Ikhlas

1165 Kata
Di sinilah aku saat ini, berdiri di depan gundukkan tanah bertabur bunga. Aku menatap gundukkan tanah itu, air mataku kembali berjatuhan tak dapat aku tahan, dadaku kembali sesak. Inikah rasanya kehilangan, rasanya benar - benar sakit, lebih sakit dari luka goresan sangkur ataupun luka tembak yang pernah aku rasakan. Semua keluarga dan pelayat sudah pulang, kini tinggal aku di sini di temani ke empat abangku. Aku berjongkok mengusap nisan, merapalkan do'a - do'a untuknya, agar dia bahagia di surga-Nya. Impianku, kebahagianku, semua harapan di masa depan yang sudah aku rancang untuknya, ikut terkubur di dalam tanah di depanku ini. "Ikhlaskan, agar dia tak terbebani dengan air matamu Ndra." Tepukan di bahuku dari bang Andi yang saat ini berjongkok di samping kananku, membuat aku menoleh ke arahnya. Bukan hanya aku yang sedih kehilangannya, tapi juga bang Andi meski orang luar, dia ikut merasakan kesedihanku, dia memang tersenyum padaku, tapi mata merah dan sembabnya tak bisa dia sembunyikan dariku. "Rasanya, sangat sakit bang." Kataku kembali menangis, mengusap pelan nisan di depanku. "Abang tahu, abang juga merasakan apa yang kamu rasakan Ndra, tapi kamu harus bisa mengikhlaskan kepergiannya, do'akan yang terbaik untuknya, semoga kelak bisa kembali di kumpulkan di surga-Nya, jika kamu terus bersedih seperti ini, dia juga ikut bersedih, itu artinya kamu tidak menyayanginya Ndra." Aku menatap bang Andi kembali, "Nendra sangat menyayanginya bang, dia sudah bagian dari hidup Nendra." Bang Andi mengangguk, tangannya kembali menepuk - nepuk bahuku, memberiku kekuatan, "Jika kamu benar - benar sayang dengannya, maka ikhlaskan, jangan kamu tangisi, jangan buat jalannya gelap karena tangisanmu, kamu harus bisa menerima semuanya dengan ikhlas." Aku kembali menatap gundukan tanah di depanku ini, bang Andi benar aku tak boleh menangis, aku tak boleh menjadikan jalannya gelap karena tangisanku, aku harus bisa menahan semua rasa sakit yang menyesakkan d**a ini, karena harus kehilangannya. Saat ini hanya do'a dan ke ikhlasan dariku yang dia butuhkan, bukan tangisanku. "Langit sudah mendung, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan, sebaiknya kita pulang." Kata bang Andi lagi. Aku mendongak ke atas, menatap langit yang sudah menggelap pertanda tak akan lama lagi hujan turun. Lihatkah, bahkan semesta pun ikut merasakan kesedihan dan duka yang aku rasakan. Rintik kecil dari langit sudah mulai berjatuhan, aku kembali menatap nisan, "Lihatlah sayang semua merasa sedih atas kepergianmu, bahagialah di sana sayang." Kataku yang kemudian berdiri dan melangkah pergi meninggalkannya. Aku sudah tak lagi bisa berkata apapun, tenggorokanku seperti ada yang menyumbat, aku lebih memilih langsung berlalu pergi meninggalkan makam. Aku memasuki mobil, begitu juga bang Andi, bang Alvand, bang Vino dan bang Hafiz yang memegang kemudi. Mobil bergerak meninggalkan tempat pemakaman umum, aku hanya bisa menunduk, aku tak berani menatap kembali makam, dadaku selalu sesak. Hujan turun begitu lebatnya sampai membuat jalanan macet parah, "Fiz, depan sana ada cafe kita mampir saja dulu sambil menunggu hujan tak begitu lebat, terlalu bahaya." Kata bang Andi. "Siap, bang." Jawab bang Hafiz. Mobil memasuki area cafe, kami semua turun dan memasuki cafe, awalnya aku menolak dan memilih duduk di mobil tapi bang Andi melarang, akhirnya dengan terpaksa aku ikut turun. Di cafe aku hanya diam saja, jangankan untuk memakan makanan, minumpun aku tak berselera sama sekali. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling cafe, mataku terhenti tepat di sudut cafe, menatap sepasang suami istri, dimana sang istri sedang duduk dengan perut buncitnya, sang suami berjongkok di depannya sambil mengusap perut sang istri dengan sayangnya. Hatiku rasanya sakit sekali, dadaku kembali terasa sesak. Harusnya dalam beberap bulan ke depan, aku bisa melakukan apa yang pria itu lakukan, harusnya aku bisa mengusap perut Vina istriku yang semakin hari semakin membuncit. Tepukan di bahuku membuat aku mengalihkan pandanganku dari pasangan suami istri di depan sana, aku menatap bang Alvand. Ya, yang barusan menepuk bahuku bang Alvand, dia tersenyum padaku. "Masih ingat dengan apa yang bang Andi katakan tadi?" Aku mengangguk, "Bagus, kamu harus ikhlas, kamu harus bisa menerima semuanya, kamu harus kembali bangkit, buat dia bahagia di alam sana, masih ada yang harus kamu bahagiakan." Lanjut bang Alvand. Aku kembali mengangguk, "Nendra akan mencobanya bang." Bang Alvand menggeleng, "Jangan mencoba, tapi harus bisa, tak ada bantahan." Aku mengangguk "Bagus." Hujan sudah tak begitu deras, kami pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan pulang. "Kita kemana bang?" Tanya bang Hafiz saat sudah berada di dalam mobil. "Ke rumah mommy Fiz, bersih - bersih di sana, nanti kamu bisa pakai baju aku atau Vino, mbak Andriana juga sudah di sana membawa pakaian ganti buat bang Andi." Kata bang Alvand yang hanya di angguki mereka semua. Mobil melaju menuju rumah mommy, menembus hujan yang masih turun membasahi bumi. Sampai di rumah mommy kami semua segera masuk, menyalami semua keluarga yang masih berkumpul termasuk papah, mamah dan beberapa anggota keluarga Mahya. "Nendra, mandi dan ganti baju kamu nak, mommy sudah siapkan di kamar." Kata mommy, aku hanya mengangguk saja, berjalan meninggalkan semua orang menuju lantai dua, menuju kamar Vina istriku. Aku membuka pintu kamar, kamar ini menjadi saksi semuanya meski tak sebanyak kamar di rumah dinas, tapi kenangan di sini cukup mengena di hatiku. Bayangan pasangan suami istri di cafe tadi kembali berkelebat di pikiranku, andai saja aku bisa datang lebih cepat, andai saja aku melihat Laras yang ternyata berada di lokasi, andai aku bisa menahan diri untuk tidak keluar dari persembunyian, saat Rian keluar menggendong Vina, mungkin aku tak akan merasakan sakit ini. Semua memang salahku, aku yang tak becus menjaga istriku, harusnya aku memaksa Vina saat dia menolak usulku agar di antar jemput bang Alvand atau bang Vino, bukannya menuruti ke inginanya. Bagaimana bisa aku lupa, jika pria iblis itu telah kembali dari Jerman, pria itu juga sudah bertemu dengan Vina. Firasatku yang tak enak, saat akan berangkat tugas harusnya tidak aku abaikan. Ceklek Aku menatap ke arah pintu saat ada yang membukanya, "Belum mandi?" Tanya bang Vino saat pintu sudah terbuka, aku mengangguk. "Buruan mandi, langsung turun ke bawah, mommy, ayah, papah dan mamah beserta keluargamu sudah berangkat duluan, kita nyusul." Aku hanya mengangguk saja. Bang Vino menutup pintu kamar kembali, aku segera melangkahkan kaki menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Selesai mandi dan mengganti pakaian, aku segera turun ke lantai satu. "Siap?" Tanya bang Vino, aku mengangguk. "Abang di rumah saja temani mbak Zia ya, soalnya mbak Andriana sama Nolla ikut bang Andi." Kata bang Vino yang di angguki bang Alvand. "Ayo, berangkat." Kami semua keluar dari rumah mommy, menuju mobil masing - masing, aku satu mobil dengan bang Vino dan bang Hafiz. Dua puluh menit kami sampai di tempat tujuan, berjalan masuk ke dalam, setiap langkah kami menjadi pusat perhatian, mungkin karena berita duka ini sudah tersebar di berbagai media, aku tak peduli dengan tatapan mereka semua yang seakan mengasihaniku. "Bagaimana mom?" Tanyaku langsung pada mommy saat sudah sampai, mommy mengusap bahuku, kemudian menggeleng. Aku terdiam membeku di depan mommy, lidahku terasa kelu, tak lagi mampu untuk mengucapkan sepatah katapun, hanya bulir air mataku yang kembali lolos. Dekapan dari dua wanita hebatku, mommy dan mamah memberiku kekuatan, memberi keyakinan jika aku bisa melewati semuanya, aku tak sendiri karena ada mereka semua yang selalu ada untukku.

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN