangannya. "Maafkan aku, aku telah membunuh tuanmu," katanya. "Mungkin tidak membunuh, tapi aku membuat tuanmu disegel oleh pendeta Tao dan aku tak tau harus mencari pendeta itu di mana."
Kunang-kunang terbang meninggalkannya. Se Hwa kembali mamainkan seruling. Sesosok wanita keluar dari air danau. Dia melangkah pelan mendekati Se Hwa yang bermain musik di atas batu dengan mata terpejam.
"Kau sangat pintar memainkan seruling itu. Di mana kau mempelajarinya?"
Se Hwa terkejut mendengar suara wanita itu. Dia membuka mata, lalu berdiri. "Kau siapa?"
"Aku?" Wanita itu duduk di atas batu tempat Se Hwa duduk tadi. "Aku adalah kekasih Jeong Guk sebelum kau merampasnya."
"Be-benarkah?" Se Hwa terbata. "Tapi, Jeong Guk tak pernah bercerita tentangmu."
Wanita itu tertawa. "Aku bercanda. Apa Jeong Guk pernah bercerita tentang seekor ikan kecil yang pernah dia bawa dan dia lepaskan di danau air mata?"
Se Hwa menggeleng.
"Ah, pria itu benar-benar telah melupakanku." Wanita itu menjeda kalimatnya. "Senang rasanya bertemu denganmu. Wanita yang selalu dipuja-puja oleh tuanku."
"Tuanku?"
Wanita itu mengangguk. "Tuanku membawaku ketika aku baru berumur dua tahun. Dia tak tau kalau aku juga seekor ikan siluman. Tuanku menangkap aku di sungai Tuman, lalu melepaskanku di danau air mata." Wanita itu mengulurkan tangan, lalu berkomat-kamit. Kunang-kunang kembali datang menemani mereka. "Tuanku sangat suka kunang-kunang. Aku sering mendengarnya menggumamkan sesuatu untuk memanggil mereka. Oh, iya, namaku Seo Yeon. Aku sudah lupa nama pemberian ayah dan ibu, tapi Tuan memberi nama itu setiap kali mengajakku mengobrol di danau."
"Tapi, kenapa aku tak pernah melihatmu?"
"Itu karena aku tak pernah memunculkan diri. Guru akan mengusirku dari gunung rubah jika tau aku ada di danau itu."
Se Hwa manggut-manggut mencoba memahami perkataan siluman ikan itu. "Lalu, kenapa kau keluar sekarang?"
"Aku tak punya pilihan. Tuan sudah disegel dan tak akan ada yang bisa menjagamu dan bayimu."
"Kau tau aku hamil?"
"Tentu saja. Akulah yang menyelamatkanmu saat kau mencoba bunuh diri. Kenapa kau lakukan itu?"
Se Hwa menunduk. Dia pun duduk kembali di batu yang sama dengan wanita itu. "Aku tidak tau harus melakukan apa. Aku hanya merasa sendirian."
"Kau wanita yang sangat lemah. Jeong Guk pasti kecewa jika melihatmu seperti ini."
"Tapi ... Jeong Guk sudah kecewa kepadaku. Aku yakin dia sangat membenciku."
"Apa karena kau memusnahkan desa dan menyegelnya?"
Se Hwa menunduk. "Dia yang lebih dulu menghancurkan hidupku. Ayah dan semua pelayan di keluargaku dibunuh olehnya. Mereka tak tau apa-apa. Apa salah mereka hingga semuanya harus mati?"
Seo Yeon diam. Tak ada yang tahu apa yang sedang dipikirkan dan direncanakannya.
"Sudahlah. Sebaiknya kau lupakan semuanya dan fokuslah untuk merawat janin itu. Bayimu kelak akan membangun lagi kejayaan gunung rubah."
"Itulah yang kuharapkan. Dengan begitu. Aku mungkin bisa mengurangi rasa bersalahku kepada Jeong Guk. Tapi ...."
"Tapi apa?"
"Tapi, aku harus kembali ke istana. Nenek peramal itu bilang bahwa ada hal-hal yang harus aku ungkap kebenarannya sebelum aku kembali ke jamanku."
"Ke jamanmu?"
"Ah, maksudku ...." Se Hwa mendadak panik saat menyadari kesalahannya bicara. "Aku sebaiknya istirahat. Ini sudah malam. Besok aku harus kembali ke istana."
Tanpa peduli kebingungan di wajah Seo Yeon, Se Hwa turub dari batu besar itu, lalu melangkah menuju pondok. Dia tak ingin orang lain mengorek-orek keterangan tentang dirinya yang berasal dari masa depan.
Se Hwa sampai di pondok. Dia duduk di tepi ranjang menatap ke arah pintu. Rasanya Jeong Guk sama sekali tak pernah cerita soal Seo Yeon, lalu bisakah dia percaya pada cerita ikan itu? Se Hwa semakin bingung.
Dia pun merebahkan dirinya mencoba untuk berdamai dengan dirinya dan semua hal yang tengah dia hadapi saat ini. Dia ingin beristirahat dan menjemput mimpi yang indah.
Tak berapa lama, kesadaran Se Hwa sirna dalam tidurnya. Napasnya terdengar halus dan teratur.
Seorang pria berdiri di ambang pintu. Perlahan dia melangkahkan kaki, mendekati Se Hwa yang terlelap. Dia duduk di tepi ranjang, lalu mengelus rambut wanita itu dengan lembut. Se Hwa merasa terusik. Dia mengerjap pelan, lalu membuka mata.
Titik air mata seketika jatuh tatkala netranya menatap sosok pria yang kini tersemyum kepadanya.
"Jeong Guk." Se Hwa terisak. "Aku hamil."
Pria itu mengangguk tanpa sepatah kata. Tangannya bergerak ke arah perut dan menyentuhnya di sana. Cukup lama dia menyentuh perut itu, lalu tangan itu berpindah ke wajah dan mengusap lembut pipi wanitanya. Se Hwa merasa nyaman. Dia memejamkan matanya. Tanpa dia sadari tangan Jeong Guk bergerak ke lehernya.
Sampai kemudian dia merasakan tekanan di lehernya barulah wanita itu menyadari kalau Jeong Guk datang untuk membunuhnya. Senyum yang semula terpatri di wajah pria itu kini berubah jadi penuh kebencian. Tangan yang semula halus kini berubah kasar dengan kuku-kukunya yang panjang.
Jeong Guk terus mencekik wanita itu meski dia terus meronta. "Kau telah mengkhianatiku, Se Hwa. Kau membawa pergi mutiaraku. Kau harus mati!"
Se Hwa terus meronta mencoba melepaskan diri. Namun, semuanya tak semudah itu. Perlahan dia kehilangan tanaganya. Pasokan oksigen dalam tubuhnya berkurang. Dia tersedak dan tak bisa bernapas. Se Hwa sangat kesakitan.
"Je ... Ong ...." Dia memukul-mukul tangan Jeong Guk, tapi tangan itu mencekiknya makin kuat.
"Jangan bunuh aku ... aku mengandung bayimu, Jeong Guk ...," ucap Se Hwa dalam hatinya ketika kesadarannya mulai menghilang.