Lamaran

1622 Kata
Alvina Pov Tok tok tok "Masuk." Jawabku. "Dok, pasien Atonia Uteri rujukan BPS." Kata Suster Mimi, aku mengangguk dan segera berlari menuju ruang tindakan. "Berapa tensinya?" Tanyaku langsung saat sudah sampai di ruang tindakan. "90/60 mmHg dok." "Sudah KBI?" "Sudah saat masih di BPS." "Infus satu lagi, masuk Oxy 20 unit dan misoprostol 600 per rectal, cek lab dan segera siapkan transfusi." Perintahku segera. Aku langsung memakai handscoon, mengecek kandung kemih, memeriksa robekan jalan lahir dan sisa selaput plasenta barangkali masih ada yang tertinggal, lalu kembali melakukan KBI (Kompresi bimanual internal), kepalan tangan kananku di dalam uterus dan telapak tangan kiri melakukan masase fundus uteri, tindakan masase untuk merangsang uterus agar kontraksi kembali, aku melakukannya selama lima menit. "Ibu buka matanya jangan tidur, ibu bisa dengar saya." Kataku saat melihat mata pasien mulai menutup akan tertidur. "Iya dok." Jawab pasien. "G berapa sus?" "G1P1A0 dok, histerektomi kah dok?" Aku menggeleng, "Ini sudah mulai kontraksi." Setelah 15 menit akhirnya aku bisa bernafas lega, uterus sudah kontraksi dan perdarahan juga sudah mulai berkurang. Menangani pasien perdarahan itu benar - benar sport jantung karena hitungannya detik, jika tak cepat pasien bisa lewat. "Lakukan pemantauan ya sus, TTV, jumlah perdarahan semua harus jelas dan jangan lupa masase lagi" "Baik dok." Aku melepas handscoon dan cuci tangan, lalu melangkahkan kaki menuju ruang kerjaku kembali. Hari ini begitu sangat melelahkan, sejak pagi ada lima pasien SC dan juga tiga curetase yang aku dan tim tangani. Rasanya ingin segera membaringkan tubuhku di ranjang dan memejamkan mata. Selesai rolling aku segera melangkahkan kaki menuju parkiran mobil, aku sudah lelah ingin cepat sampai rumah. 20 menit perjalanan akhirnya aku sampai rumah, aku melihat banyak mobil di depan gerbang, ada mobil dinas Polri dan TNI juga, apa teman - teman bang Alvand dan bang Vino sedang kumpul?. Aku turun dari mobil dan segera masuk ke dalam rumah, "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Jawab serentak yang berada di dalam rumah, aku memperhatikan mereka semua. Ini bukan teman bang Alvand atau bang Vino karena pada pakai batik, kenapa ada Om Firza juga? Bang Alvand dan bang Vino juga tumbenan di rumah pakai batik pula seperti Ayah. "Akhirnya yang di tunggu datang juga." Kata Om Firza, aku tersenyum menyapa para tamu, aku ko ngerasa ada yang enggak beres ya. "Jadi ini yang namanya Alvina, cantik banget bu dokter." Kata ibu yang duduk di samping bapak berseragam TNI, aku hanya tersenyum saja. "Zia temani Vina ke kamar, pakaiannya sudah Mommy siapkan." Kata Mommy pada mbak Zia dan langsung dilaksanakan, mbak Zia menarik tanganku menuju kamar. "Ada apa sih mbak? Ko banyak tamu?" Tanyaku saat sudah di dalam kamar. "Kamu enggak tahu?" Aku menggeleng. "Ya sudah nanti juga tahu, pakai itu kebayanya." "Kok pakai kebaya? Memangnya ada apa?" "Nanti juga tahu, buruan jangan sampai Mommy datang." Aku pun langsung menuruti mbak Zia karena kalau Mommy masuk kamarku bisa diceramahi panjang lebar. Selesai memakai kebaya dan di poles makeup tipis sama mbak Zia aku keluar kamar dengan di gandeng mbak Zia. "Duduk di sini sayang." Kata Ayah sambil menepuk sofa agar aku duduk di tengah antara Ayah dan Mommy, aku pun menuruti perintah Ayah. "Vina ini Om Hadi dan tante Hesti, tante Hesti ini teman Mommy dulu saat SMP." Benarkan ada yang enggak beres, Mommy mengenalkan temannya. "Kedatangan Om Hadi beserta keluarga besarnya ke sini melamar kamu untuk anak bungsunya." Lanjut Mommy, tuh kan benar dugaan aku pasti perjodohan lagi ini mah. Aku menatap pasutri itu dan di sampingnya ada pria mungkin seumuran bang Alvand atau lebih tua lagi dia tersenyum padaku. Apa dia yang akan di jodohkan denganku? Tampan sih, sepertinya dia Polisi atau Tentara jika di lihat dari potongan rambut juga bentuk tubuhnya sayangnya aku enggak tertarik sama sekali. "Bagaimana Vin?" Teguran Mommy menyadarkanku. "Mom Vi__" "Assalamualaikum." Aku menoleh ke arah pintu begitu juga dengan yang lainnya saat mendengar salam dari seseorang. "Waalaikumsalam." Jawab semua serempak, aku terkejut saat melihat orang yang mengucapkan salam. Mau apa dia datang ke sini? Waktunya enggak tepat lagi, kalau dia tahu ada yang mau melamarku bisa marah dia. "Ma__" "Mmm maaf Vina ada perlu dulu dengan mas Nendra." Aku langsung memotong pembicaraannya, berdiri mendekatinya dan langsung menarik tangannya keluar. Entah dapat keberanian dari mana aku berani berbuat nekat seperti ini. "Kenapa?" Tanya Danton saat sudah berada di teras rumah, ya benar sekali yang mengucapkan salam tadi Danton alias Ganendra, aku heran kenapa dia datang saat aku ada yang melamar, instingnya benar - benar tajam. Aku menggenggam tangannya, "Please, bantu aku." "Bantu apa?" "Saat nanti aku ajak masuk, aku mohon kita pura - pura pacaran ya." "Ko pura - pura, kita kan memang pacaran." Protesnya tak terima, ya ampun aku sampai lupa kalau aku dan Danton menyebalkan ini sudah resmi pacaran meskipun enggak ada acara nembak romantis karena pacaran dengan cara memaksa. "Oh iya ya kita kan sudah pacaran." Jawabku sambil nyengir. "Ada apa memangnya?" "Tapi kamu janji jangan marah ya." "Iya, buruan katakan." "Yang di dalam itu sedang melamarku, tapi tenang saja aku akan menolaknya, makanya bantu aku ya." "Kenapa di tolak?" "Aku enggak suka sama calonnya, dia kayanya seumuran bang Alvand atau mungkin lebih tua, tampan sih tapi tetap saja aku enggak suka." "Memangnya sudah ketemu calonnya?" Aku mengangguk, "Ada di dalam." "Kalau aku bantu imbalannya apa?" Aku mengernyitkan dahiku, ini orang kenapa? Biasanya akan marah kalau tahu ada yang mendekatiku, harusnya dia senang aku akan menolak lamaran orang di dalam ini kenapa malah minta imbalan. "Aku traktir makan di restoran bintang lima." Jawabku tapi dia menggeleng. "Aku mau kamu jawab iya saat aku bicara di dalam, enggak boleh jawab selain iya." "Ko gitu?" "Iyalah, kita kan mau bilang kalau kita pacaran jadi kalau misal di dalam aku bilang mau nikahin kamu ya tinggal jawab iya saja, kalau jawab enggak berarti kamu bakal di nikahkan sama yang melamar kamu sekarang ini." Bener juga, acting ini harus sempurna jangan sampai ada yang curiga. Aku mengangguk, "Oke." Jawabku dan dia tersenyum lalu menggenggam tanganku dan membawaku masuk ke dalam rumah. Semua tatapan melihat ke arah kami berdua membuat jantungku berdetak kencang, aku berdehem untuk menetralkan jantungku. "Ayah, Mommy dan Om Hadi beserta keluarga besar sebelumnya Vina mau minta maaf kalau Vina enggak bisa terima lamaran ini karena Vina sudah punya kekasih dan ini kekasih Vina, mas Ganendra." Kataku sambil memperkenalkan Danton. Semua orang menatapku dengan berbagai ekpresi wajah yang membuatku bingung, karena seperti menahan tawa, dan ternyata benar saja. "Hahahaa." Aku terkejut melihat orang - orang tertawa, bahkan Ayah juga tertawa dan yang paling menyebalkan bang Vino sampai keras begitu ketawanya. Aku melirik pria di sampingku dan dia juga terlihat sekali sedang berusaha menahan tawa membuatku makin bingung, ini kenapa sih. "Kamu beneran tolak lamaran tante dan kamu pacaran sama dia?" Tanya tante Hesti. Aku mengangguk, "Iya maaf ya tante." Jawabku. "Ya sudah Za kita enggak usah lamaran tapi langsung saja cari tanggal nikah, Nendra besok segera urus berkas pengajuan." "Apa?" Aku terkejut mendengar penuturan tante Hesti, maksudnya apa tadi? Ko kenal mas Nendra juga? Mereka siapa sih?. "Sini sayang biar Ayah jelaskan." Tangan Ayah melambai memintaku untuk kembali duduk di sampingnya aku pun melepas genggaman tangan mas Nendra dan mendekati Ayah untuk duduk di sampingnya. "Jadi Om Hadi dan tante Hesti ini orang tua Ganendra, pria yang sudah menjadi pacar kamu itu." "Apa?" Kataku lagi terkejut, aku langsung menatap ke depan dan benar saja Danton menyebalkan itu sedang menahan tawanya duduk di tengah Om Hadi dan tante Hesti. Tawa orang - orang kembali terdengar membuatku malu setengah hidup. "Kamu enggak sadar ya kalau kain kebaya kamu kembar sama kemeja Ganendra?" Kata Mommy membuatku menatap kain kebaya yang aku pakai dan kemeja yang pria menyebalkan itu pakai, hasilnya 100% kembar. "Ko bisa sama?" "Bisalah, kebaya kamu ini pemberian Nendra, dia yang sudah membelikannya khusus untuk lamaran hari ini." Jawab Mommy lagi membuatku makin kesal. Kurang asem ini orang, tadi di luar kenapa enggak bilang kalau yang melamar aku orang tuanya dan kenapa juga aku sampai enggak perhatikan kalau pakaian aku dan dia couple. Matamu dimana Vina. Rasanya ingin nyelam di buthtub saja, tolong bu Susi Ganendra saja yang di tenggelamkan jangan aku. Bang Alvand, bang Vino dan mbak Zia juga kenapa enggak bilang kalau aku akan di lamar pria menyebalkan itu. Saat ini mereka dengan kurang asemnya asik menahan tawa, awas saja aku bakal ngambek sama kalian. Setelah drama memalukan tadi yang mau tak mau aku harus mau menerima lamaran Danton menyebalkan bernama Ganendra ini, sekarang aku dan dia sedang duduk di tepi kolam renang. Selesai acara pemakaian cincin dan foto - foto bersama keluarga, kami berdua memilih memisahkan diri sedangkan para keluarga sedang makan bersama. "Sayangnya mas Nendra kenapa diam terus sih dari tadi." Dia mencolek daguku dan aku menoleh menatapnya yang sangat terlihat sekali kalau dia sedang berusaha menahan tawa. Aku berdecak kesal, "Ketawa saja sepuasnya enggak usah di tahan." "Siapa yang ketawa sih sayang." "Enggak usah panggil sayang, ingat ya aku marah sama kamu." "Mas, jangan biasakan kamu - kamu kaya sama teman saja." Protesnya. "Suka - suka aku dong." "No, mulai sekarang enggak boleh suka - suka, mulai sekarang harus belajar memanggil calon suami dengan benar." "Pemaksa." "Buat dapatin dokter cantik apapun akan mas lakukan, termasuk memaksa." Katanya membuatku makin kesal. "Kenapa sih tadi enggak bilang kalau yang datang melamar Vina keluarga kamu." "Mas sayang, biasakan." "Iya mas, kenapa enggak bilang." Kataku ketus dan dia malah terseyum. "Sengaja, mas mau kasih kejutan." "Bukan kejutan tapi bikin malu iya." "Maaf deh kalau sayangnya mas Nendra malu, maaf ya." Katanya sambil mencolek daguku lagi. "Tak semudah itu Ferguso, enak saja minta maaf." "Terus mas harus apa?" "Terima hukuman dari Vina." "Hukuman? Apa?" "Enggak sekarang tapi nanti akan Vina kasih tahu." "Jangan aneh - aneh hukumannya." "Tenang saja Danton." Kataku sambil tersenyum. Aku punya ide cemerlang untuk memberinya hukuman, tunggu tanggal mainnya Danton.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN