Alvina Pov
"Iya mas, ini Vina sudah di mobil, sebentar lagi sampai, udah ya Vina matiin dulu telfonnya, Assalamualaikum." Aku langsung mengakhiri panggilan telfon dari suamiku.
Sejak pagi suamiku terus menerus menerorku, gara - gara aku yang iseng bilang tak bisa ikut ke acara reuni SMAnya. Sebenarnya bukan iseng sih, aku memang malas datang ke acara seperti itu, aku malas karena selalu saja menjadi pusat perhatian.
Padahal aku selalu berpenampilan biasa saja tak ada yang mewah, tapi entah kenapa aku selalu jadi pusat perhatian jika sedang berada dalam suatu acara, baik mereka mengenalku atau tidak. Wajahku? Biasa saja, tak secantik mbak Zia atau mbak Andriana, aku juga tak pernah memakai riasan yang tebal, hanya polesan make up tipis dan lipcream agar bibir tak pucat saja.
Aku mengendarai mobilku menuju asrama bagi prajurit TNI yang sudah berumah tangga, sejak menikah aku memang pindah ke rumah dinas mas Nendra sebagai baktiku yang sudah menjadi istri mas Nendra dan juga anggota Persit, meski aku menjadi menantu Pati, aku tetap tak bisa seenaknya sendiri karena semua sama dan ada aturannya.
Tiba di rumah dinas aku segera masuk ke dalam, dari tadi ponselku terus berdering tapi sengaja tak aku angkat, pelakunya siapa lagi kalau bukan suami tampanku yang nyebelin, tapi sayangnya makin hari aku makin jatuh hati karena sikap manis dan juga perhatiannya padaku.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Jawab suamiku yang keluar dari kamar, aku menyalami tangannya seperti biasa dan mas Nendra mencium keningku.
"Rapi amat mas." Kataku yang menatapnya saat ini, tumben sekali memakai kemeja press body yang membuatnya makin sexy karena perutnya yang ada roti sobeknya terlihat jelas, biasanya mas Nendra lebih suka menggunakan kaos.
"Iya dong, biar istri mas nggak malu gandeng tangan mas saat di acara nanti." Jawabnya dengan senyum jahilnya yang sudah mendarah daging.
"Iya deh, Vina mandi dulu ya, gerah banget." Kataku sambil memasuki kamar dan mas Nendra mengekoriku.
"Kenapa?" Tanyaku.
Mas Nendra tersenyum dan menggeleng, "Cuma mau lihat istri mas saja, nggak boleh ya?"
"Nggak usah macam - macam deh, kalau mas di kamar yang ada kita nggak akan datang ke reuni, sana keluar."
Mas Nendra tertawa, "Istri mas pinter banget sih, iya deh mas keluar, tapi cium dulu sini." Katanya sambil merentangkan kedua tanganya.
"Mas!"
"Cuma cium doang yang, mas nggak akan minta lebih."
Aku pun mengangguk dan mendekatinya yang langsung saja di sosor, mas Nendra memang selalu menepati ucapannya, dia benar - benar hanya mencium saja dan langsung keluar kamar.
Ganendra Bhadrika Mahya, sosok Danton yang menurut para anggotanya sangat tegas, disiplin dan tak pernah tersenyum, akan berubah 180° saat bersamaku, dia akan sangat manja, murah senyum dan sangat absurd.
Hingga saat ini aku masih tidak menyangka, jika aku sudah menjadi istrinya, aku saat ini sudah berganti nama menjadi Alvina Badhrika Mahya.
Aku yang takut akan cinta dan selalu menolak siapapun yang berusaha mendekatiku, justru jatuh pada pesona Danton menyebalkan itu, Danton yang dengan gigihnya terus mendekatiku, membuat tembok yang sudah susah payah aku bangun runtuh seketika.
Aku tak pernah bisa menolaknya, aku selalu merasakan nyaman saat bersamanya, rasa nyaman yang sama seperti saat aku bersama Ayah, bang Alvand atau bang Vino.
Bersama mas Ganendra aku merasakan seperti memiliki rumah baru, rumah di mana aku yang selalu nyaman dan terlindungi, rumah baru yang membuatku selalu ingin pulang.
Selesai mandi dan merias diri alakadarnya aku keluar kamar menghampiri suamiku yang duduk manis di ruang tamu, "Ayo mas berangkat." Kataku.
Mas Nendra menoleh dan tersenyum, "Istri mas pakai apa saja selalu cantik."
"Gombal mulu." Kataku sambil jalan keluar rumah menuju mobil.
"Serius yang." Teriak mas Nendra yang masih bisa aku dengar, aku tak menjawabnya karena detak jantungku sudah mulai tak beraturan.
Sampai di tempat acara, aku dan mas Nendra langsung masuk ke dalam restoran, berjalan menuju meja dimana ke empat sahabat mas Nendra dan empat wanita yang tak aku kenal sudah duduk di sana. Seperti dugaanku, saat ini kami menjadi pusat perhatian peserta reuni lainnya, aku cuek saja karena bukan hal baru lagi untukku.
Aku menyalami mereka semua dan duduk bergabung dalam satu meja, yang memang tersedia sepuluh kursi dengan satu meja berbentuk lingkaran.
Saat kami sedang berbincang tiba - tiba saja ada seseorang yang menyapa mas Nendra dan para sahabatnya.
"Hai Ndra, hai semuanya." Sapa seseorang membuat kami semua menoleh ke sumber suara, termasuk aku karena wanita itu berada di belakangku.
"Hai."
"Ndra sorry ya gue nggak bisa datang di nikahan lu, masih di Jerman temenin tunangan gue." Kata wanita itu pada mas Nendra.
"It's okay Ras, datang sendiri?" Jawab mas Nendra lagi.
"Nggak, sama tunangan gue lagi angkat telfon tadi, itu dia jalan kesini." Kata wanita itu yang masih bisa aku dengar, aku kembali berbincang dengan mas Angga yang duduk di samping kiriku.
"Kenalin ini tunangan gue, mas Rian Wijaya." Aku langsung menoleh saat mendengar nama itu di sebut, betapa terkejutnya aku melihat pria yang baru datang itu, Rian? Pria itu? Bagaimana bisa sekarang ada di hadapanku.
Dia juga terkejut melihatku tapi hanya beberapa detik saja, karena detik berikutnya dia tersenyum padaku, senyum tanpa dosa, seakan dulu tak pernah terjadi sesuatu di antara aku dan dia.
Bahkan rasa sakit itu masih aku rasakan hingga detik ini, dan dia dengan seenaknya tersenyum padaku. Susah payah aku berusaha melupakan pria ini, susah payah aku berusaha melupakan kejadian menyakitkan itu, aku yang dulu hampir gila sampai harus terapy dengan psikolog sahabat Ayah yang sengaja di datangkan langsung dari NYC, aku yang hampir saja kehilangan nyawa karena ulah gila dari pria ini.
Rian Wijaya, pria gila yang mencintaiku dengan cara gila. Aku yang saat itu masih SMP dengan tegas menolak cintanya, karena aku belum tahu apa itu cinta dan tak mau mengenal cinta.
Rian yang tak terima karena cintanya aku tolak, menculik dan menyekapku entah berapa lama, aku tak ingat, karena saat aku sadar sudah berada di rumah sakit, kata Mommy aku koma sampai tiga bulan lamanya.
"Sayang, are you okay?" Usapan dibahuku membuatku tersadar, aku menatap mas Nendra yang terlihat sangat cemas denganku.
"Vina mau pulang mas." Kataku spontan, aku ingin segera pergi dari tempat ini, aku tak lagi mau melihat pria gila itu. Bertemu kembali dengannya, sungguh mimpi terburuk dalam hidupku.
"Tapi acara belum di mulai yang, kamu sakit?"
"Vi...Vina cuma cape saja mas."
Mas Nendra menatapku, mendekatkan kursinya dan menggenggam tanganku dengan erat saat MC mulai membuka acara. Aku juga tak mungkin memaksanya untuk pulang karena acara baru dimulai, yang bisa aku lakukan hanya menunduk, jangan sampai mataku melihat pria itu lagi.
Sepanjang acara aku hanya diam saja, jangankan untuk makan, minum saja rasanya seperti sulit untuk masuk hingga aku sempat tersedak membuat mas Nendra dan mas Angga yang duduk di sampingku ikut panik.
Sepulang dari tempat reuni, aku langsung merebahkan tubuhku di atas ranjang, aku berharap apa yang barusan terjadi hanya mimpi, mimpi yang akan berakhir saat aku terbangun nanti.
***
"Sayang, bangun." Perlahan aku membuka mata saat ada bisikan di telingaku dan juga usapan di pipi.
Mataku terbuka langsung di sambut dengan senyum manis berhias lesung pipi milik suamiku, "Morning istrinya mas Nendra." Sapanya padaku, aku tersenyum.
"Morning, suaminya Vina." Mas Nendra tersenyum dan mengecup bibirku sekali.
"Bangun, sudah subuh." Aku mengangguk.
Saat membuka selimut aku baru sadar jika semalam begitu sampai rumah, aku langsung masuk kamar dan tidur, aku bahkan lupa mengganti gaunku dengan piyama tidur.
"Kenapa?" Tanya mas Nendra, saat melihatku yang kebingungan menatap pakaianku.
"Vina masih pakai gaun, lupa ganti." Kataku, mas Nendra tersenyum dan mengusap rambutku.
"Nggak papa, semalam kamu terlihat sangat lelah." Kata mas Nendra menatapku, "apa ada yang ingin Vina ceritakan sama mas?" Aku langsung diam menatap mas Nendra, bingung mau jawab apa, akhirnya aku hanya bisa menggelengkan kepala.
Mas Nendra mengangguk, "Kalau ada yang ingin di ceritakan, ceritakan saja sama mas ya, jangan di pendam sendiri, karena saat ini kita sudah suami istri, kita harus berbagi dalam suka dan duka."
Aku tersenyum dan mengangguk, "Pasti mas."
Bagaimana aku bisa menceritakan apa yang saat ini memenuhi pikiranku, jika aku bercerita, itu artinya aku harus kembali mengingat kenangan menyakitkan itu. Susah payah aku berusaha melupakannya, aku tak ingin lagi mengingatnya, biarlah aku pendam semuanya sendiri, aku juga tak mau menambah beban pikiran buat mas Nendra.
Semoga saja pertemuan semalam yang pertama dan terakhir kalinya, ya semoga saja.