STORY 12 - Fear
***
Menangkap penjahat adalah keahlian Nora. Menjadi pemimpin yang berbakat, dan diakui oleh seluruh kepolisian Indonesia. Di mata orang-orang mungkin Nora sempurna mengemban tugas itu.
Tapi jika menyangkut masalah percintaan, wanita itu akan menempati posisi terakhir. Tergolong bodoh, polos dan hanya memikirkan pekerjaannya sampai saat ini.
‘Ah, Marry pasti akan mengamuk lagi.’ Desahan Nora terdengar menggema di dalam mobilnya. Mengingat jelas ekspresi Moran yang kecewa mendengar jawaban Nora tadi. ‘Hh, aku memang bodoh.’ batinnya sekali lagi.
Setelah berbincang sesaat dengan Moran, tentu saja disertai hening beberapa menit. Moran bisa mengembalikan semua ekspresi kecewa tadi menjadi senyuman. Rasa bersalah Nora semakin besar.
Dia hanya bisa mengucapkan maaf, kadang Nora berpikir ulang. Kedua manik keemasan itu menatap ke depan. Terfokus mengendarai mobil.
“Apa aku tidak akan pernah menikah? Kalau laki-laki tampan seperti Moran saja sampai kutolak?” tanya Nora pada dirinya sendiri.
Rasa cinta yang biasa Marry katakan pada Nora, anehnya sang Adela tidak pernah merasakannya. Bagaimana manis, pahit, sakit, senang, bisa Ia rasakan jika berhasil jatuh cinta pada seorang pria.
Sayangnya, Nora tidak merasakan hal itu jika berada di dekat Moran. Berdebar, ada sedikit. “Jantung yang berdetak bahkan hampir meledak, apa perumpamaan Marry terlalu berlebihan?” ucap Nora sekali lagi.
Sesak napas hingga tak bisa menghirup udara segar jika berada di dekat laki-laki yang Ia cintai. “Marry pasti berlebihan.” Nora tidak percaya.
Mana mungkin cinta bisa membuat orang hampir serasa ingin mati. Gila.
Nora mendengus geli, bergerak menghidupkan musik untuk menemaninya dalam perjalanan. Kedua manik teralih menatap jam tangan, saat melihat langit mulai malam.
Setelah pergi dari café itu, Nora memang sengaja mampir ke supermarket, membeli perlengkapan dan mencari beberapa formulir pekerjaan yang cocok untuknya.
Dia harus bergegas pulang, Nora merasa tidak enak meminta Drake untuk tinggal seharian di dalam rumah itu. Besok mungkin dia akan memperlihatkan berkas-berkas Marry kepada semua orang di desa.
“Hm, apa aku memberikan itu kalau mereka minta saja?” Berpikir lagi, pikiran gila Nora tentu saja masih berjalan baik.
Entah sejak kapan rencananya untuk tinggal tenang di tempat itu berputar balik menjadi rencana agar membuat Drake Anderman Clayton tidak bunuh diri.
***
Alis Nora tertekuk, saat mobil mulai memasuki kawasan desa Sukasari, maniknya menyipit. Melihat semua perumahan warga nampak gelap gulita, hanya lampu pendar temaram yang nampak.
‘Jangan bilang di sini semua mati lampu?’ batin wanita itu sedikit ragu. Pasalnya, seluruh lampu rumah, dan jalanan nampak mati.
Nora hampir melupakan fakta bahwa dia sedang berada di sebuah pedesaan sekarang bukan kota besar. Pemadaman lampu pasti sudah sering terjadi di sini.
Tiba-tiba Nora teringat Drake, gerak-gerik laki-laki itu semalam. Nora sudah bisa menelitinya, bagaimana Drake meminta Nora untuk tidak mematikan kamar tidurnya kemarin malam.
“Aish, dia pasti tidak tahu dimana aku menempatkan lilinnya.” Mempercepat laju mobil, Nora langsung menghidupkan lampu jarak jauh. Perasaannya sedikit tak enak.
Tidak mungkin ‘kan, laki-laki bertubuh tegap nan tinggi seperti Drake takut pada kegelapan? Buktinya kemarin mereka sempat bertemu dini hari.
Dalam keadaan mobil yang hidup dan lampu berpendar terang, “Ah, sial!”
Tepat saat mobilnya berada di area rumah, sebelum menurunkan barang belanjaan dari dalam sana. Nora sudah lebih dulu keluar, dan berlari menuju rumah.
Keadaan rumah benar-benar gelap, ada satu pendar berwarna putih, itu pasti senter handphone milik Drake. Berjalan cepat, mengetuk pintu rumah terlebih dahulu.
“Tuan Anderman, kau masih di ruang tamu? Aku sudah pulang,” ucap Nora, bergegas membuka pintu. Sebelum pintu kecoklatan itu berhasil Ia buka.
