Hari yang paling aku tunggu pun tiba, selama 3 minggu aku dan dokter cantik mengurus semua berkas Administrasi dan melalui berbagai macam tes yang membuat dokter cantik menangis ingin menyerah karena tak sanggup, akhirnya bisa kami lewati bersama.
Susah payah aku mencari cara agar dia mau menikah tapi hampir saja gagal karena setumpuk berkas dan serangkaian tes yang harus kami jalani. Aku hampir saja menerima tawaran papa untuk mengeluarkan surat saktinya karena tak tega dengan dokter cantik.
Aku bangga pada dokter cantik saat Bintal ( Bimbingan mental ), dokter cantik lancar menjawab semua pertanyaan tentang aku, seakan sudah saling mengenal sangat lama, dia juga dengan suaranya yang merdu dan lancar membaca ayat suci Alquran.
Namun aku juga kesal dengannya saat pemeriksaan kesehatan, dokter yang memeriksa dia ternyata kating saat kuliah dulu, dari tatapan matanya aku tahu kalau dokter itu ada rasa pada dokter cantik, aku kesal karena dia menerima ajakan makan siang yang tak bisa aku ikuti karena masih harus kembali ke kantor.
Selama satu minggu kami menjalani pingitan alias tak boleh bertemu, sungguh aku sangat tersiksa karena tak bisa melihat wajahnya, jangankan melihat wajahnya bahkan aku juga tak bisa mendengar suaranya karena dokter cantik mematikan ponselnya membuatku uring - uringan, latihan pun aku selalu mendapat teguran karena tak fokus, dia marah karena aku yang sudah cemburu.
Hari ke 5 aku mendatangi rumah dokter cantik dengan berbagai alasan agar bisa bertemu dengannya tapi gagal karena ada Mommy di rumah, bang Alvand malah menertawakanku yang gagal bertemu dokter cantik dan mendapat jeweran dari Mommy.
Aku nekat datang menemuinya karena bang Alvand mengirim foto dokter cantik yang sedang berduaan bersama seorang pria, entah dengan siapa, mereka sedang tertawa bersama membuatku kembali cemburu, menikah tinggal 2 hari lagi tapi dia malah asik tertawa dengan pria lain sedangkan aku di sini tersiksa menahan rindu.
Semua suka duka dalam pengajuan sudah kami lalui bersama, pengalaman yang tak akan pernah aku lupakan seumur hidupku. Perjuanganku untuk mendapatkan dokter cantik tak sia - sia karena hari ini aku akan mengucap janji suci dengannya.
Aku duduk di depan cermin, memandang wajahku yang ternyata sangat tampan mengenakan blankon, beskap putih berhias kalung melati. Sesuai permintaan dokter cantik dan juga mamah, pernikahan kami memakai adat Jawa.
"Sudah siap?" Aku menatap Sadewa sahabatku dari cermin dan mengangguk.
"Gila, gugup banget rasanya." Jawabku jujur dan keempat sahabatku justru tertawa.
Ya, hari ini keempat sahabatku sejak SMA menyempatkan hadir di hari bahagiaku di tengah kesibukan mereka, Sadewa yang menjadi anggota Kopassus, Raka yang bertugas di Polda Bali, Manggala yang sekarang sudah menjadi prajurit Denjaka dan Affandra yang bertugas menjadi anggota Paspampres.
"Santai brother, tarik nafas." Kata Andra menepuk bahuku, aku menarik nafas dalam rasanya benar - benar gugup apa lagi saat pintu kamar hotel yang aku tempati terbuka dan masuklah bang Vino yang memberitahu kalau akad akan segera dilaksanakan, aku di minta segera menuju lokasi akad, jantungku rasanya ingin loncat keluar.
Aku berjalan di apit bang Vino dan Dewa, sedangkan Angga, Andra dan Raka berjalan di belakangku.
Setiap langkahku yang semakin mendekati tempat akad membuat detak jantungku makin menggila, saat aku melihat Ayah Dhika rasanya aku ingin lari kembali masuk ke kamar ganti. Ayah Dhika yang biasanya selalu tersenyum ramah, saat ini malah terlihat sangat galak melebihi para pelatihku dulu saat pendidikan.
Aku duduk di kursi tepat di depan Ayah Dhika yang saat ini sedang menatapku, membuatku salah tingkah, tanganku bahkan sudah berkeringat, baru kali ini aku merasakan gugup yang amat sangat gugup.
"Baik kita mulai saja akadnya ya pak Dhika, mas Ganendra." Kata penghulu, aku dan Ayah hanya mengangguk saja.
Aku menjabat tangan Ayah Dhika, "Mas Hadi, ini anakmu mau nikah kenapa tangannya basah dan gemetaran, duh Nendra kamu prajurit loh, sayang juga sunat kamu kalau jabat tangan Ayah saja gemetaran." Kata Ayah Dhika sambil terkekeh membuatku malu karena yang hadir saat ini juga ikut menertawakanku.
Aku hanya tersenyum saja, "Gugup yah." Kataku jujur dan kembali terdengar suara tawa orang - orang.
"Tarik nafas, kalau masih gugup Ayah nggak akan nikahkan kamu dengan putri Ayah." Kata Ayah Dhika membuatku langsung menatap beliau, jangan sampai gagal nikah karena gugup. Aku menarik nafas dalam - dalam dan memejamkan mataku, menenangkan degupan jantungku yang menggila.
Aku membuka mata saat sudah merasa lebih tenang, Ayah Dhika tersenyum dan menyodorkan kembali tangan beliau yang langsung aku sambut. Aku genggam tangan Ayah Dhika.
"Bismillahirahmanirrahim, Ananda Ganendra Bhadrika Mahya bin Hadi Bhadrika Mahya saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan putri kandung saya yang bernama Alvina Putri Abhimanyu binti Pradhika Abhimanyu dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan satu set perhiasan emas di bayar tunai."
"Saya terima nikah dan kawinnya Alvina Putri Abhimanyu binti Pradhika Abhimanyu dengan mas kawin tersebut di bayar tunai." Jawabku mantap dalam satu tarikan nafas.
"Bagaimana saksi? Sah?"
"Sah."
"Sah."
"Saaahh."
"Alhamdulilah, Baarakallahu laka wa baarakaa alaika wa jamaa bainakumaa fii khoir.” Penghulu melantunkan do'a - do'anya untuk pengantin baru, dan semua yang hadir mengaamiinkannya.
Tak lama dokter cantik yang saat ini sudah sah menjadi istriku datang di apit mbak Zia dan satu wanita berambut pendek, sedangkan empat orang yang aku kenal sebagai anak Appa Reno dan Appa Dimas berjalan dibelakangnya, aku seperti pernah melihat wanita berambut pendek itu, tapi entah dimana, dia tak asing untukku.
Aku berdiri menyambut kedatangan istriku, aku sangat terkejut melihatnya yang saat ini mengenakan kebaya putih dengan riasan adat jawa, dia sangat cantik.
Degupan di jantungku semakin menggila saat netra kami saling bertemu dan mengunci, aku sungguh amat sangat merindukannya. Gadis cerewet yang kalau jalan sudah seperti orang lari saat ini begitu anggun, berjalan perlahan dan tersenyum sangat manis padaku.
Aku mengulurkan tanganku yang di sambut juga olehnya, aku memakaikan cincin pernikahan di jari manisnya begitu juga sebaliknya.
Vina istriku mencium punggung tanganku untuk pertama kalinya sebagai tanda bakti seorang istri pada suami, aku pun menyentuh puncak kepalanya dengan tangan kanan dan menengadahkan tangan kiri lalu membacakan do'a untuk kebaikan pernikahan kami, aku mencium kening istriku.
Selesai menandatangani surat - surat, aku dan istriku meminta restu pada orangtua kami.
"Ayah, terimakasih sudah menikahkan Nendra dengan putri Ayah yang sangat Nendra cinta, Mommy terimakasih sudah melahirkan putri yang sangat cantik, maafkan Nendra dan Vina jika banyak menyusahkan Ayah dan Mommy, do'akan Nendra dan Vina bisa menjalani rumah tangga yang bahagia." Kataku yang saat ini berlutut di depan Ayah Dhika, sedangkan istriku berada di sampingku.
"Ganendra, Alvina, Ayah dan Mommy akan selalu mendoakan kalian, semoga rumah tangga kalian selalu sakinah, mawadah, warrahmah. Ganendra, Ayah percayakan putri kesayangan Ayah padamu nak, sayangi dia, cintai dia, bimbing dia dengan baik dan benar, jangan pernah jatuhkan tanganmu padanya karena Ayah tak akan ridho walau dia sudah menjadi istrimu, jika kamu merasa tak sanggup membimbing Vina maka kembalikan dia baik - baik pada Ayah, Ayah akan menerimanya dengan tangan terbuka, bahagia selalu untuk kalian berdua." Kata Ayah Dhika, kedua tangannya menyentuh puncak kepala aku dan istriku, membacakan do'a - do'a yang sukses membuat air matanya berjatuhan.
Aku dan istriku bersama - sama memeluk Ayah Dhika, tangis kami berduapun ikut tumpah dalam pelukan Ayah. Kami beralih memeluk Mommy setelah Ayah melepaskan pelukan kami, di pelukan Mommy kami juga menumpahkan air mata kami.
Kami beralih pada papah dan mamah, "Papah, Mamah terima kasih karena sudah membuat Nendra jadi anak yang paling bahagia, Nendra bersyukur bisa menjadi anak papah dan mamah, maafkan Nendra dan Vina karena banyak merepotkan papah mamah terutama saat menjelang pernikahan kami, doakan kami agar bisa menjalani rumah tangga yang bahagia."
"Ganendra putraku, papah dan mamah akan selalu mendoakan kamu dan Vina, berbahagialah selalu kalian berdua, papah hanya berpesan jika saat ini kamu sudah mengambil semua tanggung jawab seorang putri dari Ayahnya, bimbinglah istrimu dengan baik seperti Ayahnya yang sudah membimbingnya dengan baik, sayangi istrimu seperti Ayahnya yang sangat menyayanginya, jangan pernah kau jatuhkan tanganmu pada istrimu karena pria sejati tak akan pernah menyakiti wanitanya, saat ini kalian berdua sudah seperti pakaian yang saling melengkapi dan menutupi, jaga harga diri dan kehormatan istrimu, begitu juga Vina jaga harga diri dan kehormatan suamimu, jika suatu saat kalian menghadapi masalah jangan sampai keluar dari kamar kalian, segera selesaikan, berbahagialah kalian berdua dan segera beri kami cucu."
Aku dan istriku memeluk papah yang sama seperti ayah, air matanya berjatuhan saat mendoakan kami. Begitu juga dengan mamah, ibu kowad yang biasanya tegas dan galak saat ini menangis memeluk aku dan istriku.
Selesai berfoto bersama keluarga dan juga sahabat, istriku langsung di bawa mbak Zia ke kamar karena harus persiapan acara selanjutnya, pedang pora dan resepsi.
Aku sendiri masih berkumpul dengan ke empat sahabatku karena tadi mbak Zia melarangku ikut, padahal aku sudah sangat rindu ingin memeluk istriku tapi ya sudahlah harus nurut sama kaka ipar, toh mulai nanti malam aku akan selalu bersama istriku.
"Ndra, bridesmait istri lu itu sahabat apa keluarga?" Tanya Angga.
"Yang mana?" Tanyaku, karena yang jadi bridesmait Vina ada 6 orang, aku mengenal semuanya kecuali wanita berambut pendek yang berada tepat di samping kiri Vina.
"Samping kiri istri lu, yang rambut pendek." Aku menatap Angga, tumben sekali anak ini tanya soal wanita, biasanya selalu acuh. Tunggu, sepertinya aku ingat sesuatu.
"Dia mahasiswi kedokteran yang pernah lu taksir kan Ngga? Tapi lu mundur saat tahu dia anak salah satu Pati 'kan? Aku ingat sekarang, pantas saja wajahnya tak asing."
"Gue tanya apa jawabnya apa." Kata Angga kesal dan aku tertawa.
"Gue juga baru lihat dia, bentar gue tanya ponakan tampan gue." Aku langsung memanggil Zivand yang sedang bermain, Zivand mendekatiku dan langsung aku dudukan di pangkuanku.
"Zivand, om mau tanya boleh?" Kataku, Zivand mengangguk.
"Zivand kenal apa tidak sama tante yang tadi jalan sama aunty Vina dan Bunda? Tante yang ada di samping kiri aunty." Tanyaku dan Zivand tampak berfikir mengingat kembali.
Zivand mengangguk, "Aunty Nolla om." Jawabnya, aku mengangguk, "Aunty Nolla itu siapa?" Tanyakku lagi.
"Anak Opa Leno." Jawabnya, Opa Reno? Berarti Amma Abel dong, "Opa Renonya Oma Abell?" Tanyaku lagi memastikan dan Zivand mengangguk.
"Oke terima kasih tampan, sekarang Zivand boleh main lagi ya." Kataku menurunkan Zivand dan dia langsung berlari mendekati teman - temannya lagi.
"Dia anak Appa Reno dan Amma Abella, Appa Reno itu sahabat Ayah Dhika, jadi kemungkinan besar Nolla bersahabat sama Vina, gue juga baru kali ini lihat dia." Jawabku.
"Masih mau lu perjuangin Ngga?" Tanya Raka, Angga hanya mengangkat bahunya.
Kami tahu jika Angga sangat mencintai Nolla tapi dia mundur teratur karena merasa tak pantas, padahal Appa Reno dan Amma Abell bukam type orangtua seperti itu.
"Ndra, suruh ganti baju sama Mommy." Teriakan bang Alvand mengurungkan niatku kembali bicara pada Angga, aku mengangguk dan berpamitan pada ke empat sahabatku.
Sampai di ruang ganti aku segera mengganti pakaianku menggunakan seragam PDU lengkap dengan baret hijau lambang cakra, aku segera berjalan menyusul ke kamar ganti istriku sesuai pesan Mommy tadi.
Jantungku kembali berdetak kencang saat melihat istriku yang saat ini menggunakan kebaya berwarna hijau pupus masih dengan riasan adat jawa. Istriku terlihat lebih cantik, aku berjalan mendekatinya yang sedang duduk di ranjang bersama mbak Zia dan lima bridesmait.
"Tuh, om Nendra sudah nggak sabar." Kata mbak Zia membuatku tersenyum malu.
Ya ampun Nendra, kenapa denganmu hari ini? Banyak senyum malu - malu, efek bahagia karena nanti malam akan?
Sssttt, nggak usah bayangin ya kawan hehe