Memori

1786 Kata
“Halum! Apa yang sedang kau lakukan? Ikut aku sekarang!” Hores tiba-tiba muncul dan menarik tangan Halum yang kotor. Ia menunjuk telepon yang gagangnya sudah terangkat. Halum menatap Hores dan ia hanya menaikkan alisnya. Diraihnya gagang telepon yang masih tersambung dengan seseorang. Seseorang yang ia kenal. Sementara itu Hores yang penasaran dengan sesuatu kembali ke ruang penyimpanan. “Aku yakin Halum menemukan sesuatu, tapi apa? Sejak kemarin ia tidak berkata apapun tentang lubang di ruang penyimpanan ini.” Anak itu membungkuk, mengambil senter yang tergeletak di lantai, sepertinya tadi Halum tak sengaja menjatuhkannya. Hores mulai menyoroti lubang yang sudah Halum perbesar. Di bawah, bersamaan dengan reruntuhan dinding, ia melihat gulungan kertas yang kemarin mereka temukan. Sebuah gulungan kertas yang menurut Halum bukan apa-apa. Oleh karena itu, Halum membiarkannya tergeletak bersama reruntuhan. Namun, tidak bagi Hores. Ia masih menyimpan rasa ingin tahu. Maka diambilah gulungan kertas usang dan berdebu itu. Dibuka dan dibacanya sedikit demi sedikit karena apa yang ada di dalamnya hampir tidak terlihat lagi. Ia meniup gulungan kertas yang kotor itu demi melihat tulisan yang ada di atasnya. “Ri... ri tulisan apa ini?” Anak kecil itu memicingkan matanya. Melihat tulisan kecil yang sebagian hilang, berada di atas gambar sebuah sungai. Tidak paham dengan tulisan yang hilang itu, ia mulai membaca tulisan di sisi yang lain. Sebuah garis di antara pinus dan entah pohon apa. Dua wilayah yang sepertinya menjadi tempat yang menjadi pembatas di antara keduanya. “Woo-“ Mulutnya yang kecil itu condong ke depan. Matanya makin memicing. “Woolis?” Seketika dahinya berkerut. Ia berhasil membacanya menjadi sebuah kata yang utuh. Sedetik kemudian ia teringat sesuatu. Untuk memastikan bahwa benda ini berhubungan dengan ingatannya, ia kembali mencari tulisan yang ada di sana. “Dan, tempat apa ini?” Ada sebuah gambar terlihat seperti lingkaran cukup besar berwarna lebih hitam. Terlihat seperti garis-garis benang kusut yang terus berputar di tempat tersebut. Di bawahnya, ada sebuah gambar mahluk yang membuat Hores menerka-nerka. “Mahluk apa ini?” Didekatkannya gulungan tersebut agar ia bisa melihat lebih jelas. “Bukankah ini serigala? Serigala bertaring.” Anak itu masih berpikir, ada yang janggal baginya. “Tapi, sejak kapan serigala bertubuh besar seperti kudanil?” Hores menarik napas. Tidak mau ambil pusing dengan apa yang ia temukan. Ia mencoba mencari tahu dari gambar lain. “Apakah ini gambar naga? Tapi seperti ular? Kenapa kepalanya bercabang banyak? Aku merinding. Hewan apa ini? Titisan Medusa kah? Tunggu, salah satu kepalanya terlihat seperti kepala singa.” Ia masih menerka-nerka. Dilihatnya sisi barat yang ada di gulungan tersebut. Dua buah menara berwarna hitam berada di antara garis-garis gerbang yang setelahnya terdapat gambar sebuah kastil berwarna hitam. “Rocky?” *** Hores kecil menarik selimutnya hingga menyisakan bagian d**a ke atas saja. Ia mulai mendengarkan dengan begitu antusias. Halum juga sudah berada di atas kasur yang sama. Mereka berbaring di sisi kanan dan kiri Winessa. Perempuan yang selalu berkisah di malam-malam mereka, terlebih sebelum mereka memejamkan mata. “Apa kalian tahu? Di antara Forestan dan Sadest yang merupakan titik temu antara Whiterdante dan Blason itu, dibatasi sebuah benang yang dimantrai?” Malam itu, Winessa membuka kisahnya lagi. “Seperti sebuah sihir?” Hores kecil bertanya. Winessa tersenyum. Ia mengangguk. “Woolis tipis sekali. Benang yang hampir tidak terlihat karena kegelapan menyelimuti sekitarannya. Namun, Woolis bisa mengeluarkan cahaya yang bisa membutakan mata.” Setiap kata yang keluar dari bibir Winessa saja sudah seperti mantra yang menghipnotis kedua anak lelakinya itu. Bahkan, ketika mereka sedang bertengkar, kisah yang keluar dari mulut Winessa membuat keduanya berhambur ke atas