Part 40

1213 Kata
"Se Hwa ... Se Hwa ...." Seo Yeon menepuk-nepuk pipi Se Hwa yang berteriak dalam tidurnya. "Ada apa? Hei, bangunlah!" Se Hwa terjaga dari tidurnya. Napasnya tersengal-sengal. Sungguh tadi dia merasa kalau Jeong Guk mencekiknya dan ingin membunuhnya. Wanita itu menatap Seo Yeon dengan tatapan bingung. "Jeong Guk. Tadi Jeong Guk, dia ...." "Tidak ada Jeong Guk di sini. Sepertinya kau sedang mimpi buruk. Apa yang membuatmu begitu tertekan? Bukankah harusnya kau bahagia karena telah berhasil menangkapnya." "Seo Yeon ... aku ...." "Sudahlah. Sebaiknya kau tidur lagi. Besok pulanglah ke istana. Aku akan menemanimu." "Kurasa itu tak perlu. Aku bisa pulang sendiri." "Sudah kukatakan, bukan. Kalau sekarang anak dalam rahimmu itu adalah tanggung jawabku, jadi aku akan selalu ikut ke manapun kau pergi." Se Hwa terdiam. Dia mulai merasa kalau Seo Yeon sejatinya hanya ingin mengawasinya. Dendam pasti bercokol di hati siluman ikan itu. Biar bagaimanapun dia dan Jeong Guk sama-sama siluman. Ada ikatan yang tak bisa dijelaskan di antara mereka. Mungkin juga Seo Yeon diam-diam memendam rasa suka kepada Jeong Guk, pikir Se Hwa. "Terserah kau saja," jawab Se Hwa pada akhirnya. Dia memperbaiki posisi tidurnya, lalu kembali memejamkan mata. Seo Yeon menatapnya dengan seringai tipis tersemat di bibirnya. "Mulai saat ini akan kupastikan kau tak bisa hidup tenang." Setelah itu dia pergi meningglakan Se Hwa yang tak mampu memejamkan matanya. Menjelang pagi, barulah Se Hwa terlelap. Hanya beberapa menit dia sempat tertidur, ketika matahari menerpa matanya. Dia mengerjap pelan. Perasaannya mengatakan dulu tempat itu tak tertimpa sinar matahari dengan sekuat itu. Makanya dulu dia dan Jeong Guk bisa terlelap sampai siang. "Kau mau bermalas-malasan?" Seo Yeon memunculkan dirinya. "Sebaiknya kau cepat bangun dan mandi. Kita harus segera berangkat." Se Hwa bangun dengan malas. Rasa frustasi pada keadaannya sekarang sungguh membuatnya malas memperdebatkan apa pun. Setelah mandi dan memakan buah pemberian Seo Yeon, mereka berdua pun berjalan menuruni bukit. "Apa kau tak apa-apa jika lama tak terkena air?" tanya Se Hwa. Dia berpikir mungkin saja Seo Yeon sama seperi putri duyung di film-film yang tak bisa berlama-lama tinggal di darat meski mereka bisa berubah jadi manusia. "Kita akan berjalan menyusuri sungai, jadi aku bisa selalu berdekatan dengan air." "Oh," sahut Se Hwa. Mereka berdua pun terus berjalan menyusuri aliran sungai. Se Hwa tahu itu cukup jauh dan dia punya solusi. Mereka bisa naik kuda, lalu jika perempuan itu butuh air, mereka bisa mendekati sungai terdekat. Namun, sekali lagi Se Hwa malas untuk mendebat. Jadi, dia hanya berjalan mengikuti wanita itu. "Seo Yeon," panggilnya saat mereka sudah cukup jauh berjalan. "Taukah kau kalau wanita yang sedang hamil muda tidak boleh berjalan terlalu jauh? Aku bisa kehilangan bayiku." "Itu tak akan terjadi selama mutiara rubah ada di tubuhmu," jawab wanita itu dan terus saja mengayun langkahnya padahal Se Hwa merasa kelelahan. "Tapi, aku ingin istirahat. Aku merasa lelah dan lapar. Apa kau tak bisa berteleportasi seperti Jeong Guk?" "Tentu saja aku bisa melakukannya." Wanita itu menoleh ke arah Se Hwa. "Tapi, aku tak akan melakukannya karena aku memang sengaja ingin mengajakmu kembali ke istana dengan berjalan kaki." Se Hwa tersenyum. "Aku sudah menduganya. Kau hanya berpura-pura ingin menjagaku, tapi sejatinya yang ingin kau lakukan adalah hal sebaliknya. Tapi, terserah. Lakukan apa pun yang kau inginkan karena aku juga sudah lama ingin mati." Se Hwa mendudukkan dirinya di gundukan tanah deka. Lelah menderanya. Dia juga merasa sangat lapar dan haus. Seo Yeon menatapnya. Entah kenapa ada sedikit rasa iba di hatinya. Dia pun mengeluarkan sesuatu dari tas anyaman bambu yang bertengger di punggungnya. "Makan ini." Dia menyerahkan sebiji buah peach dengan kasar. "Rasanya percuma saja jika kau berpikir aku akan sakit hati dengan rencana balas dendammu. Aku sudah menduganya, Seo