Manis seperti cuka

1561 Kata
Alvina POV Belum 24 jam menginjakkan kaki di tanah Borneo aku sudah dibuat kesal sama pria yang empat tahun lalu bertemu denganku di Resepsi pernikahan bang Alvand. Aku masih ingat betapa menyebalkannya dia saat meminta berkenalan denganku, sudah aku tolak tapi tetap saja dia mengekoriku. Untung saja saat itu Om Firza memanggilnya dan itu kesempatanku untuk kabur darinya. Aku terkejut saat dia memperkenalkan diri, nama belakangnya Mahya itu sama seperti nama belakang istri Om Firza. Siapa yang tak kenal klan Mahya terutama di dunia Militer. Ayah pernah bercerita kalau Om Firza dulu menolak lamaran dari keluarga Mahya karena merasa insecure, saat itu Om Firza masih Lettu sedangkan tante sudah Kapten di tambah keluarga besar Mahya yang pangkatnya mentereng membuat Om Firza mundur, tapi tante dengan gigihnya meyakinkan Om Firza hingga sekarang ini mereka hidup bahagia, aku jadi penasaran ingin bertanya sama Om Firza, apa Danton menyebalkan ini masih satu keluarga dengan tante atau hanya kebetulan saja nama belakangnya sama. Saat ini aku menggantikan tugas Mommy memberikan pelayanan kesehatan gratis ke daerah – daerah yang jauh dari jangkauan Faskes, sudah menjadi kegiatan rutin rumah sakit sejak Ayah menggantikan Opa, Ayah membuat program Kesehatan Masyarakat daerah tertinggal, perbatasan dan daerah yang terkena bencana, setiap 3 bulan sekali kami berpindah tempat dan rolling Nakes. Di setiap pulaunya ada dua tim dan kali ini aku kebagian di pulau Kalimantan, awalnya Ayah memintaku untuk di pulau Jawa tapi aku menolaknya dengan alasan ingin menambah pengalaman, bukan alasan sih tapi memang iya biar makin banyak pengalamanku saat bekerja dengan minim peralatan dan ini yang pertama buatku terjun dilapangan. Tapi sekarang aku menyesali keputusanku yang menolak permintaan Ayah, karena di sini aku bertemu dengan pria menyebalkan itu yang ternyata Danton dan sialnya lagi dia dipercaya sebagai penanggung jawab selama Tim aku di sini. Andai waktu bisa di putar ingin rasanya aku terima tawaran Ayah, di sini belum 24jam saja sudah dibuat kesal apa lagi tiga bulan. Pagi – pagi aku sudah bangun karena suara berisik dari depan rumah, para rekan medis terutama yang wanita pada berteriak heboh membuatku jadi penasaran. Aku berjalan menuju pagar rumah di mana para rekanku ada di sana. “Ada apa sih sus.” Tanyaku pada suster Zahra. “Itu dok.” Jawab suster Zahra sambil menunjuk dan aku pun melihat ke arah tunjuk suster Zahra, barisan prajurit yang sedang berolahraga lari pagi sambil bernyanyi hanya mengenakan celana pendek dan tanpa baju memperlihatkan tubuh mereka yang memang menggiurkan. Kebetulan rumah yang kami tempati tepat di depan pos mempermudah kami melihat body para Om loreng yang berolahraga. “Ya ampun kirain apaan.” Kataku. “Cuci mata dok, lumayan kan.” Jawab dr. Dwi, benar juga ya di sini kan nggak bisa cuci mata ke Mall jadi lumayanlah. Sebenarnya ini bukan aku banget tapi mau gimana lagi aku juga wanita normal, sayang jika dilewatkan. Suara para prajurit terdengar makin mendekat dan para rekanku bertepuk tangan dengan hebohnya membuatku tertawa melihat tingkah mereka ini seperti dedek gemas yang kegirangan. Suara yel – yel prajurit makin terdengar mendekat yang ternyata menyanyikan yel- yel kekasihku di ambil orang yang sering aku dengar saat ikut bang Al memimpin anggotanya latihan. Asik... Emang asik Abang latihan pacarku diambil orang. Asik.. asik.. asik.. emang asik Baru kenalan, abang tinggal 7 bulan. Hei ko... Emang asik, abang latihan, siang malam tak terasa Asik.. asik.. emang asik Sedih dikata, sudah dijalani saja Aku tertawa mendengarkannya, mereka tampak bersemangat dan melambaikan tangan ke arah kami para wanita yang dengan tak tau malunya malah tepuk tangan, tawaku terhenti saat orang yang tak ingin aku lihat berhenti tepat di depanku memakai celana pendek hitam dan kaos hijau press body yang sudah basah karena keringat membuat perutnya yang kotak – kotak terlihat jelas. “Selamat pagi dokter Vina.” Sapanya dengan senyum menyebalkannya. “Pagi.” Jawabku. “Aduh dokter manis sekali seperti cuka.” Katanya membuatku melotot, yang benar saja aku di bilang manis tapi seperti cuka. Rekanku sudah pada cekikikan mendengarnya. “Cuka asem kali, mana ada cuka manis.” Jawabku ketus. “Ada kok.” Jawabnya sambil berjalan maju mendekatiku. “Cuka apa yang manis?” tanyaku penasaran, sambil melipat kedua tanganku di depan d**a. “Cuka ama kamu.” Jawabnya sambil menaik turunkan kedua alisnya membuatku kesal, sorak sorai dari rekan medis dan juga para prajurit yang sedang istirahat terdengar ramai saling bersahutan membuatku makin kesal. “Pepet terus Danton.” “Gombalannya bikin meleleh bang.” “Singa kita berubah jadi kucing karena bu dokter.” “Cieee dokter Vina.” Masih banyak lagi godaan dari para prajurit dan juga rekan – rekanku, aku menatap Danton menyebalkan yang saat ini tengah tersenyum, masih pagi sudah membuatku hipertensi. “Danton nyebeliiin.” Kataku kesal dan balik badan akan masuk ke rumah namun. “dokter Vina.” Teriaknya lagi memanggil, aku berhenti dan balik badan. “Apa lagi?” Dia tersenyum, “Bu dokter mau nggak jadi yang kedua?” “Maksudnya?” Jawabku, maksudnya apaan coba minta aku jadi yang kedua, yang pertama saja jelas aku tak mau apa lagi yang kedua. “Jadi yang kedua di kartu keluarga kita, saya nomor satu dokter nomor dua, nomor tiga dan seterusnya untuk anak – anak kita.” Jawabnya tersenyum dan mengedipkan mata kananya. “NGGAK!!!” jawabku yang langsung berlari memasuki rumah, masih aku dengar tawa dan tepuk tangan para prajurit juga rekan - rekanku. Hari kedua Danton menyebalkan itu sudah sukses membuat aku malu di depan para prajurit dan juga rekanku. Selesai mandi aku menuju ruang tamu di mana para rekanku sedang berkumpul, ada yang sarapan dan ada juga yang sedang menyiapkan perlengkapan dan obat – obatan yang akan dibawa keliling karena memang hari ini kami sudah mulai bekerja, ada yang di klinik dan juga ada yang mendatangi setiap rumah dengan jalan kaki. “Eh ada dokter Vina, selamat pagi dokter.” Sapa dr. Alex saat aku sudah duduk di sampingnya, aku meliriknya yang saat ini sedang tersenyum, bukan cuman dr. Alex tapi semua yang ada di ruangan ini juga sama senyum tapi senyum yang membuatku kesal, aku tahu mereka sedang menggodaku. “Selamat pagi semua.” Kami menatap ke arah pintu di mana sudah berdiri lima pria berbaju loreng yang salah satunya amat sangat tak ingin aku temui. “Pagi Danton, cari dokter Vina ya?” kata dr. Alex membuatku melotot, aku pukul bahunya karena kesal, yang di tanya malah senyam senyum sok imut banget membuatku ingin melempar sepatu. “Cieee Danton salting ni yeee.” Kata dr. Dwi. “Ekhem, maaf kalau pagi – pagi sudah mengganggu, kedatangan saya ke sini karena hari ini sesuai jadwal rekan – rekan ada yang jaga Klinik dan juga ada yang langsung ke rumah warga, empat anggota saya akan menemani dan untuk dokter Vina nanti bersama saya menemui para tetua.” “Ciee ciee.” Kompak mereka semua menggodaku lagi dan lagi. “Kenapa saya?” jawabku ketus. “Karena dokter ketua Tim.” “Oke mulai saat ini ketua Tim ganti dokter Alex.” “Nggak mau ya dok, kan tugas dari bigbos dokter yang jadi ketua Tim.” Prores dr. Alex. “Kalian ini sama saja kaya Danton, sama – sama ngeselin ya.” Jawabku kesal, mereka sekarang sudah seperti Danton di depanku sungguh nggak asik, biasanya mereka nurut saja sama perintahku. “Oke kalau begitu, dokter Alex saya sebagai ketua Tim menugaskan anda ikut bersama Danton pergi ketemu para tetua mewakili saya.” “Maaf nggak bisa diwakilkan.” Aku menatap Danton, apa – apaan kenapa nggak bisa di wakilkan. “Kenapa?” “Ya nggak bisa saja.” Jawabnya santai sambil menyilangkan kedua tangannya di depan d**a dan tatapannya masih mengarah padaku. “Alasannya?” “Karena memang yang harus menemui tetua ya ketua Tim langsung, tenang saja saya sudah jinak nggak akan apa – apain dokter.” “Jinak apaan, menyeramkan begitu.” kataku mencibir. “Seram dari mana sih dok, ganteng begini.” Jawabnya dengan percaya diri sambil menarik kerah seragamnya. “Terlalu percaya diri sekali anda Danton.” “Harus dong, cuman sama dokter Vina doang ko.” Jawabnya sambil tersenyum memamerkan lesung pipinya. “Suster Zahra temani saya.”Aku mengalihkan pembicaraan, tak lagi menanggapi omongan Danton sengklek itu, bisa makin gila kalau terus ditanggapi. “Nggak bisa.” Katanya lagi membuatku kesal. “Kenapa lagi?” “Karena kita pakai motor, hanya bisa berdua.” “Memangnya nggak bisa ajak salah satu anggota anda buat bonceng suster Zahra?” “Semua sibuk.” “Alasan saja.” “Sudahlah dok, itu Danton ingin berdua saja sama dokter, kenapa sih memangnya lagian Danton tampan loh nggak malu-maluin diajak jalan.” Kata dr. Rita. Aku melongo mendengar ucapan dr. Rita yang jelas berpihak pada Danton menyebalkan ini, apa tadi dia bilang? Tampan? Hemmm iya sih kalau diperhatikan dia memang lumayan dengan tinggi sekitar 175cm atau 180cm, badan tegap, d**a lebar senderable banget lah, kulit yang kecokelatan tapi bersih, bibir bawahnya lebih tebal dari bibir atasnya menandakan dia orang yang selalu penasaran dengan apapun, dua lesung pipi yang selalu menghias saat dia tersenyum cukup manis, mata yang tajam saat menatap, rahang yang tegas semakin membuatnya terlihat garang pas sekali sebagai seorang prajurit dan alisnya yang tebal menambah nilai plus untuknya tapi sayang sifatnya sangat ngeselin, dengan nggak tahu malunya dia berani menggodaku di depan banyak orang. “Ya sudah, saya ambil tas dulu.” Kataku sambil berjalan menuju kamar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN