Gadis itu menunggang kuda, mengentakkan tali yang ia pegang dan memacu kudanya untuk berlari lebih cepat. Ia sedang membelah gelap yang begitu sunyi di sepanjang perbatasan Blason dan Whiterdante. Melewati hutan Forestan yang senyap. Forestan yang tidak hanya gelap, tapi juga banyak menyimpan hal-hal mengerikan. Mulai dari makhluk-makhluk yang hidup di dalamnya, sampai marabahaya yang disebabkan oleh kegelapan. Pohon-pohon besar yang memiliki mata, menatapnya dengan tajam di sepanjang jalan. Namun, gadis itu tidak takut, tidak sama sekali. Ia terus melewati pohon-pohon itu tanpa ragu. Bitale tahu, tidak akan ada yang menyakitinya selama ia tidak menyakiti mereka. Ini adalah dasar dari tabur dan tuai. Kejahatan selalu terbalas dengan kejahatan pula. Maka, ketika ia merasa sudah melakukan hal yang benar, kecil kemungkinan bahwa ia akan mendapatkan hasil yang buruk. Setidaknya, itulah yang hinggap dalam pikirannya. Akar-akar gantung yang seakan menjadi tirai penghalang, juga terlihat di sepanjang jalan. Tak lupa, terlihat pula Riveria dengan air yang mengalir begitu tenang sejak Melusine tidak lagi bersenandung dan menampakkan diri di sana selepas tragedi kematian yang selalu diingat semua orang.
Gadis itu melalui Forestan seperti sehelai daun Rainwood kering yang hanyut di Sungai Riveria. Sungai berwarna putih s**u beraroma Gardenia, beratapkan langit yang selalu biru berpelangi, dulu. Airnya yang begitu segar dan jika seseorang meninumnya setetes saja, maka dahaga akan hilang. Ia tidak akan merasa haus hingga empat puluh dua jam berikutnya. Bahkan, meski telah melakukan perjalanan panjang mengitari seisi Shatranj. Banyak yang percaya bahwa Riveria benar-benar sungai ajaib. Tempat abadi Melusine ini berhulu di bukit menara putih, tempat di mana Whichessenova tinggal. Tidak ada yang tahu pasti di sebelah mana, karena tidak ada satu pun penduduk Shatranj yang berani memasuki wilayah itu. Riveria dipercaya membuat siapa pun yang berendam di sana selama tiga puluh tahun akan awet muda. Sayangnya, tidak ada yang kuat berendam dengan waktu panjang yang telah ditentukan, kecuali satu. Lelaki yang selalu berbicara dengan bayangannya di dalam cermin. Lelaki berambut putih yang tidak pernah menua sama sekali.
Dulu, gadis itu senang sekali bermain di sana. Di sungai ajaib tempat Melusine hidup dengan abadi. Ia senang menyipak-cipakkan air, memercikkannya ke wajah yang gerah setelah lelah berlarian sepanjang hari. Gadis itu juga senang menangkapi biji-biji Koy yang serupa ikan berwarna merah berantena, seukuran kuku-kuku jari yang berloncatan di sana. Ia akan berlari di pinggiran sungai yang banyak dipayungi pohon-pohon Rainwood yang penuh warna sambil sesekali menghitung helai dauh yang mulai berguguran mengenai tanah. Setelahnya ia akan berbaring, membiarkan daun-daun yang berwarna lebih kental itu jatuh ke wajahnya. Berguguran satu per satu tertiup angin.
Iya, itu dulu. Dulu sekali. Saat warna masih mau menyebar di Shatranj. Saat Melusine masih senang bersenandung dengan merdu juga menampakkan diri dan Sirenia tidak pernah muncul mengambil alih isi kepala makhluk cantik itu. Sebelum Shatranj terpecah menjadi Blason dan Whiterdante. Benar, sebelum warna hanya menyisakan hitam dan putih. Ya, hanya hitam dan putih. Seperti sekarang ini.
Gadis itu menyebar bubuk Lahit tepat di dekat Woolis. Bubuk Lahit yang nantinya mengapung mengitari Woolis. Benang yang menjadi pembatas antara Sadest dan Forestan, hutan yang merupakan jalan menuju Menara Hitam. Bubuk Lahit itu berwarna hitam pekat. Ketika gadis itu menyebarnya, Lahit akan melayang dan tak terlihat karena gelap menyamarkan warnanya. Siapa pun yang menghirup Lahit akan bersin berkepanjangan. Apa bila Lahit itu tak sengaja bertabrakan dengan kulit, maka kulit akan memerah dan terasa panas. Itulah alasan gadis tersebut memakai sepasang sarung tangan yang tebal, juga mantel tak kalah tebal demi menghindari kulitnya terkena Lahit maupun Mosqy, si nyamuk penanam halusinasi yang akan membuat siapa pun yang menjadi korbannya mengalami depresi hanya dalam hitungan menit saja.
Ia memasang Gluetan, perekat cair di semak-semak. Tidak jauh dari tempat di mana ia menabur bubuk Lahit. Gadis itu juga menaruh dua buah Berryboom yang akan meledak dalam mulut ketika siapa pun mencoba memakannya, Berryboom berbentuk bulat seperti buah berry dan berwarna hitam mengkilat dan yang terparah, ia menggantungkan Bocil di pepohonan. Ia tahu, tak lama lagi si lelaki uban yang ia benci itu akan mengirim kaki tangannya untuk mendekati Woolis yang diyakini menjadi tempat jatuhnya utusan langit. Jika mereka itu bodoh, mereka akan mudah terkelabui oleh Bocil tersebut. Bocil itu berwarna kekuningan. Hanya ini yang sedikit berwarna di antara perangkap-perangkap yang gadis itu buat. Bocil akan berkedip-kedip seperti kunang-kunang. Siapa pun yang memandangnya dan tergiur pada terang yang disuguhkan Bocil, mereka akan terhipnotis. Bocil akan terlihat seperti seorang wanita cantik yang menari-nari di mata mereka ketika yang terhipnotis itu seorang lelaki dan akan terlihat seperti lelaki tampan yang terus melambai-lambaikan tangannya ketika yang terhipnotis itu seorang perempuan. Gadis itu memasang perangkap begitu cekatan. Setelah dirasa semua jebakannya terpasang dengan benar ia berlalu, kembali menyatu dengan Forestan yang kelam.
"Lihat saja! Hidung mereka akan memerah seperti badut sirkus karena bersin terus menerus. Tahu rasa kau, Whichessenova!" teriaknya membangunkan kegelapan yang selalu tertidur.
Baru beberapa langkah ia kembali, terdengar suara gaduh. Gadis itu urung meninggalkan Forestan. Ia menarik dirinya untuk bersembunyi di balik semak-semak yang menyamarkan tubuhnya.
“Pasti para Askar bodoh itu sudah datang,” Gadis itu bergumam.
Bitale turun dari kuda yang ia tunggangi. Mengikatnya di salah satu pohon yang besar. Mengelus leher hewan itu, mencoba membuatnya tenang agar tidak menimbulkan kekacauan. Ia masih hafal ke mana ia harus berjalan meski hanya ada jalan setapak, lalu bersembunyi di balik dedaunan rimbun sembari mengamati gerak gerik mereka. Ia mengintip dari celah-celah dedaunan.
Busur dan anak panah tak pernah alfa dari punggungnya. Ia sudah menyiapkan kertas putih dengan tinta hitam yang bertuliskan sebuah kata.
“Aku yakin, utusan langit itu akan jatuh tepat di sini.”
Terdengar seorang lelaki berbicara dari arah perbatasan. Suaranya terdengar sedikit berat dan penuh percaya diri.
‘Dasar Askar bodoh! Jika utusan langit itu jatuh di sini, aku pasti menemukannya lebih dulu dibanding kalian,’ batin Bitale.
“Kalian tahu, kan? Firasatku tidak pernah melenceng.”
Rupanya ada dua orang, Bitale berpikir mereka hanya terdiri dua orang. Mungkin. Karena ia tahu Askar itu pasti sedang mengajak bicara teman sesama Askar nya.
“Bodoh, kau pikir aku tak tahu kalau Warlords yang menyuruhmu ke sini?”
‘Dasar i***t, kenapa mereka harus mempeributkan masalah sepele di saat-saat seperti ini?’ pikir Bitale.
“Tu-tunggu aku!”
Seseorang lagi muncul dari belakang. Di antara ketiganya, ia lah yang terlihat paling penakut juga yang paling kecil badannya. Suaranya terdengar gemetar dibanding suara Askar-askar sebelumnya yang begitu terdengar percaya diri.
‘Ternyata tiga.’ Lagi-lagi, gadis itu bergumam.
Ia melangkah, mendekati mereka sambil terus bersembunyi di balik dedaunan. Gadis itu memang ahli dalam hal bersembunyi dan mengendap-endap. Jelas terlihat saat beberapa kali ia berhasil menerobos keluar dari Menara Hitam tanpa diketahui oleh para Askar yang berjaga, maupun Blachessier. Bitale semakin mendekatkan dirinya demi melihat para Askar bodoh kiriman Whicessenova itu. Ia ingin tahu, informasi apa yang akan ia dapatkan dari tiga orang suruhan lelaki berambut putih yang ia benci setengah mati.
“Hei, Kalian!”
Nasib s**l menimpa Bitale. Rupanya salah seorang Askar melihat pergerakan gadis itu. Ia kemudian memanggil teman-temannya untuk memberi tahu apa yang ia lihat.
“Apa kalian melihat sesuatu di sana?”
Ujung telunjuknya mengarah ke tempat Bitale sembunyi. Gadis itu mencoba tetap tenang, ia tahu apa yang harus ia perbuat selanjutnya. Seorang Bitale tidak pernah kehabisan akal. Begitulah, selain memiliki watak yang keras kepala, otaknya selalu dipenuhi dengan ide-ide cemerlang.
“Aku yakin, aku melihat sesuatu di sana.”
Lelaki itu bersikukuh bahwa penglihatannya tidaklah salah. Ia benar-benar melihat sekelebat bayangan yang melintas tepat di depan matanya. Gadis itu menarik napas. Sudah mulai bersiap dengan segala konsekuensi yang mungkin ia terima. Lagi pula, meskipun tertangkap basah, para Askar bodoh itu tidak akan bisa mengejarnya sampai ke Forestan karena Woolis akan bekerja sangat baik.
“Jangan bercanda. Tempat ini tidak telihat bagus untuk bermain-main,” Askar terakhir yang paling penakut itu membantah dengan suara yang sedikit gemetar. Ia berpikir kalau Askar yang melihat bayangan itu hanya mengada-ada. Ia hanya ingin menakutinya karena sejak tadi Askar terkecil itu terlihat gemetar.
“Aku serius. Jika saja Woolis ini tidak dimantrai, aku akan mengejarnya. Dia pasti mata-mata.”
Sementara mereka memperdebatkan tentang bayangan hitam, Bitale sudah bersiap dengan busur dan anak panah di tangannya. Tak lupa, gulungan kertas yang juga sudah ia siapkan dengan sebuah kata yang sudah ia tulis dengan tinta hitam. Perangkap yang Bitale buat tidak mengenai mereka. Maka, gadis itu harus menggunakan opsi kedua. Mengusir mereka dengan keahliannya.
“Bagaimana jika itu Pion? Anak yang mati terapung di Riveria itu. Kalian tahu kan? Ayolah kalian pasti tahu, hari itu benar-benar menjadi tragedi untuk kita semua. Atau mungkin itu Joulie anak dari Tuan Carl?”
‘Bagaimana mungkin si bodoh itu terpilih menjadi Askar? Ia masih percaya bahwa arwah Pion bergentayangan di sini?’ Gadis itu tersenyum, menertawakan kebodohan Whichessenova yang telah memilih askar dengan kualitas yang buruk. Benar-benar buruk.
“Ssst. Bodoh! Berhenti bicara omong kosong atau kau-“
Anak panah itu melesat dengan cepat dan tepat sasaran. Menancap di pohon besar, tepat di belakang mereka bertiga. Para Askar yang terlihat kaget, berdiam diri beberapa jenak sebelum akhirnya berlari menghampiri anak panah yang sudah menancap di pohon.
Bitale masih mengamati mereka. Bahkan ketika mereka mulai membuka gulungan kertas, membacanya, lalu lari meninggalkan tempat tersebut. Gadis itu tertawa puas.
“Dasar manusia-manusia bodoh!” ujarnya sebelum kembali menemui kudanya yang ia ikat di salah satu pohon. Ia berjalan dengan santai dan percaya diri seakan ia adalah polisi yang baru saja menangkap basah seorang pencuri.
“Jika hari ini aku tidak menemukan utusan langit itu, maka Si Rambut Uban itu pun tidak boleh menemukannya,” tukasnya.
Malam itu, ia kembali ke menara hitam secara diam-diam. Gadis itu memacu kudanya dengan cepat, sebelum gelap benar-benar menguasai penglihatannya dan membuatnya sulit untuk menemukan jalan pulang. Bitale memasuki gangg kecil yang hanya gadis itu yang tahu. Sebuah celah di sebelah barat yang tertutupi daun rimbun yang benar-benar mengelabui mata para Askar yang berlalu lalang di sana. Gadis ituberhasil melewati para Askar yang berjaga dengan lihai, seperti biasanya. Ia sudah cukup tenang dengan apa yang ia dapatkan hari ini. Meskipun ia tak tahu, ada hal besar yang telah ia lewatkan.
“Setidaknya aku harus kembali lagi besok.”