Part 41

1073 Kata
Seo Yeon tengah berendam di kolam renang ketika Se Hwa datang membawa nampan makan pagi. Wanita itu bertingkah seperti anak kecil yang manja. Seo Yeon sendiri dibuat bingung dengan tingkahnya yang sama sekali tak mencerminkan bahwa dirinya seorang jendral kerajaan. Se Hwa sibuk memainkan air kolam, sedangkan Seo Yeon sudah naik ke permukaan air dan berubah wujud. Dia menyantap sarapan yang dihidangkan sambil memperhatikan bagaimana Se Hwa begitu bahagia bermain di dalam kolam itu. "Dasar gila!" desis Seo Yeon, tapi Se Hwa tak peduli. "Kau tau ...." Se Hwa menatap ke arah Seo Yeon. "Sepertinya calon anak-anakku ini tahu kalau dia punya bibi seekor ikan sepertimu, jadi mereka selalu membuatku merasa gerah dan ingin berenang." "Mereka? Apa maksudmu dengan mereka?" tanya Seo Yeon. Dia tak mengetahui kalau Se Hwa diramalkan akan memliki anak kembar. "Jadi kau belum tau?" "Tidak, jangan bilang calon bayimu itu kembar?" Se Hwa mengangguk girang. "Aku punya cita-cita untuk pergi keliling seluruh penjuru negeri untuk mencari Guru Tao. Aku ingin memohon kepadanya untuk membebaskan Jeong Guk agar Jeong Guk tau kalau aku sedang mengandung anak kembar untuknya." Seo Yeon terdiam. Dia berusaha menutupi keragu-raguan hatinya. Perempuan itu bangkit, lalu meninggalkan Se Hwa sendirian di sana. Makin lama bersama Se Hwa bisa-bisa dia kehilangan minatnya untuk membalas dendam. Seo Yeon memilih duduk di taman paviliun. Sementara di dalam sana, Se Hwa termangu seorang diri. Dia hanya berpura-pura gembira di depan Seo Yeon, padahal dalam hati, Se Hwa merasa begitu terluka. Sekarang apa yang akan terjadi di istana? Bagaimana tanggapan orang-orang mengenai kehamilannya. Lalu, Seo Yeon, bagaimana dia harus melindungi wanita itu agar tak ada yang tahu dia seekor ikan. Perburuan siluman sedang terus-menerus digencarkan sejak pemusanahan desa di Tuman waktu itu. Karena itu, jika rahasia Seo Yeon terbongkar, semuanya bisa kacau. Siluman ikan itu pasti mati. Di sisi lain, Se Hwa masih belum menemukan cara untuk menutupi kebenaran siapa wanita itu. Se Hwa membenamkan dirinya di dalam air. Dia pikir dengan jalan seperti itu dia akan bisa mendinginkan kepalanya, tapi semua sia-sia. Setelah tak cukup kuat ada di dalam air, dia kembali memunculkan dirinya ke permukaan. "Kupikir kau sudah bunuh diri." Suara Seo Yeon mengagetkan wanita itu. "Cepat ganti bajumu. Kita harus segera pergi dari sini," kata Seo Yeon sedikit panik. "Tapi, kenapa?" "Kau akan tahu nanti." Tak ingin membantah dan mengulur-ngulur waktu, Se Hwa pun mengikuti apa yang dikatakan wanita itu. Lalu, dengan teleportasi mereka berdua menghilang. "Kenapa kita pergi dengan cara seperti itu? Orang-orang bisa curiga." "Kau akan tau nanti." Seo Yeon terus menyeret Se Hwa untuk menjauh dari desa itu. Sampai di tengah hutan, Seo Yeon menatap Se Hwa dengan frustasi. "Bagaimana caraku menyembunyikan mutiara itu? Kau terlalu mencolok." "Apa maksudmu?" "Diamlah!" Seo Yeon malah menghardik membuat Se Hwa kebingungan karena dia tak merasa bersalah. Se Hwa terdiam. Dia manatap Seo Yeon yang mondar-mandir seperti orang setres. "Mutiara itu dan juga bayinya kau harus melindungi semuanya. Ada banyak sekali iblis yang mengunvar kekuatan mutiara itu. Kau harus tau, jika sampai mutiara rubah dan jiwa dua bayi rubah itu dihisap oleh iblis lain, maka mereka akan jadi sangat kuat dan tak terkalahkan. Perang tak akan terelakkan. Itulah kenapa sejak awal Jeong Guk melarangmu menjauh darinya." "Jika begitu, kenapa kita turun gunung? Bukankah gunung rubah tempat yang paling aman?" "Tidak ketika penjaganya sudah tak ada lagi." Mereka berdua terdiam. Keheningan di antara mereka hanya terusik oleh suara berisik dedaunan yang dimainkan angin. Se Hwa menghela napas. "Kita lanjutkan saja perjalanan. Di istana akan jauh lebih aman. Sejak pembakaran desa di Tuman, iblis akan berpikir seribu kali untuk masuk ke istana. Kau pasti tau tentang perintah raja untuk membasmi semua iblis yang ditemui." Seo Yeon mengangguk. "Lalu, kenapa kau tak membunuhku?" "Aku pernah melakukan kesalahan yang tak termaafkan dengan membumihanguskan desa itu. Banyak orang yang tak berdosa menemui ajalnya di tanganku. Dan, aku tak akan melakukannya lagi." Seo Yeon terdiam. Sejatinya dia sama bingungnya dengan Se Hwa. Tentang bagaimana caranya dia bersembunyi setelah sampai di istana nanti. Juga bagaimana dengan rencana balas dendamnya? "Seo Yeon, katakan kepadaku apa yang membuatmu lari?" "Aku merasakan hawa siluman lain. Aku tak yakin, tapi sepertinya itu siluman ular." "Siluman ular?" Se Hwa bergumam. Luka-luka di tubuh pelayannya yang membuat mereka meninggal juga dari gigitan ulah. Apakah mungkin itu ulah mereka? "Menurutmu, apa Jeong Guk bisa mengerahkan ratusan ular untuk menyerang seseorang?" tanya Se Hwa. "Dia bisa saja melakukannya. Sebagai raja gunung, dia memiliki kekuatan untuk memerintahkan binatang-binatang seperti itu. Tapi, aku berani bertaruh kalau Jeong Guk tak akan pernah melakukannya. Kemampuannya sudah cukup untuk membunuh musuh-musuhnya." "Tapi ... para pelayan di kediaman Hwang, semuanya mati digigit ular." "Digigit ular?" Seo Yeon sedikit terkejut. Dia tak tahu tentang hal itu. "Tapi, kalau digigit ular, artinya bukan Jeong Guk yang membunuh mereka, kan?" "Tapi, tak ada siapa pun di sana selain Jeong Guk. Aku melihatnya sendiri ketika Jeong Guk mencoba membunuh putra mahkota. Dan, ayahku ... siapa yang bisa menjelaskan tentang kematian ayahku dan luka sobek di dadanya? Luka itu luka cakaran Jeong Guk." Seo Yeon tak bisa menjawab, tapi dia mulai merasakan kejanggalan atas cerita itu. Mungkinkah ada yang sengaja menciptakan kesalahpahaman itu di antara mereka. Jika, iya, tujuannya pasti hanya satu. Mereka mengincar mutiara rubah. "Aku rasa kita harus menyelidiki ini lebih lanjut," kata Seo Yeon. "Aku tak yakin Jeong Guk pelaku semua kejahatan itu. Jeong Guk tak akan membunuh manusia." "Baiklah." Se Hwa menjeda kalimatnya. Dia melihat situasi sekelilingnya yang dipenuhi pohon-pohon besar, tinggi, dan lebat. "Kita harus keluar dari sini, lalu membeli kuda menuju istana. Itu jauh lebih efisien. Kita bisa berhenti di dekat sungai jika kau membutuhkan air." Kali ini Seo Yeon setuju. Mereka pun bergegas keluar dari hutan itu. Desa berikutnya masih ada tiga kilometer lagi. Dengan tetap menjaga kewaspadaan, mereka terus berjalan mengikuti jalan setapak di hutan itu. Sepertinya itu jalan yang dibuat oleh para pedagang yang mengembara membawa dagangannya dari satu tempat ke tempat yang lain. Sesekali mereka berhenti untuk mengistirahatkan badan, meminum seteguk air, dan makan perbekalan mereka. Di sisi lain seorang nenek tersenyum melihat mereka berdua. Nenek itu berdiri cukup jauh dari tempat Se Hwa dan Seo Yeon mengistirahatkan badan. "Takdir akan membawa kalian untuk tetap bersama mengungkap kebenaran. Kau harus menyelesaikan seluruh potongan-potongan kejadian itu jika ingin kembali ke jamanmu. Atau kau akan mati dan selamanya terjebak di sini sebab dendam Jeong Guk-lah yang menyeretmu kemari. Dia terjebak di dalam lukisan, dia menjebakmu di jaman ini, Han Airin," kata nenek itu, lalu menghilang dari sana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN