"Kita naik motor ini?" Aku menoleh saat dokter cantik bertanya dengan ekspresi yang sangat menggemaskan, jelas sekali dia tak menyukai motor yang saat ini aku naiki.
Aku mengangguk, "Betul sekali bu dokter, kenapa?"
"Nggak ada motor lain?"
Aku menggeleng, "Ini motor trail sesuai dengan medan di sini bu dokter, kalau pakai matic nggak bisa." Jawabku.
"Saya nggak mau naik motor ini."
"Kenapa?"
"Joknya kecil, Danton duduk saja sudah pas begitu kalau saya bonceng enak di Danton rugi di saya dong." Aku cengo mendengar jawaban dari dokter cantik ini, maksudnya apa kenapa enak di aku dan rugi di dia.
"Maksudnya?" Tanyaku.
"Kalau saya bonceng otomatis kita deketan atau saling nempel, saya nggak mau ya tubuh suci saya nempel Danton." Jawabnya dengan ketus.
Oalah ternyata karena itu toh aku kira apaan, aku tersenyum semanis mungkin padanya meskipun dia memasang wajah garang seperti singa betina yang siap menerkam mangsanya.
"Memangnya kenapa, saya ikhlas ko kalau mau peluk juga." Jawabku santai dan detik berikutnya tas kecil yang berada di pundaknya sukses mendarat di bahuku. Ya dokter cantik ini memukulku, aku tak masalah anggap saja ini pukulan cinta.
"Situ ikhlas, saya rugi."
"Rugi kenapa?"
"Rugilah, kasihan suami saya nanti." Jawabnya membuatku makin semangat menggodanya.
"Ya enggak lah, suaminya kan nanti saya jadi anggap saja sekarang latihan dulu, gimana?" Kataku sambil mengedipkan mata kananku menggodanya dan lihatlah wajahnya terlihat merona, kenapa dengan singa betinaku? Dia sudah kemakan godaanku kah? Aku harap begitu.
"Mimpi!, siapa juga yang mau sama Danton."
"Bu dokterlah, itu pipi sampai merah begitu kenapa? Blushing ya? Cieee bu dokter." Godaku lagi mencolek bahunya dan dia langsungg melotot.
"Apaan sih colak colek, kita bukan muhrim jangan sentuh saya ya." Jawabnya galak tapi aku justru menyukainya.
"Kalau begitu bagaimana jika saya halalin bu dokter saja, biar bisa colak colek." Jawabku sambil menaik turunkan kedua alisku.
"Issshh Danton ini benar - benar bosan hidup apa ya, kalau ke dua abang saya tahu saya pastikan Danton bisa di buat mereka seperti ayam geprek."
"s***s amat cabang saya ya."
"Cabang?"
Aku mengangguk, "Iya cabang alias calon abang." Jawabku tersenyum dan lagi dokter cantik ini memukulku.
"Aduh, kenapa saya di pukul lagi?"
"Nyebelin tau nggak, ini jadi pergi apa enggak sih kalau enggak saya mau ke klinik bantu yang lainnya."
"Jadilah, ayo naik jangan nawar lagi karena adanya cuman motor ini."
"Ada kardus nggak?"
"Kardus? Buat apa?"
"Buat pembatas kita biar nggak saling nempel, kalau nggak ada kardus pakai papan tripleks atau lainnya juga nggak apa yang penting bisa jadi pembatas." Jawabnya membuatku kesal, enak saja pakai pembatas. Ini perjalanan yang aku nantikan agar bisa berduaan dengannya menaiki motor pasti romantis sekali apalagi kalau dia mau memelukku, aduuhh bahagia sekali pastinya.
"Nggak ada!" Jawabku ketus, "Buruan naik nanti keburu siang." Lanjutku menarik tangannya.
"Don't touch me, Danton." Katanya sambil melotot dan aku justru tertawa, gemas sekali dengan tingkahnya ini.
"Mau naik sendiri apa saya bantu naik."
"Iisshhh menyebalkan sekali Danton ini, janji ya jangan macam - macam." Katanya memperingatkanku dengan mengacungkan jari telunjuknya.
"Iya janji, lagian saya mau satu macam saja ko, jadi suami dokter." Jawabku tersenyum.
"Tuh kan kumat."
Aku ketawa mendengarnya, "Udah ah, ayo buruan seneng banget sih ngobrol sama saya."
"Idih, terlalu percaya diri sekali anda, ya sudah hadap ke depan saya mau naik."
"Siap bu dokter."
Akhirnya setelah debat panjang dokter cantikku perlahan menaiki motor trail yang sudah aku naiki ini, meski mulutnya nggak berhenti mengoceh.
"Ya Allah Danton." Serunya membuatku menoleh ke belakang.
"Kenapa lagi bu dokter?" Tanyaku.
"Ini motor jalan saya bisa kejengkang tau nggak, seuprit banget duduknya." Aku tersenyum mendengar perkataannya.
"Makanya pegangan biar nggak jengkang."
"Iiihhh ogah."
"Kalau nggak pegangan, resiko di tanggung sendiri."
"Ko gitu, awas saja kalau saya sampai jatuh, Danton harus tanggung jawab."
"Tenang saja saya pasti tanggung jawab, memang sudah terlat berapa bulan?"
"Maksudnya?"
"Bu dokter sudah nggak haid berapa bulan? Katanya saya suruh tanggung jawab." Jawabku, tak aku sangka jarinya yang lentik mencubit lenganku, cubitan kecil tapi rasanya panas dan sakit sekali.
"Bu dokter cubitannya lebih panas dari semut api ya." Kataku sambil mengusap lengan.
"Makanya kalau bicara di saring dulu, sembarangan memangnya saya cewek apaan, gini - gini masih tersegel ya." Jawabnya ketus, namun aku justru tertawa, aku sangat menyukai jika dia sudah misuh - misuh, bibirnya yang tipis dan sexy bergerak terus nggak ada hentinya, jadi pengen cium deh, ups sabar Nendra semua ada tahapannya.
"Rencana mau buka segel kapan?" Tanyaku sengaja menggodanya lagi.
"Mau jalan sekarang atau saya turun." Jawabnya yang tak lagi mau menjawab pertanyaanku.
"Iya kita jalan sekarang, nggak sabar amat sih pengen naik motor berduaan sama saya." Godaku lagi.
"Dantooonn." Teriaknya tepat di telingaku, kami menjadi pusat perhatian karena teriakan dari dokter cantik ini.
"Iya, nggak usah teriak begitu kali, pegangan." Kataku sambil menarik kedua tangannya ke pinggangku dan dia diam saja.
"Cieee cieee uhuuuyy lah."
"dokter Vina peluknya kurang mesra."
"Danton bikin baper saja."
Aku tersenyum mendengar anggotaku dan juga rekan medis menggoda kami, biarkan sajalah karena aku bahagia bisa sedekat ini dengannya.
Aku melambaikan tangan pada mereka semua, dokter cantikku hanya diam saja, aku tau dia sedang menahan malunya karena ulahku.
Kami melakukan perjalanan kurang lebih 1jam, sebenarnya bisa jalan kaki dan malah menghemat waktu paling juga 20 - 30 menit bisa sampai tapi aku sengaja memakai motor, memutar jalan agar bisa lebih lama dengan dokter cantikku. Modus terselubung, jahat banget ya aku ini tapi mau gimana lagi semua adil dalam cinta dan perang.
Aku harus melakukannya demi bisa berduaan dengannya, demi mengukir kenangan indah selagi dia di sini, demi menumbuhkan benih cinta di dirinya untukku, orang jawa bilang witing tresno jalaran soko kulino yang artinya
Cinta akan tumbuh karena terbiasa, makanya selama dia berada di sini aku akan selalu membiasakan dekat dengannya agar benih cinta tumbuh dalam dirinya untukku.
Setelah berkenalan dan menikmati beberapa hidangan yang disuguhkan para tetua, aku mengajak dokter cantikku melihat keindahan tanah Borneo menaiki perahu yang membelah Sungai Kapuas.
"Wow indah sekali Danton." Katanya dengan wajah yang tersenyum bahagia, aku suka melihatnya.
"Bu dokter lihat bukit itu?" Kataku sambil menunjuk ke arah bukit dan dia pun melihat ke arah tunjukku.
"Itu namanya bukit Kelam, bukit itu dari bongkahan batu besar, ada yang bilang itu meteor yang jatuh ke bumi dan ada juga cerita yang melegenda mengatakan bahwa batu raksasa itu jatuh saat seorang pemuda Dayak mengangkatnya untuk menutup sungai Kapuas, di bukit itu juga tumbuh salah satu flora yang hanya ada di Bukit Kelam dan tidak ada di belahan bumi lainnya, tanaman endemik nephentes clipeata atau kantung semar." Dia menatapku sejak aku menceritakan bukit Kelam membuat jantungku jedag jedug tak karuan.
"Bu dokter kenapa liat saya begitu?" Tanyaku dan dia malah tersenyum.
"Nggak nyangka, Danton nyebelin ternyata punya pengetahuan luas." Jawabnya membuatku tersenyum mendengar pujiannya itu.
"Kalau ada waktu luang saya ajak kesana untuk lihat sunset and sunrise terindah di tanah Borneo ini."
"Benarkah?"
"Ya, saya yakin bu dokter akan menyukainya dan pastinya akan rindu kembali lagi kesini." Kataku dan dia hanya mengangguk saja.
Rambutnya yang tergerai indah bergoyang terkena tiupan angin membuatnya makin cantik, mimpi apa aku bisa berduaan naik motor dan sekarang naik perahu menyusuri sungai Kapuas dengannya.
Puas menyusuri sungai Kapuas dan menikmati keindahannya aku mengajak dokter cantik pulang karena hari sudah sore dan mulai terlihat mendung.
Perjalanan pulang sangat berbeda dengan tadi saat berangkat, dokter cantikku lebih banyak bicara dan hal yang tak aku duga dia menumpukan dagunya di pundakku dan memeluk perutku erat, entah karena takut jatuh atau karena memang nyaman sebab banyak para betina bilang kalau aku ini senderable.
Aku merasa seperti sepasang kekasih yang sedang asik pacaran, aku sungguh menikmati perjalanan pulang ini rasanya ingin lebih lama lagi, namun sayang karena sekarang kami sudah sampai di depan rumah yang ditinggali dokter cantik juga rekan - rekannya.
Motor yang aku kendarai berhenti namun dokter cantik yang berada di belakangku belum juga turun, saat aku meliriknya ternyata mata indahnya tertutup rapat, ya dia tertidur pantas saja tadi aku tak lagi mendengar celotehannya padahal kurang dari 10 menit kami sampai.
"Loh, dokter Vina kenapa ?" Tanya dr. Dwi rekannya.
Aku hanya bicara seperti berbisik memberitahu jika dokter cantik tertidur.
"Kebiasan banget deh, kalau tadi jatuh gimana coba, biar saya bangunkan Danton." Kata dr. Dwi lagi tapi aku segera melarangnya.
"Saya gendong saja." Kataku pelan yang di angguki dr. Dwi.
Perlahan aku melepaskan pelukannya dan aku turun dari motor, aku angkat tubuhnya ala bridal style memasuki rumah menuju kamarnya yang di ikuti dr. Dwi, didalam rumah cukup ramai dan mereka terlihat terkejut melihatku menggendong dokter cantik, aku cuek saja tak ambil pusing, sampai di kamar aku rebahkan tubuhnya perlahan dan menyelimutinya.
Aku menatap wajah gadis yang jika matanya terbuka galaknya melebihi Singa betina ini, sungguh dia sangat cantik, dia mampu membuat jantungku berdetak lebih kencang saat di dekatnya. Meskipun galak aku justru makin gila mengejarnya.
Aku usap rambutnya, "Sweet dream cantik." Aku tersenyum dan melangkah keluar kamarnya, kalau lama - lama di dalam bisa - bisa bu dokter aku bikin hamil karena pesonanya membuat tubuhku memanas.
"Terima kasih Danton, maaf sudah merepotkan, dokter Vina memang kebiasan begitu kalau naik motor atau mobil ketiduran." Kata dr. Dwi saat aku sudah keluar kamar.
"It's okay, saya nggak merasa di repoti kok." Jawabku tersenyum, iyalah nggak merasa di repoti karena aku justu bahagia dan bersyukur sekali bisa menghabiskan waktu berdua dengannya hari ini.
"Kalau begitu saya permisi dulu, mari semuanya." Pamitku dan segera melangkahkan kaki keluar.
Sungguh hari yang membahagiakan, semoga ini awal yang baik untuk menumbuhkan benih cinta dalam diri dokter cantik untukku.