STORY 05 - Marry Me?
***
“Jangan bercanda, Komandan!!” Suara teriakan wanita menggema dalam ruangan. Tubuh Nora yang awalnya membeku kaget perlahan kembali normal.
Bersikap seperti biasa, tersenyum tipis. Seperti dugaannya. Siapa lagi yang bisa memarahinya di tempat ini, selain Marry. Walaupun royalitas sang sahabat tidak perlu diragukan lagi.
Tapi jika Nora mengambil keputusan paling bodoh, wanita itu tak akan tinggal diam.
Nora melihatnya, Marry dengan cepat melepas topi yang Ia gunakan. Menatap tak percaya, “Coba katakan sekali lagi. Aku pasti salah dengar,” Mencoba untuk tertawa kecil.
Nora hanya tersenyum, “Aku ingin mengundurkan diri dari posisi komandan. Maaf, Marry.” Maniknya menatap Marry hanya tiba-tiba saja limbung. Namun berusaha keras untuk tetap berdiri.
Wanita itu shock tentu saja. “Ka-kau tahu seberapa besar efek perkataanmu tadi, Nora?! Posisi komandan yang susah payah kau dapatkan, sekarang kenapa mudah sekali kau mengatakan ingin mundur?!” tegur Marry keras, ruangan kedap suara menahan suara Marry tak terdengar hingga keluar.
Kedua manik sahabatnya berkaca, menggigit bibir bawah. “Kau pasti bercanda, Nora.” Rengekan kecil terdengar. "A—apa karena kasus ayahmu, kau terpaksa mengundurkan diri? Apa ada orang lain yang berani mengancammu? Bilang saja padaku!”
Marry menangis, menahan diri agar tidak tumbang. Perlahan duduk di depan Nora, namun wajahnya tetap menunduk.
“Aku akan menghancurkan mereka! Kumohon, Nora—ini mimpi kita berdua-hiks- aku mendukungmu sepenuh hati, bahkan saat ayah dan ibu melarangku untuk masuk ke sini, aku-hiks-aku,”
Nora berdiri cepat, bergerak memeluk tubuh Marry. Sahabat yang sudah menemaninya sejak dulu. Susah, senang, menangis bersama bahkan tertawa.
Bertarung untuk mempertaruhkan posisi kepolisian, karena mereka memiliki cita-cita yang sama. Keadilan.
“Maaf, Marry. Aku harus melakukannya,” Tidak menyangka Marry akan mendorong tubuhnya, mencengkram kedua pundak Nora.
“Apa ayahmu alasannya? Kau sampai membuang mimpi yang sudah kau inginkan sejak dulu? Apa karena kesalahan ayahmu sendiri, kau harus menanggungnya, Nora?!” teriak Marry cepat. Menatap lekat sahabatnya.
Namun Nora bungkam, wanita itu tidak bisa memandang Marry. “Ini salahku juga, Marry. Ayah, mungkin saja tidak perlu masuk penjara kalau aku berusaha keras membelanya. Tapi aku tidak bisa,”
“Aku mengerti maksudmu, Nora! Ini bukan salahmu!! Ayahmu yang melakukan tindak korupsi, kau tidak perlu bertanggung jawab!!” Marry bersikeras, tak mengerti kenapa Nora harus mengambil resiko yang begitu besar.
“Kau bisa melunasi hutang ayahmu dengan tetap bekerja sebagai Komandan, Nora! Hutang ayahmu begitu besar, aku akan ikut membantu! Kau tenang saja-” Suara Marry tercekat, menatap sahabatnya yang kini justru tersenyum kecil.
Tawa Nora perlahan membahana, suara tawa dengan nada miris. “Khahaha! Kau mungkin benar, Marry. Aku sudah menggunakan separuh uang yang kutabung selama bertahun-tahun untuk membayar semua hutang itu,”
Berjalan menjauh dari Marry, Nora mengacak rambutnya. Gelisah, takut bahkan keraguan itu tidak pernah hilang.
“Noravayne Adela, hanya berusaha menjadi putri terbaik untuk kedua orangtuanya. Aku tidak mau lagi menggunakan uang yang kudapat setelah menjebloskan ayahku sendiri ke penjara.” Begitu tegas dan yakin.
Marry tahu jika sekali Nora membuat keputusan, wanita itu tidak akan bisa digoyahkan apapun. “Ha-hanya karena kesalahan ayahmu, aku tidak terima, Nora!”
Menatap sosok tegap yang sudah bertahun-tahun menjadi komandan serta sahabatnya. Pandangan itu menatap tanpa ragu.
“Ini bukan permasalahan kecil, Marry. Kata ‘hanya’ tidak akan meringankan semua masalah dan membuatku berpikir bahwa kejadian kemarin mungkin hanya sekedar angin lalu.” Ucap Nora yakin.
Marry menahan tangisannya, tidak membantah perkataan Nora lagi. “Aku ingin pergi dan menenangkan diri, Marry. Pekerjaan ini sudah mengambil setengah dari kehidupanku.”
Jika dia harus berusaha keras mencari uang untuk membayar hutang ayahnya. Nora tidak masalah sama sekali. Wanita itu tersenyum tipis.
“Kuharap kau menerima keputusanku.” Kalimat terakhir Nora, sukses menghancurkan pertahanan Marry lagi. Ia berlari memeluk tubuh sang sahabat erat.
“Kalau memang itu yang kau inginkan. Aku akan berusaha membantumu semaksimal mungkin, Nora.”
***
Cafetaria – pukul 13.00 pm
“Apa Moran sudah tahu tentang keputusanmu ini?” Menyantap makan siang bersama. Tiba-tiba saja Marry menyebut nama Moran dalam perbincangan mereka.
Alis Nora tertekuk bingung, kemudian berpikir kembali. “Kurasa sudah.” Mencoba mengingat untuk kesekian kali.
Pandangan Marry justru menatap semakin lekat. “Pastikan yang benar, komandan!” tegas wanita itu.
Manik Nora mengerjap heran, “Yang terpenting aku sudah memberitahumu tentang pengunduran diriku. Masalah Moran, aku bisa memberitahunya kapan pun.” Mengendikkan bahu, Nora tidak menyangka bahwa Marry menyambet pudding coklat kesukaannya.
“Ah! Pudingku!! Kenapa kau makan?!” Terkejut, sang sahabat dengan percaya diri menyantap pudding coklat yang sengaja Nora beli diam-diam tadi!!
“Biar saja! Kau juga tidak ingin ‘kan semua bawahanmu tahu kalau seorang komandan Noravayne yang menakutkan ternyata suka makanan manis!” tukas Marry berani. Tidak cukup sampai sana,
Suara dengusan Nora dengar, “Dasar wanita tidak peka!” lanjut Marry. Semakin membuat Nora bingung. “Kenapa kau marah? Memangnya aku ada salah bicara?” balas Nora cepat.
Berusaha mengambil pudingnya lagi, tapi Marry bergerak gesit, menghabiskan makanan itu dalam sekali suap.
“Ah, pudingku!! Kau jahat sekali, Marry! Berani sekali merebut pudding komandanmu.” rengek Nora tanpa sadar. Hanya di depan Marry saja, Nora bisa sedikit leluasa mengeluarkan sifatnya.
“Biar saja! Wanita tidak peka seperti komandan pantas mendapat hukuman.” Marry mendesah panjang, mengambil segelas lemontea hangat. Menyesapnya perlahan.
“Kasihan komandan Moran yang tampan dan luar biasa, dia harus suka dengan komandanku. Sudah tidak peka, mana kekuatannya seperti laki-laki.” Sengaja mengejek Nora. Marry mengira bahwa Nora mungkin akan menjitak kepala atau sekedar menjewer telinganya.
Diam selama beberapa detik, Marry tidak mendapat reaksi apapun. Manik yang tadi tertutup sejenak, perlahan terbuka, melirik sengaja ke arah Nora.
Apa yang dia lihat? Nora justru mengalihkan pandangan ke arah lain. Menyesap kopi s**u yang Ia pesan. Sengaja mengabaikan ucapan Marry.
Oh, manik Marry mengerjap sekilas. Kerutan di keningnya nampak jelas. Berhenti dengan aktingnya, wanita itu duduk mendekati Nora.
Sengaja berhenti di samping Nora, “Jangan bilang kau sudah tahu, tapi pura-pura tidak sadar?!” Berbisik di telinga sahabatnya.
Tidak ada jawaban. Marry semakin curiga. “Komandan Nora, jawab! Kau tahu kalau komandan Moran menyukaimu?” tanya wanita itu lagi.
Nora mendesah panjang, “Hh, hampir seratus kali dia mengatakan itu padaku.” Jawab sang Adela tanpa sadar. Sebelum akhirnya Ia sadar sendiri, berdecak sekilas.
Melirik Marry yang menatapnya shock, “Kau tahu ‘kan Marry, aku tidak pernah punya waktu untuk memikirkan hal itu. Lagipula-” Belum selesai Nora bicara.
Salah satu tangan Marry sudah bergerak menyentuh kening Nora berulang kali. “Kau sehat ‘kan? Hm, sepertinya sedikit panas. Hh, pantas saja Komandanku tidak waras hari ini,”
Ucapannya dianggap berkhayal?! Memutar kedua manik lelah, sembari menjauhkan tubuh. “Aku tidak sakit, Marry. Komandan Moran mungkin sudah berulang kali mengatakan perasaannya padaku,” Menghentikan kalimat sejenak.
Nora mendengus tipis, “Aku hanya belum siap, dan rasa sayang yang kurasakan saat bersamanya berbeda dengan rasa sayang laki-laki itu,”
Marry menepuk jidatnya sendiri, “Astaga, Nora. Apa yang kurang dari komandan Moran? Dia begitu sempurna, semua wanita bahkan rela bertekuk lutut di hadapannya” Hah, mulai lagi. Ketenaran Moran part 10 versi Marry.
Nora mendesah panjang, Ia hanya terkekeh kecil.
“Tampan, usianya matang, dia menyukaimu. Keluarganya berada, pintar bertarung, pokoknya sempurna!”
“Hh, iya, iya.”
Nora merasa bersyukur, karena di saat terpuruk seperti ini. Marry selalu berada di sisinya. Sahabat paling berharga. Jika wanita itu tidak ada.
Mungkin Nora sudah lama gila dan stress dengan keputusan yang Ia ambil. Bergerak cepat, memeluk Marry.
“Komandan Moran memang selalu menghiburku. Tapi sahabatku, Marry Vanhosten. Tidak ada yang bisa menandinginya.” Sosok dingin dan tegas Nora seolah luntur di hadapan Marry.
Setidaknya di hari terakhirnya, Nora bisa lebih leluasa berbicara panjang lebar dengan sang sahabat.
“Hh, kau ini!” Marry tersenyum kecil, memeluk balik Nora. “Dimana pun tempat tinggalmu nanti, kau harus menghubungiku, paham?!” tegur wanita itu cepat.
“Tentu saja!”
***
Area Parkir Kepolisian – Pukul 10.00 am
Butuh beberapa minggu bagi Nora untuk bisa melepaskan posisinya sebagai komandan. Menyerahkan posisi berharga itu pada anggota yang dianggapnya kompeten.
Nora tidak menyesali keputusan ini. Dia justru merasa lega. Sebuah beban besar seolah terangkat, meringankan langkah Nora.
Walau mendapat cibiran atau sindiran keras dari para petinggi mengenai tindakan gegabahnya. Nora tidak akan menarik keputusan ini lagi.
“Kau tidak akan pergi terlalu jauh ‘kan? Ingat kabari aku lagi setelah kau menemukan tempat tinggal.” Hanya Marry yang tahu tentang kepergiannya hari ini.
Nora memang sengaja tidak memberi izin kepada semua bawahan untuk mengantarnya pergi. Hanya Marry saja yang tetap bersikeras untuk melihatnya pulang.
Nora mendengus tipis, “Tentu saja. Kalau aku kekurangan uang, kau harus memberikanku sedikit, oke?” Mengedipkan manik tipis sembari bercanda.
Marry mengangguk tanpa ragu, “Sudah pasti! Aku sudah menempatkan nomor teleponku di angka satu, kau tinggal tekan saja! Ingat, Komandan Nora?!”
Menggeleng tipis, “Jangan memanggilku komandan lagi, Marry. Tempat itu bukan milikku sekarang.” Ujar sang Adela, dia justru langsung mendapat deathglare singkat.
“Kau tetap komandan terbaikku, Nora. Di Jakarta-ah bahkan Indonesia sekalipun, tidak ada wanita super kuat, dan nekat sepertimu.” jawab Marry cepat.
Nora tertawa, dia memang tidak bisa membantah ucapan Marry jika wanita itu sedang cerewet. Kedua maniknya menatap jam tangan sekali lagi.
“Aku harus pergi sekarang.” Terakhir kalinya Nora menatap gedung tinggi yang menjadi tempatnya bekerja selama ini. Dia pasti akan sangat rindu.
“Jaga dirimu baik-baik, oke?” Tersenyum tipis, Marry hampir saja menangis. “Khaha, aku tidak sedang pergi ke luar negeri nan jauh di sana, Marry. Jangan menangis seperti itu, cengeng sekali.” celetuk Nora cepat.
Saat tubuh Nora hendak berbalik masuk ke dalam mobil, Marry nampak terkejut. Entah melihat siapa di belakangnya. Jemari wanita itu tiba-tiba menunjuk,
“Hah, sepertinya aku yang harus pergi sekarang. Sesi perpisahan antar sahabat sudah selesai. Kali ini giliran dia,” Mengedipkan manik cepat, Marry menepuk pundak Nora. “Sehat-sehat di tempat barumu, Komandan.” Sebelum akhirnya berbalik, meninggalkan Nora.
Berlari masuk ke dalam gedung. ‘Hh, siapa lagi yang bisa membuatnya seperti itu?’ batin Nora, seolah tahu.
Wanita itu berbalik, menoleh ke belakang. Tersenyum tipis melihat sosok tegap Moran berdiri tak jauh dari posisinya.
“Kau datang juga, Komandan Moran?”
***
Nora benar-benar kehilangan waktu untuk menggunakan semua reflek yang Ia punya. Karena sebelum wanita itu menghindar.
Moran sudah lebih dulu berlari, tanpa aba-aba menarik tubuh Nora, memeluk sang Adela erat. Wajah cantik wanita itu mencium leher sang komandan.
Maniknya mengerjap kaget, shock dan bingung. Otak Nora berusaha berpikir jernih. Tapi bukan semakin jelas, kalimat yang diucapkan Moran selanjutnya.
“Menikahlah denganku, Nora.”
Membuat sosok Noravayne Adela bertambah beku. Lamaran tidak romantis, dan pelukan erat Moran. Mengambil semua kekuatan yang Ia punya.
“Aku akan ikut menanggung semuanya bersamamu. Jangan pergi.”
Sosok komandan yang disukai semua wanita, laki-laki yang selalu bercanda, mengucapkan suka berulang kali pada Nora. Sekarang nekat melamar sang Adela?