Yeon." Se Hwa memakan peachnya. "Aku justru berharap ada seseorang yang membunuhku. Aku sudah bosan hidup dalam kebingungan. Aku tak tau mana yang benar antara aku dan Jeong Guk. Yang aku tahu hanyalah Jeong Guk telah membunuh ayah dan keluargaku yang lain. Seluruh dayang dan penjaga yang tinggal di rumahku. Semuanya mati di tangan Jeong Guk." Seo Yeon mendengarkan. Sejatinya dia juga tak tahu apa-apa dan kalaupun dia tau Jeong Guk bersalah dia tetap akan membalas dendam untuk Jeong Guk. Wanita yang bersamanya saat ini tetap harus menderita. Bahkan, sampai memohon-mohon untuk kehidupannya. "Ayo, kita lanjutkan lagi perjalanannya." Se Hwa bangkit dari tempat duduknya, lalu tersenyum dan berjalan mendahului. "Sepertinya kita harus bermalam di hutan jika ingin terus berjalan. Atau kalau kau mau kita bisa mampir ke desa dan menyewa sebuah penginapan di sana." Seo Yeon berpikir sejenak. Dia belum pernah turun gunung sampai sejauh itu. Jika hanya di sekitaran gunung rubah dia sudah sering melakukannya, tapi jika sampai ke istana itu terlalu jauh. Butuh waktu seminggu buat mereka untuk sampai di istana jika ditempuh dengan berjalan kaki. Lain halnya jika mereka menggunakan kuda. Se Hwa terus berjalan meninggalkan Seo Yeon yang masih terdiam di tempatnya. "Se Hwa, tunggu." Akhirnya siluman ikan itu memanggil namanya. "Seperti katamu kita akan ke desa dan menginap di sana." "Kau serius?" Se Hwa mencoba meyakinkan dirinya. "Tentu saja." Hutan terlalu berbahaya untuk wanita hamil muda sepertimu." Se Hwa tersenyum, lalu berlari ke arah Seo Yeon. Tanpa permisi wanita itu memeluk Seo Yeon yang tergugu oleh perlakuan Se Hwa. "Terima kasih, kau sangat baik. Mulai hari ini kau adalah saudaraku. Bukankah Jeong Guk adalah ayah dari bayi yang aku kandung, dan karena kau teman baiknya, maka kau layak menjadi aunty-nya." "A-a-anty?" "Bukan anty, tapi aunty. Itu namanya bibi dalam bahasa Inggris." "Ba-bahas gris?" Se Hwa tertawa mendengar perkataan Seo Yeon. "Bukan bahasa gris, tapi Inggris. Tenang saja, nanti aku akan mengajarimu lebih banyak lagi. Okay ...." Se Hwa menarik tangan Seo Yeon yang begitu kebingungan melihat tingkah perempuan itu. "Ok ... ok ... ay." Se Hwa tertawa, tapi Seo Yeon mendengkus. Dia merasa dipermainkan dan diolok-olok. Awas saja jika itu benar, dia pasti akan menyiksa Se Hwa lebih dari apa yang pernah wanita itu bayangkan sebelumnya. Mereka terus berjalan bergandengan tangan. Meski Seo Yeon merasa itu aneh, tapi entah kenapa dia enggan untuk mengempaskan gandengan tangan Se Hwa. Dia malah mengikuti kemauan wanita itu masuk dari satu penginapan ke penginapan yang lainnya hanya untuk mendapatkan penginapan yang dia cari. Setelah menjelajah hampir sepuluh penginapan, Se Hwa pun memutuskan untuk menyewa tempa terakhir. Sebuah paviliun pribadi dengan kolam permandian pribadi. Se Hwa mengeluarkan uang yang cukup banyak untuk menyewa tempat itu. "Nah, sekarang kita bisa beristirahat di sini. Tapi, sebelum itu, aku akan memesan makanan untuk makan malam kita." Seo Yeon memperhatikan ruangan di mana Se Hwa akan tertidur. "Oh, ya, kamarmu ada di sebelahku agar kau tetap bisa mengawasiku." Se Hwa berkata dengan riang. "Lihatlah ini." Wanita itu pun menggeser pintu, lalu sebuah kolam permandian yang dikelilingi taman yang indah terpampang di hadapannya. Seo Yeon terkejut. "Jadi, penginapan yang seperti inikah yang kau cari sejak tadi?" Se Hwa mengangguk. "Aku tak mau kau pergi ke sungai malam-malam. Lagipula kita tak tau seberapa ramah masyarakat di desa ini terhadap seorang siluman, jadi kau berhati-hatilah." Se Hwa menjelaskan sambil tersenyum. Tatapan matanya begitu tulus, tak ada kemarahan atau kecurigaan di mata itu. Dia begitu jujur. Hal itu membuat Seo Yeon terdiam ragu dengan rencana balas dendamnya. "Mungkinkah ketulusan wanita ini yang membuat Jeong Guk jatuh cinta?" batin Seo Yeon. Sisi silumannya pun mengerti bahwa wanita yang bersamanya saat ini, wanita yang baik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN