STORY 11 - Uncertain
***
Sendirian di rumah asing, entah apa yang ada dalam pikiran Drake sampai dia harus menuruti perkataan wanita itu. Seolah benar-benar menjadi tawanan, hanya karena sebuah foto, baru kali ini Drake merasa dirinya begitu lemah.
Untuk pertama kali Ia menjalani hari tanpa tumpukan berkas dan rapat di setiap jam kerjanya. Menikmati waktu sendiri, tidak ada orangtua yang datang menanyakan pekerjaan, meminta banyak uang, membiarkan laki-laki paruh baya itu mengancam Drake berulang kali.
Aneh, Drake justru merasa lega diam di tempat kecil ini. Udara desa yang dingin dan sejuk menyelip dari celah jendela terbuka. Meski Ia tidak diperbolehkan untuk keluar dulu. Entah apa alasannya, karena wanita itu menyembunyikan semua barang di dalam mobil miliknya.
Sebenarnya dia tidak masalah untuk sekedar menunggu di dalam sini. Mereka bahkan baru pertama kali bertemu, Nora tak sengaja menemukan Drake tepat dini hari.
Drake yang memang sengaja memilih waktu dimana tidak ada siapapun bisa melihatnya pergi. Justru bertemu dengan wanita itu.
Atas dasar apa dia sampai harus menuruti perkataan Nora. Drake bisa saja pergi dari rumah ini, dan mencoba untuk lompat lagi. Tapi tentu saja dia masih punya sedikit kewarasan.
Rumah yang sengaja tidak dikunci, seluruh bahan makanan tersedia lengkap, tempat yang hangat terhindar dari dinginnya udara di luar sana. Tempat tidur yang memadai.
Apa Nora benar-benar gila? Mengijinkan Drake untuk tinggal, tanpa merasa aneh sama sekali. Hanya karena wanita itu melihatnya ingin bunuh diri. Jika apa yang biasa Drake kira,
Orang awam mungkin akan sekedar memperingatinya saja agar tidak melakukan hal-hal aneh. Setelah itu mereka akan pergi, berpura-pura tidak tahu dan meninggalkan Drake lagi.
Tapi Nora justru menarik tangannya menjauh dari jembatan, dan langsung mengajak laki-laki itu untuk tinggal di tempat ini, dengan alasan konyol.
Menjadi penculik yang baik hati. Mengingat semua tindakan Nora kemarin. Sukses membuat laki-laki itu tersenyum tipis.
‘Wanita aneh,’ Duduk menyender pada sofa ruang tamu. Menikmati semilir angin. Kalau memang Tuhan menginginkannya untuk tidak mati lebih awal.
Mungkin Drake bisa menikmati waktunya di sini. Bebas dari tekanan, dan pekerjaan berat. “Hh, Houven pasti akan panik mencariku,” desah Drake singkat.
Walaupun dia merasa bersalah karena meninggalkan sang assisten tanpa memberitahunya lebih dulu. “Aku ingin beristirahat di sini, Houven.” bisik sang Anderman sekali lagi. “Untuk kali ini saja,” lanjutnya pelan.
Perlahan menutup kedua maniknya, Drake menarik napas panjang. Suasana sunyi dan udara sejuk ini benar-benar membuat pikirannya tenang.
***
Di tempat lain
Rencana yang Nora buat matang-matang harus sedikit kacau karena melupakan satu hal penting. Keberadaan Moran yang biasa datang pagi untuk sarapan, di café ini.
“Kenapa kau tidak memberi kabar kalau akan kembali ke kota?” tanya laki-laki itu, setelah mengambil inisiatif sendiri untuk duduk di depan Nora, bahkan dia memesan makanan agar bisa diam lebih lama.
Nora tidak bisa menghindar lagi, Ia mendesah panjang. “Maaf, aku sedang terburu-buru, jadi tidak sempat memberitahumu, Komandan.” Bahkan Nora reflek memanggil pangkat Moran.
Sang Dimitri terkekeh kecil, “Kau masih saja memanggilku dengan sebutan itu,” balasnya santai. Tidak ada rasa tegang sama sekali, padahal baru kemarin Nora menolak lamaran Moran, bersikap seperti penjahat dan langsung kabur.
Wanita itu tentu saja merasa bersalah, berusaha untuk tetap tenang dan sesekali menatap Moran. Sosok tampan yang masih bersikap seperti biasa, tersenyum hangat.
Nora benar-benar wanita yang jahat. Semua perempuan di Indonesia pasti akan marah padanya, menolak lamaran dari laki-laki sempurna seperti Moran.
“Nora?” Suara panggilan Moran kembali membuat wanita itu tersentak kaget dari lamunan. Ia mengerjap kecil, “A-ah, iya. Aku sudah bertahun-tahun kerja denganmu, jadi sulit rasanya jika tidak memanggilmu dengan sebutan itu,” jelas Nora cepat.
Mengalihkan pandangan ke arah minumannya, Marry melihat jelas sikap Nora. Apa dia harus pergi dari sini dan memberikan waktu bagi mereka berdua untuk bicara?
Menurunkan tangan dan langsung menarik pakaian Nora dari bawah, memberikan sinyal tipis pada sahabatnya. Marry mengerjap sesekali.
Salah satu tangan lagi bergerak, memberi tanda bahwa dia harus pergi. Tapi Nora langsung menggeleng cepat. Menggenggam balik pergelangan Marry agar tidak pergi.
Bahkan rela mendelik kesal, Marry mengalihkan pandangan. Menatap Moran yang kini terfokus pada Nora. ‘Hah, dia benar-benar jatuh cinta dengan sahabatku.’ Menggeleng tanpa sadar, ‘Kasihan sekali kau komandan tampan.’ desahnya lagi.
Oke, Marry tidak akan pergi. Sebelum memastikan sesuatu, tak peduli dengan kode dari Nora. Marry yang biasanya bersikap sopan dan disiplin tiba-tiba berubah santai.
Mengeluarkan satu pertanyaan singkat. “Komandan Moran, kalau boleh aku tanya. Apa kau benar-benar melamar, Nora kemarin?” tanya wanita itu polos.
Manik Nora langsung melebar, dan shock. Moran pun kaget, Ia mengerjap beberapa kali. Menatap Marry yang seolah tak sabar menunggu jawabannya.
Moran sama sekali tidak marah, dia justru merasa lucu. Laki-laki itu tersenyum tipis, menatap balik Nora, “Ya, kau benar. Aku sudah melamar sahabatmu, Marry.” jawabnya ringan.
Nora salah tingkah, tidak tahu harus melakukan apa. Dia bungkam dan diam, gemas menatap Marry. Mencubit paha wanita itu kesal.
“Aw! Sakit, Nora!”
Sang Dimitri masih tersenyum, saat kopi hangat yang Ia pesan datang, bergerak menyesap minuman itu sesaat. “Tapi sayang sekali, kemarin dia masih menolakku. Lain kali aku akan melamarnya lagi nanti,” lanjut Moran.
Marry reflek bersiul, kagum dengan keteguhan Moran untuk mendapatkan hati Nora. Tiba-tiba dia teringat sesuatu, tanpa sadar hampir saja membongkar rahasia kecilnya dengan Nora.
“Kalau begitu kau harus cepat-cepat melakukannya, Komandan.” ucap Marry lagi. Kali ini perasaan tidak enak langsung menjalari Nora. Sahabatnya ini memang punya bibir yang tidak bisa direm!
“Hm, kenapa memangnya?” Moran penasaran tentu saja, Marry merasa yakin. Wanita itu bahkan mengangguk cepat.
“Mungkin saja selama kalian berjauhan, Nora sedang dekat dengan laki-laki-aw!!” Sebelum selesai dengan perkataannya, Nora lebih dulu menginjak kaki Marry sekuat tenaga.
Delikan terakhirnya sudah cukup membuat Marry kapok. Aura komandan Nora tidak pernah hilang, tetap menakutkan. Dia menyerah.
“Khahaha, maaf-maaf, aku hanya bercanda saja tadi.” Menggaruk kepalanya yang tak gatal. Marry berpura-pura melihat jam tangan, menepuk kening seolah lupa. “Ah, aku baru ingat ada urusan hari ini!” Beranjak dari kursi tiba-tiba.
Nora menengadah kesal, “Kau mau kemana?! Bukannya hari ini kau tidak ada kerjaan lain!” tukasnya cepat.
Marry tersenyum penuh arti, “Ada pemeriksaan file penting yang perlu kucek lagi, kalian sarapanlah berdua dulu. Nanti kalau kau ada pergi, hubungi aku saja ya!” Mengedipkan manik, tidak tahukah kalau perbuatan Marry itu sangat mengesalkan!
‘Ck, anak itu!!’
***
Lagi-lagi hanya mereka berdua saja sekarang. Nora sedikit lelah dengan keadaan ini. Rasa bersalah terus saja mendatanginya. Kenapa Moran masih bisa tersenyum dan menganggap bahwa kejadian kemarin tidak pernah terjadi?
Menarik napas panjang, Nora berusaha tenang. Perlahan menatap Moran, laki-laki itu masih tersenyum tipis, sembari menyesap kopinya.
“Bagaimana dengan pekerjaanmu? Apa ada kasus baru lagi?” tanya Nora memulai pembicaraan.
“Tidak ada kasus yang besar, hanya kejahatan kecil seperti biasa. Setelah kau pergi, Marry benar-benar kelabakan mengajari komandan barunya.” jelas Moran.
Kelabakan? “Kata Marry kau hampir tidak pernah datang lagi ke kantornya. Kenapa kau bisa tahu kalau dia kelabakan di sana,” Mendengus geli, Nora ingin sekali mencairkan suasana tegang diantara mereka. Mungkin sedikit gurauan akan berdampak bagus.
“Aku bisa melihat dari raut wajahnya yang kelelahan. Memangnya kau tahu alasanku jarang ke sana lagi?” Tidak menyangka kalau Moran akan membalikkan kalimat Nora.
Ia mengerjap sekilas, mencoba berpikir lagi. “Aku tidak tahu.” Oke, lebih baik Nora berpura-pura menjadi wanita bodoh.
Suara kekeh tawa Moran menggema tipis, beberapa menit hening diantara mereka. Nora sibuk dengan minuman dan pikirannya, sedangkan Moran.
Laki-laki itu masih menatap Nora sekilas, sebelum akhirnya mendesah panjang. Ia berusaha terlihat santai. “Jangan bersikap tegang seperti itu, Nora.” ucap Moran singkat. Ia bisa melihat jelas kegugupan di tingkah Nora.
Walau sang Adela berusaha menyembunyikannya dengan tingkah dingin, tetap saja. Mereka sudah bersama hampir lima tahun lebih.
Moran tahu semuanya, tidak ada gunanya menyembunyikan hal itu. Nora mengerti. “Kukira kau akan membenciku, Moran.” ucap Nora, kali ini tanpa adanya embel-embel pangkat. “Kalimatku benar-benar jahat kemarin. Kenapa kau bisa suka dengan wanita kasar, dingin dan kejam sepertiku,” Mendengus tipis.
Mengendikkan bahu tipis, “Aku juga tidak tahu.” Pandangan Moran menatap keluar kaca, sekilas Ia melihat seorang wanita cantik tengah duduk di dekat sana. Sosok itu menatapnya dengan kagum, seolah jatuh cinta.
“Padahal banyak sekali wanita-wanita cantik nan anggun yang mendekatiku setiap hari. Tapi hatiku malah tetap memilihmu,” Gombalan yang begitu santai.
Tentu saja semua ucapan Moran tidak akan semudah itu membuat Nora berdebar, sang Adela malah terkekeh kecil.
“Kau aneh, Moran. Aku juga aneh, bahkan Marry terang-terangan menyebutku gila. Kenapa aku bisa menolak lamaran komandan Moran Khiel Dimitri yang begitu tampan dan terkenal di mata semua wanita?” Menunjuk dirinya sendiri, Nora tersenyum kecil.
Ia mengangguk setuju, “Yap, kita berdua memang aneh.” Laki-laki itu perlahan bergerak, menumpu salah satu tangannya di atas meja, menatap Nora lekat. Seolah tidak tertarik dengan wanita cantik yang melihatnya tadi. Fokusnya hanya tertuju pada Nora.
“Apa menurutmu, kalau aku tetap bertahan dan berusaha mendapatkan hati Noravayne Adela. Kau mau menikah dan menjadi milikku seutuhnya?” tanya Moran dengan jelas.
Nora yang tengah menyesap kopi susunya langsung tersedak, batuk-batuk menepuk d**a. Kaget dengan ucapan Moran. “Ha? Kenapa kau keras kepala sekali?” Mengangkat alis bingung, Nora benar-benar tak habis pikir.
Moran masih tersenyum, “Berikan aku perhitungan, Nora.” ucapnya lagi.
“Perhitungan?” Nora bingung.
Mengangguk tipis, “Berapa persen kira-kira aku bisa mendapatkan hatimu? Satu sampai seratus. Tiga puluh? Empat puluh? Satu persen? Atau,” Mengangkat tangan dan menunjuk ke arah Nora.
“0 persen.”
Nora membisu, tubuhnya reflek menegang. Tidak ada canda lagi dalam pembicaraan mereka. Sikap Moran yang serius membuat wanita itu bingung. Walau berulang kali Ia mendengar pernyataan cinta dari Moran.
