Kalau ada typo bisa comment
Harap maklum masih amatir ??
Jika suka jangan lupa Votenya Qq?
Happy reading ??
???
Ganendra Pov
Tepat sepuluh hari, aku pergi menjalankan misi khusus bersama prajurit pilihan dari Polri yang tergabung dalam satu team. Rasanya sudah sangat rindu pada istri cerewetku, selama penugasan aku sama sekali tidak menyentuh ponsel, aku tak bisa menghubunginya.
Berhari - hari kami melakukan kamuflase di sarang buruan, sepuluh hari yang selalu mendebarkan di setiap detiknya, semua bisa kami lewati dengan pulang membawa keberhasilan.
Saat ini aku beserta team sudah berada di dalam pesawat untuk kembali ke kesatuan masing - masing. Rasanya sudah tak sabar bertemu singa betinaku, menceritakan sepuluh hariku selama penugasan padanya.
Sampai di kesatuan, setelah melaporkan keberhasilan kami pada bang Andi, aku segera melangkahkan kakiku untuk pulang ke rumah dinas.
"Nendra!" Langkahku terhenti saat bang Andi memanggilku.
"Ya."
"Mau pulang?" Tanya bang Andi, aku mengangguk, "Vina tak ada di rumah." Lanjut bang Andi.
Aku melihat jamku, baru jam sepuluh lebih pasti masih di rumah sakit, "Nendra langsung ke rumah sakit saja kalau begitu, buat ambil kunci." Jawabku.
"Vina juga tidak ada di rumah sakit." Kata bang Andi lagi.
"Apa sedang liburan?" Tanyaku, bang Andi menggelengkan kepalanya.
"Ikut abang."
"Kemana?"
"Rumah ayah Dhika." Bang Andi berjalan mendahului menuju mobil, aku mengekorinya.
"Apa sedang ada acara bang?" Tanyaku saat sudah di dalam mobil yang di kemudi bang Andi langsung, tumben sekali bang Andi mengemudi sendiri tanpa mengajak ajudannya atau memintaku untuk mengemudi.
Bang Andi menggeleng, "Nanti kamu tahu saat di sana."
Hanya itu jawaban bang Andi, membuatku penasaran, apa istriku sedang menyiapkan kejutan menyambut kepulanganku?
Mobil bang Andi memasuki halaman rumah ayah Dhika, di sana tampak ramai, ada mobil yang sangat aku kenal juga, mobil papah. Sepertinya memang benar, istriku sedang membuat kejutan menyambut kepulanganku setelah penugasan, manis sekali singa betinaku, aku sudah tak sabar ingin sekali memeluk dan menciumnya.
Aku dan bang Andi turun dari mobil, memasuki rumah, "Assalamuallaikum." Kami mengucapkan salam bersamaan.
"Waalaikumsalam." Jawab mereka semua yang berada di ruang tamu.
Kenapa ada anggota bang Vino? Apa telah terjadi sesuatu? Atau mereka hanya berkunjung saja? Sesaat aku memperhatikan mereka yang sedang sibuk bersama bang Vino, mungkin sedang ada kerjaan penting.
Aku menyalami semua orang, seluruh keluarga hadir kecuali satu orang, dia yang sangat aku rindukan, Vina istriku. Dimana dia? Kenapa tak menyambutku?
Aku celingukan mencari keberadaan istriku, "Vina mana mom?" Tanyaku pada mommy.
"Duduk dulu Ndra, ada yang mau kami bicarakan." Kata papah, aku pun duduk di samping bang Alvand.
Aku menatap mereka semua satu persatu, firasatku mulai tak enak, apa terjadi sesuatu dengan istriku? Kenapa wajah mereka seperti menahan kesedihan, terutama para wanita yang hadir di sini, mata mommy bahkan sembab seperti habis menangis.
"Apa terjadi sesuatu dengan Vina?" Aku sudah tak bisa menahan rasa penasaranku, karena hingga detik ini dia belum juga kelihatan.
Aku menatap ayah Dhika dan papah bergantian, "Katakan sesuatu yah, pah."
"Dengar Nendra." Papah menatapku, "Maafkan kami semua yang tak bisa menjaga Vina saat kamu bertugas."
"Maksudnya? Jangan buat Nendra makin bingung pah, katakan, apa terjadi sesuatu dengan Vina?"
Papah mengangguk, "Vina, di culik."
"Apa?" Aku spontan berdiri karena terkejut, bang Alvand menarik tanganku, memintaku untuk kembali duduk.
"Kenapa bisa di culik? Sejak kapan? Siapa yang dengan beraninya menculik Vina?" Tanyaku dengan nada suara makin tinggi, aku benar - benar kacau, kenapa kejutannya malah seperti ini.
Kejutan romantis yang aku bayangkan saat di mobil tadi langsung hancur berkeping - keping saat aku mendengar, jika istriku di culik.
"Sudah lima hari." Jawab papah.
"Lima hari? Kalian semua belum juga menemukannya? Apa tak ada petunjuk?"
"Kami masih berusaha Ndra, Vino juga sudah mengerahkan anggotanya."
"Terus? Kenapa belum di temukan?"
"Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, termasuk memasang wajah penculiknya, baik di media cetak maupun elektronik." Kata papah lagi.
"Siapa pelakunya?"
"Berdasarkan rekaman CCTV dan saksi yang melihat saat di rumah sakit, Rian Wijaya pelakunya." Kata bang Vino.
Aku makin terkejut saat tahu pelakunya, Rian? Pria itu lagi? Berani sekali dia bermain - main denganku. Laras, ya wanita itu pasti tahu di mana tunangannya saat ini berada.
Aku langsung berdiri, tapi bang Alvand kembali menarik tanganku, "Mau kemana?" Tanya bang Alvand.
"Nendra harus tanya Laras, dia tunangan Rian."
Bang Alvand menggeleng, "Tak perlu, kami semua sudah mengintrogasi semua orang terdekat Rian dan mereka tak tahu, tapi anggota Vino dan orang suruhan Ayah terus mengawasi mereka semua."
"Kalau saja tas Vina nggak jatuh, bisa menjadi petunjuk, kita bisa lacak GPS dari ponselnya, sayang tas Vina yang berisi ponsel harus terjatuh." Kata bang Vino.
GPS? Tunggu, "Kita masih bisa lacak Vina." Kataku langsung membuat semua orang menatapku.
"Sebelum Nendra pergi tugas, Nendra memberi Vina kalung, di liontinnya sudah terpasang GPS."
Ya, aku memang memberi kalung dengan liontin yang sudah terpasang GPS, entah kenapa tiba - tiba saja aku ingin memberi Vina kalung itu, harusnya aku kasih saat pulang tugas tapi aku memberikannya saat akan berangkat tugas.
"Lacak sekarang!" Kata bang Vino sambil menyerahkan laptop yang sedari tadi di depannya.
Aku segera melacak radar GPS liontin yang Vina pakai.
"Ketemu." Kataku langsung.
"Dimana lokasinya." Tanya Ayah Dhika.
"Boyolali." Jawab bang Alvand.
"Pantas kita tidak menemukannya di Jakarta, ternyata sudah di bawa keluar kota, padahal saat mendapat kabar jika Vina di culik semua akses keluar masuk Jakarta langsung di blok, kenapa kita bisa kecolongan." Kata papah.
"Kita harus ke sana sekarang." Kataku.
"Jangan bodoh kamu Ndra, jangan gegabah, kita harus tahu lokasi pastinya dulu, harus memastikan keadaan Vina juga, kita susun strategi, papah akan menghubungi Om kamu yang di Boyolali." Kata papah.
"Tapi pah."
"Ganendra Badhrika Mahya!" Aku langsung diam dan mengangguk, jika papah sudah menyebut nama lengkapku artinya tak lagi ada bantahan.
???
Pagi ini setelah mendapat kabar dari Om Hendrik yang bertugas di sana mengenai lokasi penyekapan Vina, aku di temani papah, ayah, bang Vino dan lima anggota bang Vino, berangkat menuju Boyolali. Bang Alvand tidak ikut karena harus menjaga mommy dan mbak Zia yang belum satu bulan melahirkan.
Empat sahabatku juga berjanji akan membantu, mereka langsung menuju lokasi.
Memakai helikopter milik ayah Dhika, kami semua berangkat, aku benar - benar sudah tak sabar ingin menghajar pria bernama Rian itu, berani sekali untuk ke dua kalinya dia menculik Vina, saat ini Vina sudah menjadi istriku, Vina sudah menjadi bagian dari keluarga Mahya, berani sekali dia bermain - main dengan seorang Mahya.
Sampai di Boyolali, kami yang di sambut Om Hendrik beserta para anggotanya dan juga dari pihak kepolisian setempat langsung bergerak ke lokasi.
Menurut hasil pengintaian, Vina di sekap di dalam sebuah Villa yang di jaga sekitar 25 - 30 bodyguard. Om Hendrik beserta lima orang anggota terpilihnya dan dari kepolisian juga ada lima orang, ditambah anggota bang Vino dan sahabatku. Kami semua sudah menyusun strategi, kami yakin mereka semua tak akan bisa lolos.
Mobil berhenti sekitar 1KM dari lokasi penyekapan, kami semua jalan kaki menuju Villa.
Benar saja, 500m sebelum sampai Villa di jaga tiga bodyguard berbadan besar dengan pakaian serba hitam, tapi tak membuat kami takut, karena kurang dari dua menit sudah berhasil di lumpuhkan.
Kami yang sudah di bagi menjadi tiga team berjalan mengendap agar bisa memasuki area Villa, untung saja Villa tidak menggunakan pagar membuat kami lebih mudah meringkus satu persatu bodyguard dengan senyap.
Bodyguard diluar Villa sudah berhasil di lumpuhkan semua, tinggal memasuki Villa. Perlahan satu persatu dari kami memasuki Villa, menyisir setiap ruangan untuk mencari keberadaan Vina, hingga langkah kami semua terhenti saat mendengar suara teriakan disertai terbukanya ruang rahasia di balik rak buku.
"PENGAWAL! CEPAT SIAPKAN MOBIL, CALON ISTRIKU PENDARAHAN!"
Pria itu keluar menggendong wanita yang amat sangat aku rindukan, dia tengah kesakitan memegang perutnya, aku yang awalnya bersembunyi langsung berlari keluar.
"RIAN!" teriakku membuat si pemilik nama langsung menoleh ke arahku, begitu juga dengan Vina yang terkejut saat melihatku.
"Berani sekali lu datang Ndra."
"Lu salah, karena sudah bermain - main dengan seorang Mahya." Kataku berjalan mendekatinya.
"Jangan mendekat, atau Vina gue sakiti." Aku menghentikan langkahku, tatapanku masih tajam menatapnya, "PENGAWAL." teriak Rian lagi, tak lama datang tujuh orang bodyguard lengkap dengan senpi langsung mengarah padaku, yang keluar dari persembunyian memang baru aku seorang diri, mungkin mereka mengira aku sendirian.
Saat ke tujuh bodyguard sudah mengelilingiku, saat itu juga satu persatu prajurit pilihan keluar dari persembunyian, berganti menguasai keadaan membuat Rian mundur ketakutan.
"Serahkan istri gue sekarang juga."
"Nggak akan, Vina calon istriku." Aku menggeram, menahan emosiku yang sudah di ubun - ubun, berani sekali dia menyebut Vina calon istrinya.
"Lepaskan menantuku Rian, saya janji mereka semua tak akan menyakitimu." Kata papah yang maju selangkah di depanku.
Rian, bukannya menuruti perkataan papah malah tertawa terbahak - bahak, dia menurunkan Vina dari gendongannya dan mengeluarkan senpi yang langsung di todongkan tepat di pelipis Vina.
"Jika aku tak bisa memiliki Vina, maka tak ada seorangpun yang bisa memilikinya, termasuk putra tersayang anda pak Mahya yang terhormat."
Rian perlahan mulai menarik pelatuknya, aku melihat bang Vino dan Angga yang berjalan perlahan mendekati Rian dari dua arah, sebisa mungkin kami semua yang berada di depan Rian mengalihkan perhatiannya, jangan sampai Rian menoleh menyadari.
Dengan gerakan cepat, bang Vino menarik tubuh Vina bersamaan dengan Angga memukul tangan Rian hingga senpi yang dia pegang terlepas. Aku langsung berlari ke arah Rian, aku membabi buta menghajar Rian hingga suara letusan dari senpi membuat aku dan mungkin semua yang ada di dalam Villa ini terkejut.
Dor
"VINA!" teriakan bang Vino dan lainnya membuatku berhenti memukuli Rian. Berondongan tembakan langsung terarah pada seseorang yang menembak Vina, ternyata Laras dan dua bodyguard.
Ya, laras temanku dia yang sudah menembak Vina istriku, entah dari mana dia datangnya, saat ini dia juga tewas tertembak.
"SIAPKAN MOBIL." Teriak Ayah Dhika membuatku membeku, jantungku seperti berhenti berdetak, Vina istriku tergeletak bersimpah darah di atas pangkuan bang Vino.
Aku langsung berlari menghampiri Vina, "Sayang, ini mas." Kataku menangkup wajahnya yang tersenyum, matanya sudah terasa berat untuk terbuka.
"Vina, dengar ayah nak, buka matamu jangan tidur nak." Ayah yang masih berusaha menghentikan darah yang terus keluar.
"Mobil sudah siap." Teriak Dewa, aku segera mengangkat tubuh Vina membawanya keluar Villa untuk memasuki mobil.
Mobil segera melaju menuju rumah sakit terdekat, Vina saat ini ada dalam pangkuanku, air mataku terus saja keluar.
"Vina, buka matamu nak." Ayah yang berada di sampingku terus menepuk pipi Vina agar dia tak memejamkan matanya, aku tak peduli dengan pakaianku yang sudah basah oleh darah Vina.
Sampai di rumah sakit, kami langsung menuju IGD, ayah Dhika langsung menemui dokter dan tak butuh waktu lama Vina segera di bawa masuk ke dalam ruang operasi, ayah juga ikut masuk ke dalam ruang operasi.
Aku, papah, Om Hendrik, bang Vino dan empat sahabatku yang datang menyusul menunggu di depan ruang operasi, tiba - tiba saja aku teringat pria yang sudah membuat istriku berbaring di ruang operasi.
"Pah, apa penjahat itu masih hidup?"
Papah mengangguk, "Sudah di urus, kamu fokus sama Vina saja."
"Dia harus membayar apa yang sudah dia lakukan pada Vina pah, Nendra mau dia membusuk di penjara." Papah mengangguk, menepuk bahuku.
"Papah janji, tak akan membiarkannya lolos untuk ke dua kalinya, dia sudah menyakiti keluarga Mahya, sekuat apapun orang yang berada di belakangnya, papah akan pastikan siapapun orangnya tak akan bisa membuatnya lolos dari jerat hukum untuk ke dua kalinya." Aku mengangguk.
"Fokus berdoa untuk istrimu, percayakan semua sama papahmu Ndra." Kata Om Hendrik sambil menepuk bahuku, aku kembali mengangguk.
Sudah dua jam lebih Vina istriku di dalam ruang operasi belum juga keluar, aku tak hentinya berdoa agar istri dan anakku baik - baik saja.
Suara deritan pintu ruang operasi yang terbuka membuat kami semua menatap pintu, aku langsung berdiri mendekati pintu ruang operasi dimana ayah Dhika keluar dari sana.
"Bagaimana yah?" Tanyaku langsung.
Ayah menatapku, wajahnya murung, matanya memerah, "Katakan yah, Nendra mohon." Kataku sambil menangkupkan kedua tanganku ke depan.
Ayah menggenggam tanganku, "Maaf, maafkan ayah nak." Kata ayah, air matanya saat ini sudah berjatuhan.
???
Terima kasih yang sudah Vote ???
Kisah Alvino sudah ada di WP ya ?