kasur dan mendengarkan dengan saksama. “Apa itu artinya kita tidak boleh melihat Woolis?” Kali ini, Halum yang mengeluarkan pertanyaan. “Tidak juga. Para Utusan Langit memiliki hak istimewa. Mantra tersebut tidak berlaku untuk mereka.” Halum dan Hores secara bersamaan mendongak ke wajah Winessa. “Apakah utusan langit adalah orang-orang hebat?” Mata Hores berbinar, ia kembali mengeluarkan suara, “Kemarin, aku menyukai Rocky. Hari ini, jagoanku adalah utusan langit!” Halum yang mendengar itu bangkit dari pembaringan. “Kau ini benar-benar plin-plan, Hores. Bagaimana mungkin kau berubah pikiran hanya dalam semalam?” Hores menjulurkan lidahnya. Memasang wajah meledek, memulai kembali pertengkaran di antara keduanya. “Kenapa kau ikut pusing dengan hal itu?” katanya. Winessa tertawa. Dua anak laki-lakinya ini memang terlihat menggemaskan meskipun sedang bertengkar satu sama lain. “Bisakah ibu lanjutkan ceritanya?” Perempuan itu mencoba menghentikan pertikaian antara mereka berdua. Tidak ingin kamar mereka dipenuhi oleh bisingnya celotehan kedua anak lelakinya yang saling tidak ingin kalah. Keduanya mengangguk bersamaan. “Di antara Forestan dan Sadest, ada sisi lain yang tidak termantrai. Sebuah tempat yang belum diketahui banyak orang. Ah, tidak. Lebih tepatnya tempat yang tidak berani mereka datangi.” “Sebentar, Bu. Apakah Forsetan dan Sadest berbeda? Bukankah keduanya sama-sama hutan?” Halum dan Winessa terkikik mendengar Hores yang salah menyebutkan salah satu tempat yang baru saja diceritakan. “Forestan, Hores. Bukan Forsetan. Hahaha.” “Ikuti aku,” kata Halum. Ia mencoba untuk membantu Hores mengeja suku kata satu per satu. “For.” “For-“ Hores mencoba mengeja kata tersebut yang kemudian diteruskan oleh Halum. “Setan.” Halum terkikik. Mengerjai adiknya adalah sebuah kesenangan yang selalu ia sukai. Anak kecil itu memajukan bibirnya lagi. Bisakah kakaknya- Halum, tidak menjadi pengacau sehari saja? Batinnya dalam hati. “Forestan terlihat begitu gelap dan rimbun. Hutan itu lembab dan terlihat seperti lorong panjang tak berujung ketika kalian sampai di mulut Forestan. Kalian tahu hutan hujan sss?” Keduanya bergidig ngeri. Membayangkannya saja sudah cukup membuat bulu kuduk merinding. Ditinggal dalam ruangan tertutup dengan lampu yang dimatikan saja, Hores sudah teriak ketakutan. Apalagi membayangkan badan kecilnya itu berada di dalam tempat mengerikan seperti Forestan. “Lalu, bagaimana dengan Sadest?” Halum kini yang bertanya. Anak itu sepertinya lebih tertarik pada dunia yang dingin daripada kegelapan. Winessa masih bungkam. Belum mengeluarkan satu kata pun. Memandangi wajah anak-anaknya yang memasang wajah penasaran. Tak lama, senyuman itu terpasang lagi di bibir tipisnya. “Ah, ayolah, ibu. Aku penasaran.” Halum menarik-narik lengan baju Winessa. Perempuan itu tertawa, betapa manisnya Halum dan Hores yang merengek demi mendengar dongeng yang selalu ia ceritakan hampir setiap malam. “Sadest adalah hutan dengan pinus yang dipenuhi salju. Semua terlihat berwarna putih dan begitu dingin.” “Di sana selalu turun salju? Seperti kutub utara? Adakah beruang salju di sana?” Hores kembali bertanya yang kemudian disusul anggukan kepala dari Winessa. “Di sana selalu turun salju, tapi tidak ada beruang kutub, Sayang.” Hores memajukan bibirnya lagi. “Kenapa tidak ada? Kan beruang kutub itu lucu.” Halum yang mendengar perkataan Hores seketika menatapnya tajam. “Lucu katamu? Mati diterkam baru tahu rasa.” Lagi-lagi Hores menjulurkan lidah. Tidak peduli dengan perkataan Halum. “Kalian mau dengar kelanjutannya?” Keduanya menganggukkan kepala secara bersamaan. “Sadest dipenuhi oleh pinus-pinus yang menangis.” “Mengapa mereka menangis, Bu?” Halum penasaran. “Karena tidak diberi pinjam mainan oleh kakaknya!” Hores dengan lantang menjawab. “Itu kan kau, Anak Cengeng!” Jika sudah seperti ini, rumah yang hanya berisikan mereka bertiga seperti rumah yang didiami banyak