-00-A [ Prolog Story - Nora ]
STORY 00 - A
***
Kepolisian Jakarta Pusat, Senin, pukul 14.00 pm
“Kau!! Dasar anak iblis!!” Satu kalimat itu terucap dengan lantang, penuh dengan nada teriak yang menggelegar, tepat menunjuk ke arah sosok wanita bertubuh tinggi dan tegap.
Wanita yang masih berdiri dengan wajah tanpa ekspresi, sedikit menggigit bibir bawah berusaha mengendalikan emosi serta perasaannya sendiri.
Dia harus bertahan, jangan sampai perasaan ini membuat wanita itu terlihat rapuh dan semua orang menanyakan keadilan yang Ia buat selama bertahun-tahun. Keadilan yang Ia junjung tinggi sejak kecil.
Saat wanita itu harus memilih antara keadilan atau rasa kemanusiaan.
“Aku hanya meminta tolong satu kali padamu!! Selama ini aku memberimu uang untuk hidup bahkan sampai berdiri sombong di depanku!! Tapi apa balasanmu!! Sialan!!”
Sosok laki-laki paruh baya tengah memberontak, tidak peduli keberadaannya dimana sekarang. Walau dua orang laki-laki bertubuh tegap sudah mengunci pergerakannya. Tapi dia tetap keukeuh.
“b******k!! KEMARI KAU!! BIAR KUPUKUL WAJAH SOMBONGMU ITU!!” Teriakan semakin menggema. Tidak ada yang berani memberi kekerasan lebih pada lelaki paruh baya itu karena satu alasan.
“LEPAS!!” Saat salah seorang penjaga lengah, pergerakan lelaki itu terlepas. Berlari dengan cepat menuju ke arah wanita di depannya.
“ANAK IBLIS!! KAU LUPA KALAU AKU INI AYAHMU!!” Berteriak kencang, diiringi sebuah kepalan tangan melayang tepat mengenai pipi kiri sang wanita. Membuatnya terhuyung sesaat, namun kembali berdiri tegap.
Pandangan masih menatap datar, seolah tak takut. Saat kata ‘ayah’ terucap dari bibir laki-laki itu, jujur saja tubuhnya menegang kaget.
Tentu saja semua orang di tempat ini sudah tahu, karena itu mereka tidak berani mengambil tindakan lebih.
“JAWAB, NORAVAYNE ADELA!!” Namanya bergema dengan lancang, memecah semua keheningan.
Tumbuh dalam lingkungan keluarga kaya raya tidak alih-alih membuat wanita itu menjadi sosok yang manja dan feminim.
Melatih olah tubuh, karena menggemari kartun super hero yang biasa Ia tonton sewaktu kecil, bahkan sampai mengulang episode sama beberapa kali.
Noravayne Adela atau biasa dipanggil Nora, menemukan keadilannya sendiri. Menjadi sosok yang begitu kuat karena semangatnya dalam berlatih bela diri sejak kecil, mengidolakan super hero yang biasa menyelamatkan serta menegakkan keadilan.
Sesuai dengan namanya, Nora berarti cahaya, dia ingin tumbuh menjadi sosok cahaya yang mampu mengayomi semua orang dengan keadilan.
Postur tubuh yang begitu ramping dan tinggi, raut wajah tegas, dengan bentuk manik keemasan mirip kucing, senyuman lembut, serta rambut pendek hitam bergelombang menjadi ciri khas Nora.
Sosok itu berdiri dengan banyak lambang keemasan terpasang di pakaiannya, tanpa ragu menatap sosok paruh baya yang sangat Ia kenali. Tegap, tanpa ekspresi,
“Anda sudah melakukan kesalahan, jadi kita harus menjalankan semua sesuai prosedur hukum.” Menjawab singkat.
Sosok lelaki paruh baya itu mengepalkan kedua tangan kuat, “SIALAN!! KAU LUPA AKU INI AYAHMU!!” Berniat memukul wajah Nora sekali lagi. Tapi sayang seorang laki-laki bertubuh lebih tinggi bergerak cepat, menghentikan gerakan sosok itu.
“Maaf, tidak ada hak untuk anda melakukan kekerasan di tempat ini.” Suara beratnya berucap tegas,
Pandangan Nora teralih, memperhatikan sosok tegap dengan rambut hitam yang terpotong sangat pendek. “Komandan Moran?” Sosok berstatus sama dengannya.
“LEPASKAN TANGANMU, SIALAN!! KAU TIDAK TAHU AKU?!” Laki-laki paruh baya di depan Nora kembali memberontak, “AKU INI AYAHNYA!! AYAH!!”
Ya, dia benar.
Sosok yang kini berteriak sombong di depannya adalah sang ayah sendiri. Terlihat begitu menyedihkan hanya karena melakukan satu kesalahan besar.
***
Satu hari sebelumnya
Pukul : 01.25 am
“Komandan Nora, salah satu dari gerombolan mereka berhasil kabur!!” Teriakan menggema, wanita yang saat itu tengah berkoordinasi setelah berhasil menangkap para penjual obat-obat terlarang di salah satu pub terkenal Jakarta.
Dini hari, di tengah hujan yang turun membasahi kota Jakarta. Kepulan asap masih terlihat membumbung di dalam pub, baru setengah jam mereka berhasil membubarkan pub ini untuk beberapa hari.
Tentu saja, karena alasan penangkapan beberapa penyelundup obat terlarang berhasil mereka dapatkan.
Menyimpan kembali tab yang Ia gunakan untuk mencatat data. Raut wajah wanita itu tertekuk kesal. “Ck, mereka masih bisa kabur?!” Tidak menyangka akan ada satu penyelundup yang berhasil sembunyi dan menunggu saat tepat untuk lari.
“Kau jaga mereka, aku akan menangkap laki-laki itu!” Tegas Nora cepat, merenggangkan otot, dan pakaiannya, menatap laki-laki yang berlari ketakutan keluar dari dalam pub. “Hh, aku sedang tidak ingin melihat darah hari ini,”
Nora menyeringai tipis, kebetulan dia belum berolahraga penuh sejak tadi sore, “Jangan harap kau bisa kabur!!” Menggunakan kecepatan dan tenaga aslinya, Nora melesat, berlari sigap menghindari beberapa furniture yang menghalangi langkahnya.
“HIII!! PERGI!!” Sosok itu nampak ketakutan, berlari semakin cepat, hendak membuka pintu bar, tidak ada suara pistol bergema.
Tapi langkah kaki Nora yang bergerak sigap, semua anggota kepolisian seolah sudah tahu. Apa yang akan dilakukan sang komandan selanjutnya.
“Kau berani mencari masalah denganku!!”
Tidak ada yang boleh meremehkan kemampuan Noravayne Adela di sini. Sosok yang menjadi satu-satunya Komandan di daerah Jakarta pusat, bukan Komandan biasa tentu saja.
“ARGHH,” Suara retak tulang terdengar nyaring, memenuhi ruang, semua orang di dalam sana menatap ngeri, bahkan bawahan Nora sendiri. Mereka tetap tidak terbiasa melihat aksi nekat sang komandan.
Menjadi Komandan pasukan khusus yang bertugas di bagian Pencegahan Korupsi dan Narkotika (obat-obat terlarang). Berhubungan dengan kejahatan sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Nora.
Menendang sosok paruh baya itu tanpa ampun, membuatnya terduduk lemas, retak di bagian punggung saat tubuhnya membentur dinding. Tidak bisa melakukan apa-apa.
“Jangan mendekat!! Maaf!! Maafkan aku!!” Menengadah dan menatap sosok Nora yang masih berdiri tegap.
“Kau berani kabur, berarti berani melawanku, tuan penjahat.” ucap Nora remeh. Perlahan menundukkan tubuh sejajar dengan pandangan laki-laki itu.
Sosok berambut pendek dengan gelombang tipis, senyuman manis namun mematikan. Nora tanpa rasa bersalah tersenyum, bahkan mencengkram salah satu kaki laki-laki di depannya.
“ARGH! KAKI-KU, LE-LEPASKAN!” Cengkraman yang begitu menyakitkan, mengunci pergerakan. Bahkan dia tidak bisa bergerak.
Nora masih tersenyum, perlahan bergerak lagi mendekat wajah laki-laki itu, “Jika kau tidak ingin mendapat hukuman dengan salah satu kaki ini patah atau kesakitan di dalam sel lebih baik sekarang kau diam.”
Senyumannya menghilang dalam sekejap, menghembuskan napas tepat di depan sosok itu, “Jangan mencari masalah denganku.”
Begitu mengerikan, tubuh sang laki-laki berubah kaku. Tidak bisa mengatakan apapun, dan diam. Tubuh itu bagaikan menciut, semua keberaniannya tadi menguap dalam hitungan detik.
“Ba-baik, aku akan diam,”
***
Suara sirene polisi berdengung di telinga Nora, wanita itu mendesah panjang, menekuk kedua tangan di depan d**a. Melihat kepergian mobil itu, membawa beberapa penyelundup obat terlarang menuju kantor polisi terdekat.
Tidak menyadari sebuah mobil bergerak mendekat dan tepat berhenti di sampingnya. Sosok di dalam mobil menurunkan kaca mobil dengan sengaja, menyembulkan wajah dari dalam sana.
“Butuh tumpangan untuk pulang, Nona cantik?” Suara yang sangat familiar, pandangan Nora teralih. Setengah tersenyum geli. Nora tahu sekali nada candaan ini.
Sosok laki-laki dengan rambut terpotong pendek, wajah tegas, dalam balutan pakaian kerja dan lambang emas terpasang di bagian leher, dan d**a kemejanya. Moran Khiel Dimitri
“Tidak usah, aku harus segera kembali ke kantor polisi untuk mengurus penjahat-penjahat tadi.” Menolak cepat tidak membuat sosok di dalam mobil itu menyerah.
“Naik mobilku akan lebih nyaman dibandingkan mobil itu. Ayo, akan kuantar ke kantor, jangan menolak.”
Berteman selama hampir lima tahun, Nora tidak bisa menolak. Wanita itu mendesah panjang, “Baiklah. Tapi jangan salahkan aku kalau mengganggu jam tidurmu yang berharga, Komandan Moran.” Tekan Nora lagi.
Masuk ke dalam mobil, sembari mendengar kekehan geli laki-laki itu.
Ya, mereka memang sudah berteman sangat lama, tidak ada yang special, hanya sebuah persahabatan biasa.
Setidaknya Nora menganggap itu sejak dulu.
***
“Apa orangtuamu tidak khawatir melihatmu pulang dini hari terus?” Sudah hampir berpuluh kali Nora mendengar pertanyaan itu keluar dari bibir Moran.
Memutar kedua bola mata sekilas, Nora mendesah panjang, menyender pada jok dan menatap keluar kaca mobil. “Sampai saat ini kurasa mereka tidak khawatir melihatku pulang pagi terus,” jawab Nora santai.
Moran menaikkan alis bingung, “Keluargamu benar-benar aneh.”
Nora mendengus geli, “Kau seperti tidak tahu mereka seperti apa. Lagipula dengan semua kemampuanku sekarang, tidak akan ada yang berani melukai atau mengancamku ‘kan?”
Perkataan Nora benar. Siapa yang mau menyia-nyiakan nyawa hanya untuk menggoda atau mengancam seorang Komandan khusus seperti Nora?
Mendesah panjang, “Tapi setidaknya, mereka bisa mengkhawatirkanmu sedikit saja-” Berniat mengatakan hal lebih lanjut.
Tapi pandangan Nora sudah lebih dulu menatap datar, “Kau mengenalku dengan baik, Komandan Moran. Jadi tolong berhenti menganggapku lemah.” Begitu tegas dan menekan.
Moran tahu apa artinya. Dia tidak bisa mengusik Nora lebih jauh. “Hh, baiklah. Maafkan aku.” Hanya ucap maaf yang bisa Ia katakan.
***
Tidak perlu waktu lama bagi mereka untuk sampai di kantor polisi terdekat. Tepat saat mobil terhenti, Nora bergegas melepas seatbelt, hendak keluar dari dalam sana dan menyelesaikan kasus malam ini.
“Terimakasih atas tumpangan-” Sebelum selesai dengan kata-katanya, Nora tidak merasakan dengan jelas bagaimana salah satu tangan Moran bergerak menggenggam pergelangan tangannya.
“Nora,”
Lagi-lagi, sikap yang membuat Nora bingung dan tak yakin untuk berada di dekat Moran lebih lama. Wanita itu mendesah panjang, “Komandan Moran, tolong lepaskan tanganmu.” ucap Nora tegas.
Genggaman itu semakin mengencang beberapa saat, tanpa mengucapkan satu patah kata lagi. Moran menyerah, “Maaf.” Melepaskan genggaman pelan.
“Terimakasih. Kau boleh beristirahat sekarang, Komandan. Pulanglah.” Manik Nora melirik sosok Moran, laki-laki itu menunduk, sebelum akhirnya menengadah dengan pandangan sayu.
Sosok tampan yang digilai semua wanita bahkan menjadi salah satu figure terkenal di media massa karena kehebatannya dalam menyelesaikan tugas dan kewajiban.
“Jaga dirimu baik-baik. Beberapa jam lalu aku mendengar kabar mengenai informasi keberadaan ayahmu.”
Manik Nora melebar sesaat, kedua tangan itu terkepal. Mencoba untuk tetap tenang, Nora tersenyum kecil.
“Terimakasih informasinya, Moran.” Satu kalimat tulus terucap diiringi senyum manis. Membuat Moran tertegun.
Tepat saat Nora menutup pintu mobil, meninggalkan laki-laki itu sendiri dalam hening. Menundukkan wajah, bahkan merutuk.
“Ck, susah sekali meluluhkan hatinya.” Menatap kepergian Nora, dengan kedua manik sayu dan semburat merah di pipi.
***
Informasi keberadaan ayahnya? Tepat setelah seminggu kepergian sosok laki-laki paruh baya itu tanpa informasi, membawa serta beberapa kotak uang yang sangat banyak.
Ironis sekali. Nora bekerja sebagai seorang Komandan pasukan Khusus yang menangani masalah Korupsi dan Narkotika.
Kali ini dia harus menerima kabar, bahwa sang ayah, sosok panutannya sejak kecil terlibat dengan aksi korupsi besar-besaran di perusahaan tempatnya bekerja. Menduduki posisi Chief Executive Officer Perusahaan Teknologi cabang Jakarta pusat.
Jika Nora disuruh memilih antara rasa Kemanusiaan, hubungan darah dengan sang ayah atau rasa Keadilan yang selalu Ia junjung sejak kecil. Apa yang harus dia pilih?
Tepat setelah aksi korupsi besar-besaran sang ayah mengambil satu korban jiwa yang tidak lain adalah istri direktur perusahaannya sendiri.
Hukuman berat tentu saja dijatuhkan tanpa pandang bulu. Nora mengambil keputusannya.
Tepat saat Ia harus berhadapan dengan sang ayah lagi. “Aku akan berhenti dari posisi ini tepat setelah Ayah masuk ke dalam penjara. Jadi tenang saja, aku tidak akan membiarkan Ayah menderita sendirian.”
Kalimatnya terucap tenang, dan lantang. Tanpa ketakutan. Semua keputusan ini dan tugasnya melunasi hutang sang ayah yang bernilai ratusan juta rupiah harus Ia tanggung.
Ini kisah tentang Noravayne Adela. Pemeran utama wanita dalam ceritaku kali ini. Bagaimana dengan pemeran utama laki-laki kita?