Nora tidak mengira bahwa kenop pintu sudah lebih dulu terdengar, terbuka dengan cepat, wanita itu melihat jelas sosok Drake berdiri di depannya. Membawa handphone yang mengeluarkan pendar putih.
Manik abu laki-laki itu melebar, melihat sosok Nora. Napasnya terengah, “Kenapa kau baru kembali sekarang?!” Nora tidak tahu kalau Drake akan membentaknya lebih dulu.
“A-apa?” Mengerjap bingung, otak Nora seolah terhubung kembali. “Kau meninggalkanku sendiri di tempat gelap seperti ini! Kenapa kau lama sekali perginya?!” teriak Drake lagi.
Tidak ada amarah tercetak di wajah laki-laki itu, melainkan rasa takut dan khawatir. Tubuh tegap yang nampak begitu besar, serta kuat mendadak bagaikan anak kecil? Apa itu hanya bayangan Nora saja?
Ia menggeleng cepat, mendesah panjang. “Maaf, aku pergi terlalu lama.” ucap Nora, tanpa membalas bentakan Drake. Di sini memang dia yang salah. Meninggalkan Drake dan mengancamnya.
Tubuh wanita itu berbalik hendak mengambil barang di dalam mobil lagi, setelah memastikan kondisi Drake aman.
Tapi tangannya sudah lebih dulu digenggam oleh sang Anderman. Melarang Nora untuk pergi lagi. “Kau mau kemana sekarang? Meninggalkanku lagi? Di tempat gelap seperti ini?” Drake yang kemarin nampak pintar menyindir dan mengejek Nora kini nampak ketakutan.
Mendesah tipis, “Kalau begitu sini ikut denganku,” Mengajak laki-laki itu mendekati mobilnya. “Bantu aku membawa barang-barang ini, tuan Anderman. Semua persediaan ini untuk beberapa minggu ke depan.” Jelas Nora singkat, melepas paksa cengkraman Drake.
Sang Anderman masih terdiam, enggan untuk bergerak. Sebelum Nora berinisiatif menarik kerah lengan Drake. “Halo, tuan Anderman yang terhormat. Aku yakin kau tidak akan kuat menahan bau pakaianmu itu selama beberapa hari ke depan, jadi cepat bawa barang ini sekarang.” Menyerahkan plastik berisikan baju pria yang berhasil Nora beli dengan harga miring.
“Setelah ini aku akan meminta ganti rugi semua uang plus uang jaminanmu,” Tidak lupa menyisipkan sedikit ancaman kecil.
Nora mengambil beberapa kantung berisikan makanan. Menutup mobil lagi. “Ayo, di sini dingin sekali.” ucap wanita itu, sedikit gemetar merasakan angin malam menerpa kulitnya.
Berjalan mendahului Drake, sang Anderman seolah terbangun dari pikirannya. “Tu-tunggu!”
***
Menaruh barang di atas meja. “Kau duduk saja.” Nora bergegas mencari tempat dimana dia menaruh sekotak berisikan lilin, dan satu lampu genset kecil.
“Sepertinya kau takut dengan kegelapan, Tuan Anderman. Maaf kalau aku meninggalkanmu cukup lama.” ucapnya santai, tanpa melihat seperti apa ekspresi Drake sekarang.
Wajah laki-laki itu setengah memerah, mendengar nada bicara Nora. “Aku hanya tidak nyaman berada di tempat gelap dan kecil seperti ini!” balasnya cepat.
Nora mengendikkan bahu, “Yah, terserahmu saja. Tapi yang pasti, lain kali kalau terjadi hal seperti ini lagi. Kau bisa mengambil lilin di sini. Ingat? Yah, sampai kau mau kembali ke rumahmu.” Menunjuk ke arah kotak miliknya.
Wanita itu bergegas menghidupkan semua lilin, dan genset kecil. “Mungkin hanya beberapa persen orang di dunia ini yang tidak takut dengan kegelapan. Jadi kau tidak perlu malu, apalagi kalau sedang sendirian.”
Kecuali bagi Nora tentu saja, dia sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Ruang sempit, tanpa cahaya, hanya berpegang pada satu cahaya handphone yang tipis. Berulang kali bekerja hingga dini hari membuatnya terbiasa dengan kegelapan.
“Ck, berisik.” Decakan Drake terdengar jelas. Laki-laki itu seolah mendapat ketenangannya lagi. Perlahan duduk, namun masih menghidupkan senter lampunya.
“Kau bisa mematikan handphonemu sebelum baterainya habis,” Berjalan sambil membawa dua buah lilin. Nora menempatkan satu lilin di atas meja, dan satu lagi di sudut ruangan dekat area kamar.
Duduk tepat di depan Drake, laki-laki itu enggan menatap Nora. Sang Adela bingung, “Kau masih marah denganku, Tuan Anderman?” tanya Nora polos.
Pertanyaan yang sangat jelas, “Tentu saja, penculik macam apa yang meninggalkan tawanannya sendirian di rumah? Sampai malam seperti ini?” Decak demi decakan terdengar.
Kenapa Nora harus merasa bersalah? Maniknya mengerjap sekilas. Memperhatikan raut wajah Drake lebih lekat. Laki-laki yang nampak dingin dan ketus.
Berbeda sekali dengan apa yang Marry jelaskan, sosok Drake Anderman Clayton begitu hangat bahkan dikenal sebagai laki-laki penuh wibawa di depan semua masyarakat. Tapi sekarang,
Nora mendesah panjang, “Kau benar-benar tuan Anderman yang katanya ramah itu ‘kan? Berbeda sekali,” Alisnya terangkat bingung, menanyakan dengan nada sarkas.
Drake terdiam sesaat, berbalik menatap Nora lagi tanpa senyuman. Ekspresinya yang datar kembali nampak. Tubuh tegap itu bergegas bangkit, sembari mengambil lilin di dekat meja mereka.
Tidak berniat menjawab pertanyaan Nora, Drake melangkah pergi. Berpikir bahwa Nora mungkin saja akan tetap diam, tapi dia salah.
Sebagai mantan komandan, melakukan interogasi pada criminal sudah biasa Nora lakukan. Apapun yang terjadi, Nora harus tahu semua akar permasalahannya.
“Aku belum mendengar jawabannya, Tuan Anderman.” ucap Nora sekali lagi. Menatap tubuh tegap yang menegang sekilas. Kedua manik abu Drake nampak dingin.
Laki-laki itu mendengus sinis, “Apa salahnya jika aku bersikap tidak ramah pada siapapun? Kau ingin mengaturku juga?” Tiba-tiba menekan telak Nora. Manik sang Adela mengerjap bingung.
‘Apa aku salah bicara?’ Seolah baru saja menginjak ranjau, sikap santai Drake berubah menjadi waspada, bisa Nora lihat dari gerak-geriknya. “Aku hanya bertanya, tuan Anderman. Tidak ada maksud untukku mengaturmu.” Perannya sebagai penculik di sini seolah tidak berguna.
Drake bahkan tanpa takut memberi dia batas, agar Nora tidak ikut campur dalam masalah pribadinya. Lagipula mereka baru bertemu kemarin malam. Jadi wajar Drake merasa waspada.
Oke, Nora menyerah. Tapi tetap saja, “Tidak seharusnya kau mengambil jalan bunuh diri, Tuan. Jika mungkin diantara seribu orang yang kau kenal, semua mungkin membencimu. Setidaknya pasti ada satu orang yang kini panik mencari keberadaanmu.” ujarnya tegas.
Menatap tubuh yang masih berdiri memunggungi Nora. Laki-laki itu hanya diam, memikirkan kembali ucapan sang Adela.
Satu diantara seribu orang yang mungkin mengkhawatirkannya. Nama Houven langsung terlintas, ‘Tidak cukup,’ Namun dengan cepat Drake tepis.
Perasaan tidak berguna yang membuatnya semakin lemah. Mengesampingkan ucapan Nora, pandangan Drake menatap wanita di belakang sana.
Nora masih duduk manis sembari menengadah, tanpa senyuman, hanya sebuah pandangan tertuju pada Drake.
“Dimana kau sembunyikan foto milikku?” Drake tidak menanyakan kunci mobil atau dompet dan hal-hal penting miliknya. Melainkan sebuah foto yang turut serta Nora bawa.
Sebenarnya, Nora hanya sempat membawa barang-barang penting Drake kemarin, membiarkan mobil laki-laki itu tetap di dekat jembatan.
Bisa Ia bayangkan seberapa ramai masyarakat desa mengerumuni mobil mewah sang Anderman tadi. ‘Hh, besok aku harus meluruskan semua pada mereka,’ desah Nora lelah.
“Akan kukembalikan besok, sekarang aku benar-benar lelah,” ujarnya pelan, bangkit dari sofa. Manik keemasan itu mengejap sekilas, alis Nora tertekuk begitu menangkap tubuh Drake sudah berdiri tepat di depan menghalanginya.
“Kembalikan sekarang juga.” tekan Drake sekali lagi.
Nora tidak takut, dia sudah terbiasa melawan tekanan seperti ini. Menghela napas panjang, “Apa jaminan jika kau tidak akan bunuh diri atau menyakiti dirimu lagi, Tuan? Akan sangat merepotkan jika aku kehilangan sumber danaku.” ujarnya sarkas.