orang. Terdengar gaduh dengan suara saling bantah, maupun saling ejek. Namun, begitu salah satu dari mereka sedang bermalam di rumah Anna, rumah itu menjadi sangat dingin seperti Whiterdante. Tidak terdengar lagi suara-suara berisik yang selalu Winessa sukai. “Pinus bisa merasakan kesedihan dari setiap orang yang melewatinya.” Dua anak lelaki itu kembali tenang setelah mendengar kalimat yang terlontar dari bibir Winessa. “Pinus itu tahu, sangat tahu. Maka mereka akan menangis. Turut merasakan kesedihan yang mendalam.” Hores mengangguk-anggukkan kepala. Seolah mengerti dengan apa yang Winessa ucapkan. Meskipun tidak semuanya bisa ia tangkap. Setidaknya, ia tahu bahwa pinus itu akan menangis ketika seseorang memiliki kesedihan di dalam hatinya. “Ah, iya. Aku ingat. Ibu baru saja bercerita bahwa ada tempat yang tidak termantrai. Apakah itu artinya penduduk Blason bisa mengunjungi Whiterdante dan begitu sebaliknya?” Halum, si anak pintar itu mulai berspekulasi. Sementara Hores masih tercengang, entah karena takjub atau memang tidak mengerti apa yang Halum maksud. “Tidak semudah itu, Halum. Meski tidak termantrai, bukan berati tidak ada hal yang mengerikan di sana.” “Apakah tempat itu juga memiliki penjaga? Seperti Rocky?” Hores ternyata sedang menyimak penjelasan Winessa. Ia teringat pada Rocky si penjaga menara hitam dan menara putih. “Hippocanis.” Kedua anak itu memajukan wajah mereka. Siap mendengar tentang mahluk yang baru saja Winessa sebutkan. “Apa itu Hippocanis?” “Penjaga daerah yang tidak dimantrai.” “Berbentuk seperti Rocky? Atau seperti Centaur?” Hores tidak memiliki gambaran sama sekali. Ia hanya bisa membayangkan dari apa yang Winessa sampaikan pada mereka. “Apa kalian pernah melihat kudanil?” “Aku pernah! Bukankah ibu pernah mengajakku ke kebun binatang untuk melihatnya?” Halum menjawab. “Aku juga. Besar sekali. Iya ‘kan, Halum?” Halum mengangguk. Mengiyakan perkataan Hores. “Jadi, Hippocanis itu kudanil?” “Tidak juga.” Keduanya mendengus kesal. Kisah ini selalu jauh dari tebakan mereka. “Badan hewan tersebut sangatlah besar. Jika kudanil yang kalian lihat itu besar, maka ini lebih besar lagi.” “Dua kali lipat?” Hores bertanya dengan mimik wajah yang terlihat kaget. Satu kudanil saja sudah cukup besar baginya. Bagaimana jika dua kudanil dijadikan satu? Pikirnya. Winessa menggelengkan kepala. “Lima kali lipat.” Kedua anak lelaki itu memasang wajah yang sama-sama tercengang. “Li-lima kali lipat?” Halum terbata-bata. Bayangkan, lika kali lipat! Winessa mengangguk. Kenyataannya Hippocanis memang sebesar itu. “Tapi, ada yang berbeda di bagian kepalanya.” “Benarkah?” “Hippocanis memiliki kepala seperti anjing.” “Seperti milik Tante Anna?” Hores membayangkan anjing puddle berwarna putih milik Anna. “Sangat menggemaskan!” Winessa menggeleng. “Lebih tepatnya, seperti serigala.Mahluk ini memiliki taring yang runcing.” “Apakah mahluk ini berbahaya?” Mendengar kata taring, Hores berpikir mahluk ini akan mencabik-cabik siapa pun yang bertemu dengannya. “Tidak. Dia tidak seberbahaya itu. Jika hanya orang tersebut berhasil menjawab teka-teki darinya.” “Teka-teki?” Halum menggaruk kepala sambil berpikir. “Siapa pun yang ingin melewati perbatasan, harus bertemu dengannya di ujung Darkzone.” “Darkzone? Zona gelap?“ “Lebih tepatnya Zona kematian.” Halum merinding. Jika melewati Woolis membuat matanya buta, ini jauh lebih parah. Kematian. “Hippocanis akan memberinya sebuah teka-teki. Jika orang itu berhasil menjawab, Hippocanis akan membiarkannya lewat.” “Dan jika tidak berhasil?” *** “Apa yang kau lakukan di sana, Hores?” Halum yang baru saja menutup telepon, menghampiri Hores yang baru saja mengenang masa lalu karena gulungan kertas yang ada di tangannya. Hores menatap Halum, terdiam beberapa saat sampai akhirnya ia berkata, “Halum, ini adalah peta Shatranj! Dunia yang selalu ibu ceritakan!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN