“Lihatlah ini, Halum!”
Anak lelaki itu masih memandangi gulungan kertas yang ada di tangannya. Ia yakin, ingatannya tentang tempat itu tidak salah. Jika benang yang menjadi pembatas antara pohon pinus dan hutan hujan itu adalah Woolis, maka tulisan di atas gambar sungai pastilah Riveria, tempat abadi Melusine. Sungai yang mengalir dari hulu menara hitam, berwarna putih s**u. Ini persis dengan apa yang diceritakan Winessa pada kedua anaknya itu sebelum tidur, saat mereka kecil dulu.
“Ini adalah sebuah peta, Halum!”
Sayangnya, anak lelaki yang lebih besar usianya dibanding Hores itu tidak menghiraukannya sama sekali. Ia tidak ambil pusing dengan segala ocehan yang keluar dari bibir adiknya yang terdengar mengada-ada. Baginya, mengikuti intruksi Winessa saat ini jauh lebih masuk akal daripada mendengarkan celotehan adiknya. Lagi pula, mereka bukan anak kecil lagi. Sudah bukan waktunya untuk mereka percaya akan dongeng menjelang tidur di usia mereka yang sudah cukup dewasa.
“Kau ingat Shatranj ‘kan? Jangan bilang kau melupakannya, Halum. Kau sangat menyukai ketika ibu bercerita tentang tempat ini. Forestan, Sadest, Blason, Whiterdante! Kau tidak melupakannya ‘kan? Ayolah! Kau sangat antusias ketika ibu bercerita tentang itu semua.”
Namun, Hores tetap tidak tinggal diam. Ia tak mau kalau apa yang ia temukan, terlupakan begitu saja. Ini pasti ada kaitannya dengan apa yang mereka alami. Anak lelaki itu terus mengeluarkan kalimat demi kalimat agar sang kakak mau mendengarkannya, setidaknya sekali saja.
“Tapi itu dulu, Hores! Itu hanya dongeng untuk anak kecil!”
Lagi-lagi bantahan keluar dari mulut Halum. Ia tak mau lagi mendengar semua celotehan Hores yang tak bisa ia percayai.
“Dengar, Halum. Kau harus percaya padaku. Kau lihat ini! Ini adalah Riveria dan ini adalah Hippocanis! Hippocanis, Halum! Mahluk besar itu! Yang bertubuh kudanil dan berkepala anjing!”
Hores menunjuk peta tersebut, berharap Halum mendengarkannya untuk kali ini saja. Namun, nihil. Halum menepis tangan anak lelaki itu dengan kasar.
“Itu hanya sebuah dongeng, bodoh!”
Bahkan nada bicaranya sudah meninggi. Ia tak tahan lagi dengan semua hal bodoh yang Hores yakini benar-benar ada.
“Tidak, Halum. Aku mohon, ini-“
Anak lelaki itu terlihat kesal. Tatapan tajam sejak tadi sudah tersuguh di matanya. Ia tak tahu lagi harus berkata apa untuk membuat adiknya sadar kalau ia sudah banyak melantur. Ini sudah malam, ia sudah lelah dengan segala kekacauan yang terjadi. Istirahatnya juga kurang karena para tikus s****n itu mengacaukan malam-malamnya. Dan sekarang, ditambah dengan Hores yang terus merengek, mengoceh, dan berkata yang tidak masuk akal.
“Berhentilah meracau! Kemasi barang-barangmu sekarang!”
Halum berbalik, meninggalkan adiknya yang masih percaya bahwa apa yang ia pegang adalah sesuatu yang nyata. Sesaat sebelum Halum benar-benar meninggalkannya di ruang penyimpanan, anak lelaki itu berkata,”Sebentar lagi Lawson akan menjemput kita. Bergegaslah!”
***
Mobil hitam yang baru saja tiba itu terparkir di depan rumah mereka setelah beberapa jam berlalu. Seorang lelaki turun, mengenakan kaus berwarna merah. Kulitnya sawo matang, hidung mancung, dan rambut hitam yang tidak begitu rapi. Katanya, itu adalah sebuah trend yang saat ini sedang diminati kaum muda. Ia mengarahkan kunci pada mobilnya, menekan satu tombol kecil yang kemudian membuat mobil itu terkunci secara otomatis.
Lelaki itu memencet bel, menengok jendela berkali-kali berharap ia mendapati sang pemilik rumah berlari dari dalam untuk membukakan pintu. Belum ada tanda-tanda dari kedua anak lelaki yang ada di dalam rumah tersebut. Wajar saja, ini sudah lewat tengah malam. Mungkin, anak-anak itu tertidur saat menanti kedatangan Lawson yang baru saja pulang dari Bar, bertemu dengan kawan-kawan lamanya.
Sekali lagi, ia memencet bel yang ada di dekat jendela. Tak lama, pintu itu terbuka. Dua anak laki-laki dengan ransel di punggung mereka, muncul dari balik pintu dengan mata yang terlihat sayur karena mengantuk.
“Lawson!” ujar yang paling kecil.
Lelaki itu hanya tersenyum, lalu mempersilahkan mereka untuk menaiki mobil, sesuai intsruksi Winessa. Ia menjulurkan tangannya, membiarkan mereka menaikki mobil yang sudah terparkir di sana. Siap untuk menjemput mereka pulang ke rumah Anna, di mana Winessa sekarang menanti mereka.
Kedua anak itu-Hores dan Halum, belum mengeluarkan pertanyaan apa pun sejak Lawson tiba meski di kepala keduanya banyak tersimpan hal-hal yang harus mereka pertanyakan. Mereka masih tak mengerti dengan apa yang terjadi. Mengapa suara-suara aneh bermunculan, mengapa Halum selalu bermimpi buruk, mengapa ia menemukan kejanggalan di ruang penyimpanan, sampai mengapa Lawson harus menjemput mereka di malam yang dingin ini.
Mobil hitam itu melaju, membelah gelap yang masih bermanja dengan rembulan yang bulat sempurna. Sangat sempurna untuk menikmatinya. Memandang langit ditemani secangkir coklat hangat dan bersantai di rooftop, sampai pagi menjelang.
“Apakah ibu kalian mengatakan sesuatu pada kalian?”
Setelah beberapa saat berlalu, Lawson akhirnya memecah hening yang sedari tadi menjadi latar mereka bertiga.
“Tidak.”
Halum, anak yang mengangkat telepon dari Winessa yang menjawab. Sang ibu memang tidak mengatakan apapun selain mereka harus menemui Winessa di rumah Anna, malam itu juga.
Anak lelaki yang paling kecil masih memandangi rembulan dari kaca mobil, pikirannya masih tertuju pada Riveria, Woolis, dan Hippocanis yang baru saja ia temukan pada gulungan kertas di dalam dinding. Sayang, kakak laki-lakinya tidak mau mendengar perkataannya sama sekali. Padahal ia yakin, bahwa peta itu benar-benar berisikan tentang tempat yang selalu ibu mereka ceritakan sebelum tidur.
“Ibu hanya bilang, kami harus bergegas. Entah kenapa, tapi sepertinya ini mendesak. Apakah sesuatu terjadi pada Tante Anna?”
Halum balik bertanya, sementara Lawson yang masih memegang setir hanya menggelengkan kepala.
“Tidak usah khawatir, tidak ada hal yang benar-benar serius,” ujar Lawson mencoba menenangkan keduanya. Lagipula, Winessa juga tidak menjelaskan apapun padanya. Sama seperti ucapannya pada Halum, ia hanya menyuruh Lawson untuk menjemput mereka berdua.
“Mengapa kita tidak menunggu pagi jika memang tidak ada yang serius? Aku benar-benar mengantuk.” Tiba-tiba, anak lelaki terkecil yang sejak tadi hanya memandang keluar kaca itu bersuara. Anak kecil itu bertanya-tanya, mengapa ia harus keluar di malam sedingin ini. Bukankah masih ada hari esok? Pikirnya.
Lawson melirik jam yang meingkar di tangan kanannya. Pukul dua dini hari. Memang bukan waktu yang bagus untuk berpergian. Kecuali untuk sebuah pelarian. Namun, mengapa mereka harus berlari? Menghindari siapa? Tidak ada yang tahu pasti kenapa Winessa harus melakukan hal ini pada mereka.
“Kau bisa lanjutkan tidurmu di sini, Hores.”
Lawson mencoba menenangkan anak kecil itu. Masih dengan senyuman yang mengembang di wajahnya, padahal ia pun baru saja mengalami hal aneh yang membuatnya bertanya-tanya. Sementara Halum membuang wajah ke arah yang berlainan dengan Hores. Anak lelaki itu juga tak habis pikir, kenapa ia harus pergi setelah segala kejanggalan yang ia temukan di rumah. Apakah ibunya mengetahui sesuatu? Lalu mengapa Winessa tidak mengatakan apapun padanya? Apakah ibunya menyembunyikan hal yang besar? Ia terus menerka-nerka.
Tiba-tiba, Lawson menginjak rem. Kedua anak itu hampir saja tersungkur. Hores yang baru saja ingin memejamkan mata, tersentak. Merasa kesal karena hari ini semua tidak berjalan dengan baik.
“Aku baru saja akan memejamkan mata. Bagaimana aku bisa tidur jika kau mengerem secara mendadak seperti itu, Lawson?” Hores mendumal dengan apa yang baru saja terjadi. Begitulah, ia memang senang menggerutu.
Hening beberapa jenak kembali menyelimuti ketiganya. Lawson masih terdiam, tidak menimpali perkataan Hores yang terdengar seperti rengekan baginya. Mobil yang mereka naiki belum bergerak.
“Ada apa, Lawson?” Halum mulai bertanya tentang apa yang terjadi pada mobil mereka setelah beberapa saat hening kembali menyelimuti di antara ketiganya.
Namun, Lawson masih bungkam. Tidak menjawab pertanyaan yang keluar dari bibir Halum. Ia hanya memandang lurus ke depan, lalu perlahan pandangannya beralih ke sebelah kanan. Seperti sedang mengikuti sesuatu. Sampai akhirnya, ia mendongak. Melihat bayangan di belakang mobil mereka dengan kaca spion tengah.
Halum yang melihat gelagat aneh Lawson sedikit cemas. Ia berpikir, sesuatu tengah terjadi.
“Lawson? Apa yang terjadi?” untuk kedua kalinya anak lelaki itu bertanya.
“Apa kau lihat itu, Halum?”
Sepupunya itu akhirnya buka suara. Dalam hitungan detik, Halum menoleh ke belakang mengikuti arah mata Lawson yang belum lepas dari spion tengah. Disusul Hores yang akhirnya turut penasaran atas apa yang terjadi.
Sebuah bayangan hitam berada tepat di belakang mobil mereka. Bayangan hitam yang tinggi besar. Udara mendadak menjadi begitu menusuk tulang. Persis seperti adegan dalam film.
‘s**l! Sekarang apa lagi?’ Halum menggerutu dalam hati.
“Hores, Halum, bisakah kalian bekerjasama denganku kali ini?”
Lawson berbicara begitu serius. Keduanya menganggukan kepala secara bersamaan begitu mendengar pertanyaan yang keluar dari bibir Lawson.
“Pegangan yang kuat, kita harus menjauh dari bayangan hitam itu!”
Dua anak lelaki itu berpegangan dengan erat, sesuai dengan permintaan Lawson. Hores bahkan memejamkan matanya karena takut. Sementara Halum, sesekali masih menengok ke belakang, demi melihat bayangan hitam yang besar itu masih mengikuti mobil mereka atau tidak.
‘Apa aku masih di dalam mimpi?’ Halum membatin.
Baginya, kejadian demi kejadian yang ia alami sekarang ini sungguh tidak masuk akal. Mulai dari mimpi buruk yang ia alami, suara-suara yang mengganggu telinganya, dan bahkan sekarang bayangan hitam yang besar mengejar-ngejar mobil mereka.
Semakin cepat mobil itu melaju, semakin cepat pula bayangan hitam mengikuti mereka. Seperti dua kubu magnet yang tarik menarik, bayangan itu mengikuti ke mana pun mobil mereka pergi.
Sampai akhirnya, bayangan hitam itu tiba-tiba muncul di depan mereka. Mobil yang sedang melaju kencang itu seketika oleng dan akhirnya terguling. Dentuman keras terdengar. Pecahan kaca berserak. Halum terpental keluar. Dengan mata yang masih terbuka, ia memandang langit dengan bulan yang masih sama, bulat sempurna.
Ia merasakan cairan kental yang hangat membasahi rambutnya. Darah mengucur dari bagian belakang kepala, satu per satu memori yang telah ia lewati terpampang bagai film singkat yang sedang ia tonton. Bagaimana ia antusias mendengar cerita Winessa sejak ia kecil, hari-hari yang selalu dipenuhi dengan perdebatan dengan Hores, sampai bayangan ketika dadanya tetancap pedang, hingga yang belum lama ini terjadi, saat di mana ia menepis tangan adiknya dengan kasar. Anak lelaki yang malang.
Kesakitan menjalar di seluruh tubuh. Ia tidak bisa bergerak sama sekali. Seluruh tubuhnya terasa kaku. Ia hanya bisa merasakan cairan hangat keluar dari kepalanya. Ingin rasanya ia berteriak memanggil Winessa, sama seperti saat ia jatuh dari sepeda. Namun, harap tinggal harap, membuka mulut pun ia tak kuasa. Bibirnya seakan terkunci. Ia tak bisa melakukan apa pun sampai gelap akhirnya menenggelamkan pandangannya, di bawah langit dengan rembulan yang bulat sempurna.
Sementara itu Lawson dan Hores terjebak di dalam mobil. Lelaki yang mengemudi itu bersimbah darah, ia adalah orang pertama yang terhantam benturan kencang hingga akhirnya tak sadarkan diri. Kakinya terhimpit jok, wajahnya terkena pecahan kaca. Namun, detak jantungnya masih ada.
Sementara, anak lelaki terkecil yang saat itu masih sadar, mencoba menggerakkan badannya. Ia menjulurkan tangannya yang juga penuh darah ke jendela mobil yang sudah pecah kacanya. Anak kecil itu melihat sang kakak yang tergeletak tidak jauh dari mobil mereka yang rusak parah. Hores mencoba berteriak, menyerukan nama kakaknya yang selama ini selalu menjaga dan merawatnya selagi ibu mereka pergi. Kakak yang menurutnya menyebalkan, tapi diam-diam menjadi idola dan panutannya. Ia masih berusaha menggapai, meski dengan sisa-sisa kekuatan yang ia miliki. Perlahan, pandangannya memburam. Sampai sesaat sebelum matanya benar-benar gelap, ia melihat lelaki tua dengan jubah hitam berdiri tidak jauh dari tempat Halum tak sadarkan diri.