Baru kali ini, dia melihat kesungguhan kuat di kedua manik laki-laki itu. Nora tidak berani menjawab. Dia takut memberi harapan.
Sangat takut.
“A-aku tidak tahu,” Mungkin hanya jawaban itu yang bisa Ia berikan. Moran terlalu baik untuknya, begitu sempurna, kebaikan laki-laki itu bahkan melebihi semua keluarga yang Nora punya. Apa lagi kekurangannya?
Nora bingung, sangat bingung. Saat kedua manik itu menatap Moran, tidak ada lagi senyuman lebar atau canda. Sebuah garis tipis tercetak jelas, namun dengan arti berbeda.
Sebuah rasa yang Ia kenal. Kecewa mungkin.
***
Pukul 19.00 pm
Hari mulai larut, Drake yang sedari tadi hanya melakukan kegiatan kecil. Bersantai, tidur, dan menonton televisi mulai sedikit bingung.
“Kenapa wanita itu lama sekali?” gumamnya tipis. Tubuh yang tadinya bisa bersantai, sekarang tidak henti-hentinya berputar di ruang tamu. Berjalan terus tidak peduli dengan berita di televisi.
Lampu sudah Ia hidupkan, suasana hening, hanya suara televisi saja yang memenuhi ruangan. Kenapa Nora tidak kembali juga? Apa yang dia lakukan di kota sampai selama itu?
Drake bingung. Pertama kalinya Ia tinggal di rumah asing seperti ini sendiri. Tidak ada yang dia kenal. Bahkan rumah ini tergolong sedikit jauh dari pemukiman warga.
Laki-laki itu tidak takut, hanya saja dia cemas. Ada sedikit hal yang membuatnya jengah. Di rumah sekecil ini, apa saja bisa terjadi.
Drake cemas jika dia tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Lampu-lampu di luar sana sudah mulai hidup.
Kaki yang sejak tadi tidak henti-hentinya diam, tiba-tiba menegang. Drake tidak menyangka apa yang Ia takutkan terjadi.
Saat maniknya menatap ke arah lampu, perasaan tidak enak itu langsung datang. Dalam beberapa detik, lampu mati total. Terkejut, maniknya melebar.
Drake reflek berlari menuju pintu keluar, mengecek apa hanya rumah ini saja yang mati lampu. Membuka pintu tersebut, menghirup udara segar malam.
Perkiraannya salah. Seluruh rumah di sekitarnya juga ikut mati. Bagaimana ini? Dia tidak tahu dimana Nora menaruh lilin untuk menerangi ruangan. Beruntung sejak tadi Drake terus memegang handphone yang sengaja Ia bawa ke desa ini sejak kemarin. Handphone baru tanpa nomor telepon siapapun dan hanya Ia gunakan di saat-saat seperti ini saja.
Menghidupkan senter dengan cepat, pendar berwarna putih itu setidaknya bisa menerangi area sekitar Drake. ‘Tidak cukup, aku harus mencari cahaya lain,’ Pandangannya menelisik.
Tak ada warga yang lalu lalang, semua terlihat sudah menghidupkan lilin mereka. Jujur saja Drake bingung. Ketakutannya mulai datang, saat cahaya mulai hilang. Kegelapan yang membuat rasa shock, trauma perlahan datang.
Tubuhnya reflek gemetar, “Ugh,” Meringis tipis, Drake tidak sadar dirinya limbung. Menyender pada dinding terdekat. Ia hampir saja jatuh,
Napas laki-laki itu tercekat, kehilangan cara untuk bernapas dengan benar, ‘Tidak ada siapapun di sini, wanita itu belum kembali,’ batinnya panik.
Siapapun di dunia ini tidak ada yang tahu kelemahan Drake, kecuali ayah dan ibunya. Kelemahan terbesarnya.
Kegelapan-
“Dimana wanita itu-hh, kenapa dia belum kembali,” bisiknya bingung, apa Drake harus berlari? Tapi kemana? Tidak ada yang mengenalinya di sini! Semua jalanan nampak sepi dan gelap!! Sampai kapan lampu itu harus mati!!
Pikirannya kacau, jantungnya berdegup kencang. Drake panik, dia takut. Sendirian di tempat seperti ini. “Houven! Houven!” Bahkan reflek memanggil nama sang asisten.
Percuma. Laki-laki paruh baya itu tidak akan datang. Siapa yang Drake tunggu? Kenapa dia harus sendiri di sini?! Dimana wanita itu!
“Nora,” Satu nama yang Ia ingat kini tanpa sadar keluar dari bibirnya.