Sesaat lalu, Se Hwa sempat penasaran siapa nenek itu, tapi selanjutnya dia tak peduli lagi. Dia berjalan menyusuri desa mencari seorang tabib untuk memeriksa kondisinya.
Keadaannya menjadi sangat sensitif, terutama terhadap bau-bau yang dia cium. Sesekali dia menepi di tempat sunyi, lalu memuntahkan isi perutnya. Selera makannya turun drastis.
Setelah jauh berjalan, dia menemukan rumah seorang tabib. Se Hwa pun masuk untuk diperiksa. Tabib itu memegang tangannya untuk mencari dan menemukan denyut nadinya. Wajahnya berharap-harap cemas. Dia tak ingin hamil tanpa suami. Ditambah lagi yang menghamilinya adalah seekor siluman rubah.
"Kondisi Anda baik-baik saja, Nyonya. Ini hal yang wajar dialami oleh calon ibu. Selamat, ya. Anda hamil anak kembar." Ucapan tabib itu membuat Se Hwa makin syok.
"Kembar ...," gumamnya.
Tabib itu tersenyum ramah. "Saya berani menjamin kalau Anda akan melahirkan anak-anak kembar yang sehat. Denyut nadi Anda tak bisa membohongi saya. Saya juga sangat berpengalaman. Sebagai seorang tabib pasien saya yang hamil dan memiliki anak kembar jumlahnya ratusan."
Se Hwa hanya mengangguk pasrah ketika mendengar perkataan tabib tadi. Ingin rasanya dia bertanya bagaimana cara menggugurkan kandungan itu, tapi nuraninya terus berkata jangan. Itu sebuah kejahatan.
"Ini, saya sudah siapkan ramuan obat untuk menjaga calon bayi itu tetap sehat. Minunlah ini di pagi hari dan ini di malam hari. Ini juga akan mengurangi mual-mual yang kau alami saat ini."
Se Hwa menerima dua bungkus ramuan herbal yang harus dia seduh dan minum secara rutin. Dia mengeluarkan beberapa keping uang kepeng untuk p********n sebelum pergi dari sana.
Wanita itu kembali berjalan tak tahu arah. Dia menemukan sungai yang mengalir jernih. Pikirannya kembali mengingat peristiwa di Tuman. Dua bulan lalu, ketika dia membakar sebuah perkampungan sampai tak bersisa sama sekali. Dia lupa menghitung entah ada berapa banyak nyawa tak berdosa yang dia tebas. Entah berapa banyak anak-anak yang dia bunuh. Kini gambaran-gambaran peristiwa itu malah menyiksanya.
Se Hwa menangis seraya meringkuk di bawah pohon besar. Dia merindukan Jeong Guk. Kepada siapa dia harus mengabarkan tentang kehamilannya? Haruskah dia merasa bahagia?
Se Hwa menatap aliran sungai yang mengalir deras. Sekelebat kisah drama Korea membayanginya. "Mungkinkah jika aku menenggelamkan diri aku bisa kembali ke jamanku?" pikirnya.
Se Hwa melangkahkan kakinya. Pelan tapi pasti airnya masuk ke air yang dingin. Dia masuk ke sana makin jauh dan makin dalam. Rasa frustasi, bingung, kesendirian membuat Se Hwa tak peduli akan hidup dan matinya. Dia hanya ingin pulang ke jamannya.
Seluruh tubuh wanita itu telah masuk ke air, kepalanya pun mulai tenggelam. Namun, belum seberapa lama dia ada di sana, sekelebat bayangan menyambarnya dan membawanya pergi dari sana. Se Hwa meronta, tapi orang itu memukul tengkuknya hingga dia hilang kesadaran diri.
"Bodoh!" Seorang wanita cantik memandang wajah Se Hwa yang terkulai lemas karena pukulannya tadi. "Tak akan kubiarkan kau mati semudah itu. Kau sudah merampas orang yang aku cintai dan membunuhnya, aku harus membalaskan dendamnya."
Wanita itu melangkah meninggalkan Se Hwa yang tergeletak di atas rerumputan. Dia sama sekali tak ada niat untuk menolong Se Hwa. Yang ada di hatinya hanyalah dendam dan dia akan membalaskan dendam itu dengan caranya sendiri. "Anak yang kau kandung, dia akan menjadi sumber malapetaka bagimu, Se Hwa. Dia-lah yang akan menjadi alasan kematianmu itu," gumam wanita itu, lalu menghilang.
Tak berapa lama kemudian, Se Hwa tersadar. Dia memegangi kepalanya yang terasa pening dan lehernya yang kaku. Masih terasa nyeri di tempat itu. Sejenak Se Hwa meregangkan otot-otot lehernya, barulah dia memperhatikan sekitar tempat itu.
Se Hwa tersentak karena ternyata dia ada di puncak gunung rubah. Wanita itu bangkit, lalu mengulurkan tangan, tapi tak ada lagi kupu-kupu yang mendekatinya. Kakinya pun mengayun lemah menuju pondokan yang dibuat oleh Jeong Guk. Mereka sering bercinta di sana, menghabisakan malam hingga pagi menjelang, lalu tertidur sampai siang.
Tangan wanita itu meraba tepian ranjang, berjalan berkeliling mengenang kembali apa yang pernah terjadi di antara mereka berdua. Sesak menyerang dadanya, teringat kembali apa yang dikatakan nenek yang dia temui di tepi jalan tadi siang.
"Kebenaran? Kebenaran seperti apa yang harus aku ungkap. Saat itu kau jelas-jelas membunuh ayahku." Se Hwa menitikkan air mata.
Dari ranjang, tangannya beralih meraba dinding bangunan. Ada gambar mereka berdua di sana. Jeong Guk membuatnya dengan susah payah. Sebuah lukisan tanpa warna yang sangat cantik. Se Hwa menatap lukisan itu lamat-lamat.
"Apa yang kau lakukan di istana? Kenapa kau tak menungguku kembali?" Dirabanya lukisan Jeong Guk. Rasa bencinya entah sirna ke mana. Sekarang yang memenuhi relung batinnya justu kerinduan yang kian dalam. "Jeong Guk, aku hamil ... aku hamil anak kita," desahnya pelan.
Tatapannya beralih ke meja. Ada apel merah yang sudah busuk di sana. Kembali Se Hwa teringat ketika Jeong Guk mengobati lukanya. Pria itu sudah berulangkali menyelamatkannya.
"Mutiara rubah ini. Apa ini masalah utamanya? Tapi aku sudah berjanji akan menjaganya. Kau tak harus membunuh ayahku hanya karena mutiara ini aku bawa pergi." Se Hwa terus menangis. Dia mengusap perutnya di mana mutiara rubah dan janinnya berada.
"Sekarang, apa yang harus aku lakukan, Jeong Guk. Tempat ini begitu sepi tanpamu. Aku merindukanmu ...."
Se Hwa memukul dadanya yang terasa begitu sesak. Perlahan dia mendekati ranjang, lalu merebahkan dirinya di sana.
Wangi buah peach masih membekas di sana, meski sudah hampir dua bulan tak ada yang menempati tempat itu. Wangi itu membuatnya merasa nyaman, sehingga beberapa menit berikutnya dia sudah terlelap. Kelelahan memeluknya. Air matanya masih membekas di pipi. Kedua mata itu pun tampak bengka karena terlalu banyak menangis.
Sementara itu, tak jauh dari sana, seorang wanita terus memperhatikan apa yang dilakukan Se Hwa. Ada banyak sekali rencana yang berputar di kepalanya. Ketika selembar daun kering jatuh, wanita itu melompat turun dari tempatnya bersembunyi. Dipungutnya daun itu, lalu diremasnya dengan tangan.
"Seperti daun kering ini, Se Hwa. Kehangatan tanganmulah yang akan menghancurkan hidup putramu dan kehidupanmu sendiri."
Senyum iblis tersemat di wajah cantik itu. Dia pun berjalan dalam diam mendekati danau air mata rubah, lalu masuk ke sana. Tubuhnya berubah seketika. Kakinya berubah jadi ekor, lalu dia berenang dan menyelam ke dasar danau. Ada goa di bawah sana, goa tempatnya tinggal, bersembunyi dan menyembunyikan perasaannya selama ini.
Jeong Guk yang selalu dikaguminya pernah menangkap dirinya di sungai Tuman, lalu melepaskannya di danau itu.
"Temani aku di sini, ya. Aku takut kesepian," ucap Jeong Guk kecil waktu itu. Lalu, sejak saat itulah dia jatuh cinta, tapi dia tak pernah berani menunjukkan sosoknya kepada Jeong Guk. Wanita itu, hanya bisa mencintai Jeong Guk dalam diam. Cinta tulus yang tak mengharapkan sebuah balasan.