STORY 04 - Two Faces
***
Pukul 23.00 pm
Bunuh diri, berapa kali Drake memikirkan seribu macam cara agar bisa pergi secepatnya dari dunia ini. Tepat setelah mendengar kabar kepergian sang ibu, yang dengan sengaja disembunyikan oleh ayahnya sendiri.
Stress laki-laki itu semakin menumpuk jelas. Sudah hampir dua hari dia tidak pulang ke rumah dan memilih tinggal dalam ruang kerja, menyibukkan diri dengan banyak pekerjaan.
Tidak peduli seberapa sering Houven memberitahunya untuk beristirahat. Tapi dia sengaja mengabaikan itu.
Tumpukan berkas perlahan menghilang dari atas meja, selama dua hari tanpa gangguan, Drake berhasil menyelesaikan pekerjaan yang seharusnya bisa Ia kerjakan dalam jangka waktu satu minggu.
Satu detik saja Drake melamun, dia takut jika sindrom Peterpannya akan kembali muncul. Ketakutan akan ruangan yang sepi, gelap, dan sempit terkadang datang tiba-tiba. Beruntung ruangan ini di desain mengikuti keinginannya.
Meski Ia kadang kali takut jika lampu perusahaan tiba-tiba mati, walau itu tidak mungkin terjadi. Tanpa pengawasan Houven, Drake hanya bisa menyendiri.
Menahan kuasa untuk menangis, dan berteriak mencari sang ibu.
Duduk di kursi kebanggaannya, salah satu tangan itu mengambil satu berkas kertas lagi, mulai membaca beberapa baris kalimat di sana. Tapi kepala Drake sudah lebih dulu berdenyut sakit.
“Ck, sakit kepala sialan!” Tentu saja dia tidak bisa fokus. Bekerja selama dua hari penuh, menurunkan stamina dan kestabilannya dalam waktu singkat.
Mungkin dia bisa beristirahat sejenak, menjauhkan berkas tersebut dari jarak pandangnya. Drake sengaja mendorong kursi menjauh dari meja.
‘Aku sedang tidak ingin tidur,’ desah laki-laki itu, perlahan bangkit dari tempat duduk, dan berjalan menuju sofa lengkap dengan satu set televisi terpasang di depannya.
Menonton televisi merupakan cara lain bagi Drake untuk beristirahat. Menonton berita terbaru, dan mencari cara agar lepas dari pikiran tentang sang ibu.
Satu berita menarik perhatiannya, membuat sang Anderman terfokus, dan memilih untuk tetap duduk dan menonton selama beberapa saat.
Berita malam mengenai penyergapan serta penangkapan seorang koruptor yang melarikan selama beberapa hari setelah membawa ratusan juta uang perusahaan tempatnya bekerja.
Laki-laki itu tertarik dengan latar belakang sang koruptor. “Bagaimana bisa koruptor memiliki putri seorang anggota kepolisian?” gumamnya heran. Meski wajah wanita yang terekam dalam kamera tidak diperlihatkan dengan jelas.
Status sang empunya saja sudah membuat Drake paham. Pemimpin Anggota Kepolisian khusus yang sengaja disembunyikan identitas namanya.
Dunia benar-benar sudah terbalik sekarang, seorang ayah menjadi koruptor sedangkan putrinya sendiri justru menjadi anggota kepolisian.
Takdir yang miris. Jika dibandingkan dengan nasibnya sendiri. Siapa yang lebih menderita kira-kira. Kadang kala Drake tanpa sadar memikirkan hal itu.
Menjadi putri dari seorang koruptor apa menjadi laki-laki dengan pekerjaan bak boneka yang bisa sesuka hati diatur oleh kedua orangtuanya?
Entahlah, Drake tidak ingin memikirkannya. Dibandingkan semua itu, dia lebih memilih hidup sebagai manusia biasa. Tanpa kekayaan berlebih dan kemampuan luar biasa.
***
“Tuan, sudah pagi, bangunlah.”
Suara yang begitu familiar berdengung di telinganya. Tubuh tegap yang awalnya hanya ingin menonton tv sejenak. Justru tidak sadarkan diri, menyender pada punggung sofa, dan terlelap.
Sinar matahari pagi perlahan menyelinap dari celah jendela kaca ruangannya. Tubuh tegap itu bergerak sesaat.
“Tuan Drake, sebaiknya anda kembali ke rumah sejenak dan beristirahat.” Suara itu kembali mengganggunya.
Tanpa sadar meracau, “Pergilah,” Mengusir sosok di dekat sang Anderman. Tapi sayang, sosok itu tidak bisa dengan mudah Ia usir.
“Nyonya Lanser dan Tuan Ivondes baru saja naik ke lantai ini untuk menemui anda. Sebentar lagi mereka akan segera tiba, Tuan Drake.” Mendengar nama kedua orangtuanya.
Kedua manik abu Drake terbuka malas, kepalanya berdenyut sakit. Akibat bergadang selama beberapa hari, ditambah lagi mimpi buruk terus datang.
“Ck, sejak kapan aku tertidur di sini,” Seolah baru sadar dengan posisinya, leher laki-laki itu terasa sakit, dan kaku. Pikiran dan mata Drake tidak bisa diajak kompromi.
Berusaha bangkit, menatap sosok sang asisten tetap berdiri setia di dekatnya. “Jam berapa sekarang?” tanya Drake singkat.
Bangkit dari sofa, sembari merapikan pakaiannya, menguap beberapa kali. Laki-laki itu berniat masuk ke dalam kamar mandi, merapikan rambut dan wajah.
“Jam sepuluh pagi, Tuan.”
Tapi sayang, pintu ruangan sudah lebih dulu terbuka tanpa izin. Siapa lagi yang berani lancang membuka pintu ruangan pemimpin perusahaan selain kedua orangtuanya sendiri?
Kening Drake tertekuk tak suka, melihat sosok wanita dengan usia 40 tahun, lengkap berpakaian modis, serta make up kekinian melangkahkan kaki tanpa takut, masuk ke dalam ruang. Lanser Polly Clayton.
Berbeda jauh dibandingkan ibu kandung Drake yang memiliki umur sama sang ayah, Lanser tentu saja tipikal wanita modis kekinian yang tahu cara merawat diri.
Memanfaatkan segala fasilitas ayahnya selama ini. Melakukan perawatan mewah, membeli baju berkelas, dan mempertahankan wajahnya agar terhindar dari kerutan. Sosok wanita yang masih terlihat muda, dan berkelas.
Drake sangat membenci wanita itu. Mencuri tempat yang seharusnya dimiliki sang ibu, menghancurkan bahkan sekarang mereka sengaja menyembunyikan fakta tentang kematian ibu Drake.
Padahal Drake sudah memberikan waktu satu hari bagi ayah dan ibu tirinya untuk sekedar menginformasikan tentang kematian sang ibu pada laki-laki itu.
Tapi sayang, sampai sekarang pun tidak ada topic mengenai ibunya sama sekali.
Dengan wajah yang sedikit berantakan Drake memasang akting terbaiknya. “Selamat pagi, ibu, ayah.” Tersenyum tipis, berjalan menuju kulkas kecil hendak mengambil segelas air dingin.
Sebelum tubuh itu berhenti, “Penampilanmu berantakan sekali, Drake. Ibu, harap kau masih ingat untuk tetap menjaga sikap selama berada di perusahaan ayahmu.” Ocehan Lanser hampir membuatnya terkekeh. Namun Drake selalu bisa mengendalikan diri.
“Maaf, Ibu.” Tidak ada satupun nada khawatir yang berhasil Drake tangkap dari suara wanita itu. Lanser hanya terfokus pada penampilan dan harga diri perusahaan jika melihat Drake menggunakan sesuatu yang berantakan.
Kali ini, Drake sengaja menyembunyikan fakta bahwa dirinya sudah tahu tentang kematian sang ibu. Berpura-pura tersenyum, bersikap seperti biasa. Bak boneka yang hanya bisa menuruti permintaan ayah dan sang ibu tiri.
“Astaga, sebenarnya apa yang dilakukan Houven sampai membiarkanmu berantakan seperti itu? Ingat, hari ini kau ada rapat penting pukul dua belas siang nanti, Drake.” Ayahnya bahkan lebih buruk lagi, satu pembelaan tidak terdengar.
Salah satu tangan Drake mengambil satu botol air dingin, dan langsung meneguknya hingga puas. Menatap sang ayah yang kini berjalan menuju sofa.
“Jangan salahkan Houven, Ayah. Dia hanya manager dan asisten pribadiku bukan pembantu rumah tangga.” tegur Drake cepat. Tapi satu hal yang sampai saat ini tidak berubah dari diri Drake, dia tak suka jika sosok asistennya mendapat teguran juga.
Houven hanya bertugas mengingatkan semua jadwal dan menjaga agar dia tetap stabil dalam menjalani pekerjaannya.
Suara decakan terdengar, “Ck, apa bedanya?” Lanser ikut menggerutu, menatap Houven kesal. “Siapkan kami minuman,” Seolah tidak peduli dengan kata-kata Drake, wanita itu justru memberi perintah Houven.
Tanpa menyadari kedua tangan Drake sudah lebih dulu terkepal, berusaha menahan diri. Menatap Houven yang tersenyum penuh sabar.
“Baik, Tuan, Nyonya. Saya permisi dulu,” Tidak mau memperpanjang masalah sang tuan, Houven bergegas pergi dari ruangan.
***
“Ada apa Ayah dan Ibu menemuiku hari ini?” Tanpa basa-basi, setelah Houven pergi. Drake memilih untuk kembali ke tempat duduk khususnya dan memulai pekerjaan lagi.
Tidak melihat seperti apa perubahan raut wajah sang ayah dan ibu. Fokus laki-laki itu hanya tertuju ke arah berkas dokumen baru yang diberikan Houven baru saja.
“Ck, memangnya kami tidak boleh melihat kondisi perusahaan ini sendiri?” Lanser menjawab sinis, berusaha untuk tetap tenang.
Drake mengendik singkat, “Bukannya Ibu selalu sibuk dengan acara gathering bersama wanita-wanita kelas atas lainnya?”
“Drake!!” Sindiran Drake tertangkap jelas oleh sang ayah. Pandangannya terangkat, memasang wajah kaget tiba-tiba.
“Ah, maaf. Aku tidak sengaja mengucapkannya.” Wajah tampan itu kembali tersenyum tipis, “Tentu saja kalian boleh datang ke tempat ini sesuka hati. Bahkan menginap di ruanganku pun boleh,” ujarnya lagi.
Wajah Lanser sudah memerah, mendengar penghinaan tak langsung Drake. Wanita itu menahan amarah. “Sayang, kupikir kau sudah berusaha keras mendidik putramu agar tidak kurang ajar di depan ibunya sendiri.” Tersenyum sinis.
Kerutan di kening Ivondes terlihat jelas, sedikit saja Drake menghina atau menyindir istrinya. Tidak akan ada ampun. Alisnya sedikit tertekuk heran.
Setelah beberapa bulan Drake yang biasanya Ia kenal penurut, dan tidak pernah sedikit pun menyindir Lanser separah ini. Tapi sekarang, Ivon seperti melihat pribadi baru di diri Drake.
Apa ini hanya perasaannya saja? “Apa kau sedang ada masalah?” Sengaja menanyakan rasa penasarannya.
Lanser tertegun bingung. Bukan pertanyaan itu yang Ia inginkan! Wanita itu berniat menyanggah ucapan Ivon tapi melihat raut wajah sang suami, Ia langsung mengurungkan niat.
Gerakan tangan Drake terhenti sesaat, memberikan sedikit jeda dalam pertanyaan ayahnya. Manik itu menatap laki-laki paruh baya di depan sana.
Tersenyum bak boneka tampan, “Tidak ada. Kondisiku hanya sedang tidak fit saja, Ayah. Maaf kalau aku menyinggung kalian berdua sejak tadi.” Dengan suara yang pelan.
Sikap Drake seolah kembali lagi. Menjadi laki-laki penurut bagaikan boneka kesukaan Ivondes selama ini.
“Kau tidak menyembunyikan sesuatu dari kami ‘kan?” Masih tidak yakin, Ivon kembali bertanya.
Kali ini tawa Drake semakin nampak, seolah menunggu kalimat itu keluar dari bibir sang ayah. Menghentikan semua kegiatannya, pandangan abu-abu sang Anderman menatap lekat.
“Untuk apa aku menyembunyikan sesuatu dari kalian berdua? Tidak ada untungnya, Ayah. Justru aku yang sebenarnya ingin bertanya,” Sengaja menghentikan kalimat sesaat.
Saat dering alarm milik Drake terdengar menggema, “Apa kalian menyembunyikan satu rahasia kecil tentang ibu dariku?” Satu pertanyaan yang terusik akibat suara alarm Drake.
Manik Ivon dan Lanser menyipit kompak, pendengaran mereka terganggu beberapa saat.
“Apa yang kau katakan? Ayah, tidak mendengarnya.” Ivon berusaha bertanya lagi.
Suatu kebetulan yang menguntungkan. Seringai tipis di wajah Drake menghilang, digantikan senyuman kecil.
“Apa Ayah dan Ibu sudah sarapan? Sepertinya kalian buru-buru sekali ke sini.” Mengganti pertanyaan dengan cepat.
Manik Ivondes mengerjap bingung, ‘Apa aku salah dengar?’ batinnya sesaat. Pikiran laki-laki itu sempat melayang beberapa detik memikirkan ucapan Drake.
Sebelum Lanser sengaja menyikut perutnya, mendelik kesal. “Kau tidak menghiraukan protesanku tadi, sayang!” gerutu wanita itu, Ivon mendesah panjang.
“Hh baiklah,” Menatap Drake sekali lagi, “Drake, kau tahu ibumu sangat sensitive. Jadi berhentilah menyindir kami seperti itu. Jaga perlakuanmu.” tegur Ivon singkat. Masih ada rasa penasaran dalam diri Ivon.
“Ayah rasa, kau sempat bertanya hal selain sarapan kami tadi. Apa itu hanya perasaan Ayah saja, Drake?” Dengan nada sangat pelan, bak mendesis. Ivon mengulang pertanyaannya.
Perlahan tubuh besar itu beranjak bangkit dari sofa. Berjalan mendekati sang putra dengan santai. Berdiri sengaja di samping Drake.
Menyentuh pundak Drake, awalnya hanya sekedar sentuhan. Namun perlahan menekan bahkan meremas pundak sang Anderman.
“Kau tahu sendiri sifat Ayahmu ini, Drake.” Menyeringai tipis, pelan menundukkan tubuh sejajar dengan telinga Drake.
“Pembohong, pencuri, pembangkang, dan pengkhianat.” Deru napas Drake terdengar tenang, senyuman tipis masih tercetak di wajah tampannya, seolah tak terganggung sama sekali.
Saat salah satu tangan Ivondes bergerak menunjuk ke arah sang istri. “Kau lihat wanita cantik di sana? Dia ibumu. Ingat itu, Drake Anderman Clayton.” Sudah hampir seratus-ah bahkan seribu kali Drake mendengar kata-kata itu.
“Aku tahu, Ayah.” Rasa perih mulai menjalar dari pundaknya, cekalan Ivondes makin kuat.
“Jaga-lah sikapmu pada Lanser, jika kau masih ingin melihat wanita sialan yang kau rindukan hidup dalam gelimang harta dan tenang di tangan ayahmu ini.” Satu kalimat sang ayah, hampir saja meledakkan amarah Drake.
Urat berwarna biru hampir nampak di kening Drake, gemertak giginya pelan terdengar. ‘Aku harus menahan diri, tahan dirimu, Drake!!’
Pintu ruangan terbuka saat satu ketukan terdengar. Amarah Drake terhapus seketika. Maniknya menatap sosok Houven datang membawa senampan lengkap minuman dan makanan khusus.
“Maaf menunggu lama.” Bukan wanita dari bagian pantry, melainkan Houven sendiri yang membawa. Seolah tahu, seberapa jauh batas kesabaran Drake diuji di ruangan ini.
Houven datang di waktu yang tepat. Perhatian Ivondes teralih. “Ck, pengganggu.” Ia berdecak kesal. Melepaskan cekalan tangannya dari pundak Drake dan berjalan menjauh.
Betapa inginnya Drake berterima kasih pada Houven. Saat batas kesabarannya hampir habis, laki-laki paruh baya itu muncul.
***
Satu hal yang mungkin kalian tanyakan. Kenapa Drake sama sekali tidak melawan saat sang ayah berulang kali menyindir bahkan mengancam hanya karena dia melepas sikap sopan beberapa saat saja?
Semua itu hanya akting yang berhasil Drake pertahankan. Akan ada waktunya nanti saat Drake bisa membalas semua sakit hati yang Ia rasakan.
Tapi dia sendiri tidak pernah berjanji, dan yakin kapan waktu itu akan datang. Tepat setelah menerima kabar mengenai kematian ibunya.
Untuk apa dia bertahan selama ini? Untuk apa dia berusaha lagi? Jika wanita paruh baya yang Drake lindungi sampai sekarang sudah tidak ada.
“Hh,” Desahan panjang terdengar beberapa kali. Tepat setelah kepergian kedua orang itu.
Pikiran Drake berubah kacau. Menyadari keberadaan Houven yang menolak untuk pergi demi melihat kondisi sang tuan.
“Anda tidak apa-apa, Tuan Drake?” Raut khawatir tercetak jelas di wajah sang asisten.
Pikiran Drake melayang, kedua manik abu itu nampak lelah. Seolah kehilangan sinar selama bertahun-tahun, tepat setelah ibunya pergi meninggalkan dia bersama sang ayah.
“Apa wajahku terlihat baik-baik saja, Houven?” Berbalik menanyakan kondisinya sendiri.
Tubuh Houven menegang, tidak berani menjawab, dia hanya menunduk tipis. Melirik sekilas tuannya.
Tubuh tegap Drake berdiri menghadap kaca ruangan. Pemandangan kota di siang hari terlihat jelas. Wajah tanpa ekspresi itu seolah tidak peduli lagi dengan apapun.
“Houven-” Suara baritone itu tiba-tiba memanggil, dengan nada yang pelan, dan aura gelap menguar di sekitar Drake.
“A-ada apa, Tuan?”
Saat kedua manik abu sang tuan nampak kosong, seolah lelah, dan tidak mampu bertahan.
“Bagaimana jika aku menyusul ibu ke sana? Apa dia akan menungguku?” Satu pertanyaan yang sanggup menghentikan detak jantung Houven beberapa saat.