Mendorong tubuh Drake dengan pundaknya, menjauh dari sisi laki-laki itu, “Tetap jaga sikapmu di sini, Tuan Anderman. Aku lelah,” Nora tidak akan lupa, status Drake di sini.
Walaupun sang Adela sendiri adalah seorang perempuan. Bukan berarti dia lemah dan mudah mendapat tekanan apapun. Keadilan yang Ia pegang terlalu kuat sampai kadang menyakiti dirinya sendiri.
Drake bungkam, memegang lilin di tangannya. Menahan amarah dan napas yang terengah cepat. Aura milik Nora memang tidak main-main. Nora bukan wanita biasa. Drake tahu itu.
Jika dia melawan dan mereka beradu di sini, tidak akan ada yang tahu siapa pemenangnya. Ditambah lagi dengan suasana ruang tidak mendukung, gelap dan sunyi. Drake membencinya.
‘Sial!!’
***
‘Apa sikapku terlalu kasar tadi? Kalau besok dia mau berubah pikiran, aku akan memberikan foto miliknya.’ batin Nora tidak berhenti memikirkan sikapnya pada Drake.
Laki-laki itu juga tidak bersalah, Nora hanya lelah. Menempuh perjalanan ke kota selama berjam-jam, tentu saja dia butuh waktu untuk istirahat.
“Apa itu foto ibunya?” tanya Nora lagi, menatap pendar lilin di depannya. Nora masih mengingat jelas, foto yang tercetak di sana, seorang wanita paruh baya yang tersenyum sembari memeluk pemuda kecil.
“Hh, aku kembalikan besok saja,” putusnya terakhir kali.
Menyender pada pintu kamarnya, sembari membawa satu buah lilin yang masih menyala terang. Tak lupa memeluk berkas pemberian Marry. Ia berjalan menuju lemari, menempatkan lilin di atas meja kecil miliknya.
Membiarkan penerangan remang menemani malam. Nora bergegas menaruh berkas Marry, “Aish, gelap sekali,” Dia belum sempat membersihkan diri dan sekarang badannya sudah benar-benar lengket.
“Dimana kutaruh celana dalam dan baju tidurnya,” gumam Nora sendiri, sibuk mencari pakaian. Dalam suasana ruangan yang tidak begitu terang. Insting alami Nora tetapnya tajam.
Telinganya tak sengaja mendengar suara gesekan kecil, tubuh wanita itu menegang hebat. Menghentikan kegiatan beberapa saat.
“A-apa itu,” Bergerak mundur, menajamkan penglihatan, Nora sengaja melihat ke sudut ruangan, tempat lemari kecilnya. Mencari celah yang ada,
‘Ja-jangan bilang kalau di sini ada ‘itu’ juga?!’ batin Nora mulai lari kemana-mana. Menarik napas panjang, menundukkan tubuh, Nora mengecek sekali lagi. Mendekatkan dirinya.
“Ah!” Pekikan kecil terdengar, Nora kaget begitu mendengar suara gesekan. Sebuah plastik berisikan baju miliknya yang belum sempat Ia simpan di lemari.
“Ti-tidak mungkin, aku sudah membersihkan seluruh ruangan hampir tiga kali kemarin!” Semakin panik, wajah Nora memucat.
Suara gesekan semakin terdengar, maniknya melihat sekilas bayangan kecil hitam berlari dan sembunyi diantara tas plastic milik Nora.
Napas wanita itu terengah, bulu kuduk mendadak naik dengan kompak. “Tidak mungkin!”
Satu hal yang perlu kalian tahu lagi tentang Nora. Rahasia besar dimana tidak ada siapapun termasuk Marry. Rahasia yang menjaga Nora tetap dalam batasnya sebagai seorang wanita.
Makhluk luar biasa menjijikan, super mengerikan, hitam, kecil, dan suka terbang ke sana kemari. Nora bahkan tidak bisa tidur tenang jika tahu kalau makhluk itu masih ada di sekitarnya.
Karena kalau dia mencoba tidur dan melupakan keberadaannya. Malam hari, pasti makhluk itu akan kembali datang dan menggerayangi tiap inci tubuh Nora.
“A-aaa,” Tidak bisa berkata apapun lagi, tepat saat kakinya berjalan mundur.
Maniknya langsung melihat sebuah mahkluk kecil kecoklatan terbang di depan mata Nora. Dalam ruang yang temaram.
Terbang entah kemana.
Seketika, bola mata Nora hampir memutih, bibirnya menganga, kewaspadaan wanita itu membuat sang Adela tidak bisa pingsan dengan tenang. Dalam satu tarikan napas panjang,
“AAA!!! KECOAK!!” Teriakan Nora terdengar kencang. Apa ini karma karena dia sudah menyembunyikan foto milik Drake dan menolak lamaran Moran?