Berpisah

1482 Kata
Alvina Pov Tak terasa hampir 3 bulan sudah aku dan timku di tanah Borneo, tepatnya satu minggu lagi tugasku bersama Timku selesai, itu berarti aku akan segera kembali ke Jakarta. Aku pun sudah tak sabar untuk pulang karena di sini sangatlah tidak baik untuk kesehatan Jantungku. Setiap hari Jantungku dibuat berdetak tak normal oleh tingkah dua pria yang sama - sama sudah menyatakan perasaannya padaku. Sungguh aku dibuat stress oleh tingkah Danki dan Danton yang makin intens mendekatiku. Saat aku berusaha menjauhi Danki, Danki malah makin gencar mendekatiku membuat Danton uring - uringan dan melampiaskannya dengan memarahi siapapun yang di temuinya bahkan Serda Adit bilang hampir satu pleton di lahap habis kena amukan Danton. Dan saat Danton yang mendekatiku maka giliran Danki yang misuh - misuh satu kompi kena amukannya juga, sudah seperti wanita yang sedang datang bulan. Kadang aku ingin tertawa melihat tingkah mereka berdua tapi kadang juga aku ingin menangis karena tingkah mereka yang terang - terangan bersaing untuk menarik perhatianku terlalu berlebihan. Danyon malah sempat menggodaku, Danyon bilang. "Ayo mau pilih yang mana dokter Vina, Danton yang masih perjaka apa Danki yang sudah berpengalaman? Keduanya sama - sama memiliki sejuta pesona loh." Aku hanya tersenyum saja tak ingin menjawab karena bagiku itu nggak penting, aku belum mau menerima pria manapun untuk mengisi hatiku walau sejujurnya aku memiliki rasa pada Danton menyebalkan itu, hanya sebatas rasa kagum saja bukan rasa cinta. Aku menerima tantangannya karena aku ingin membuktikan pada Danton bahwa pertemuan kami bukan takdir tapi hanya kebetulan saja agar dia tak terus - terusan mengejarku. Aku berjalan seorang diri menuju klinik karena suster Mimi sudah berangkat terlebih dahulu, sebenarnya aku malas jaga klinik karena disana ada Bidan Ika yang selalu kecentilan pada Danton membuatku kesal. Kesal? Kenapa bisa aku kesal pada Danton itu, aku dan dia belum memiliki ikatan apapun tapi kenapa rasanya dongkol sekali setiap bidan Ika nempel sama Danton. Apa rasa yang aku punya sudah berubah jadi cinta? Aku harap jangan sampai berubah, aku hanya memiliki rasa kagum saja dengannya yang gigih mendekatiku, beda dengan pria lainnya yang langsung menjauh saat aku mengacuhkannya. Danton justru berbeda, dari awal bertemu saat resepsi pernikahan bang Alvand sampai pertemuan ke dua di tanah Borneo ini, dia masih sama gigihnya mengejarku, sebenarnya dia pria baik dan akupun merasa nyaman saat bersamanya tapi hatiku masih belum bisa menerima kehadiran pria manapun. "Selamat pagi dokter cantiknya Nendra." Aku menoleh ke samping kiriku, pria yang dari tadi aku pikirkan saat ini sedang tersenyum menyapaku membuat jantungku dengan tak tahu dirinya berdetak kencang seakan mau lompat keluar. Aku tersenyum, "Selamat pagi." Jawabku. Aku melihat penampilannya saat ini tumben sekali dia tak mengenakan seragam loreng kebanggannya itu. Hari ini dia memakai celana jeans sebatas lutut, kaos polo hitam yang di balut jaket boomber, sepatu sneakers putih dan memakai topi. "Kenapa? Saya tampan ya?" Katanya sambil menaik turunkan kedua alisnya yang lebat seperti ulat bulu namun terlihat rapi. Aku mencebikan bibirku dan pergi begitu saja tanpa berniat menjawab pertanyaannya. Dia memang tampan, sangat tampan malah karena terlihat lebih muda dan aura garangnya yang khas sebagai prajurit berkurang, berbeda saat dia menggunakan seragam loreng maka aura prajuritnya sangat kental membuat siapapun yang di tatapnya akan mecelos sendiri. "Bukannya jawab malah saya di tinggal." Gerutunya yang berjalan menyusulku, aku hanya tersenyum saja mendengarnya. "Bu dokter." "Apa sih." Jawabku kesal karena sekarang Danton sangar ini cerewet sekali seperti anak kecil. "Nggak usah ke klinik ya, saya mau ajak bu dokter ke suatu tempat sebelum bu dokter kembali ke Jakarta." Aku menghentikan langkahku dan berbalik menatapnya yang berjalan di belakangku. "Kemana?" "Ke suatu tempat yang indah." Jawabnya dengan tersenyum dan menaik turunkan kedua alisnya. "Jangan hari ini." "Kenapa? Saya sudah izin hari ini dok, hari ini saya ingin menghabiskan waktu berdua bersama dokter." "Saya juga enggak tahu yang jelas dari subuh tadi perasaan saya enggak enak, saya malas bepergian ini saja ke Klinik terpaksa karena sudah tugas." "Dokter sakit?" Dia mendekatiku dan menempelkan punggung tangannya di keningku. "Saya sehat." Kataku sambil menurunkan tangannya. "Ya su__" "Bu dokter." Aku menoleh ke sumber suara dimana serda Adit sedang berlari ke arahku. "Ya." Jawabku. "Maaf Ndan saya ditugaskan Danki memanggil bu dokter." "Ada apa memangnya?" Tanya Danton. "Sebentar lagi ada Heli yang akan menjemput dokter, kalau mau lebih jelasnya dokter tanya langsung sama Danki." Jawab serda Adit, aku pun mengangguk. "Terima kasih kalau begitu saya kesana dulu." Serda Adit mengangguk, aku langsung berjalan menuju ruangan Danki. "Tunggu, saya ikut." Itu bukan serda Adit tapi Danton, aku tak menjawabnya toh kalau dilarang juga dia pasti tetap ikut apalagi aku mau bertemu Danki, hukumnya wajib bagi dia ikut. Sampai di ruangan Danki aku mengetuk pintu dan segera masuk saat pemilik ruangan sudah mempersilahkan. Danki tampak terkejut karena aku datang bersama Danton, tapi aku cuek saja karena kedatanganku ke ruangan ini untuk bertanya kenapa ada Heli yang mau menjemputku. "Maaf Danki, tadi Serda Adit bilang akan ada Heli yang jemput saya, memangnya ada apa?" Tanyaku langsung. "Tadi ada telfon dari keluarga bu dokter di Jakarta memberi kabar kalau Opa dokter masuk ICU dan minta bertemu dokter Vina." Jawab Danki membuatku terkejut, hampir saja aku terjatuh jika pria di belakangku tak cepat menangkap tubuhku yang limbung. "Duduk dulu." Kata Danton sambil memapahku, ya pria yang sudah menangkap tubuhku memang Danton karena dia berada di belakangku. Aku pun duduk di sofa ruang kerja Danki dan Danki juga segera memberiku minum. Ternyata ini yang membuatku lemas sejak subuh, Opa sedang sakit dan ingin bertemu denganku. Opa Pras memang sangat menyayangiku mungkin karena aku cucu perempuan satu - satunya di klan Abhimanyu. "Permisi." Kami semua menoleh ke pintu, di sana berdiri Appa Reno tersenyum menatapku dan aku segera berdiri menghampiri beliau. "Ko Appa yang datang?" Tanyaku sambil mencium punggung tangan beliau. "Kedua abang kamu lagi ada tugas, Ayah sedang menemani Oma jadi Appa yang datang kemari." Aku pun mengangguk mengerti. "Keadaan Opa gimana?" Tanyaku. "Nanti kamu lihat sendiri saja saat sudah di Jakarta, kita harus berangkat sekarang." "Barang - barang Vina belum sempat Vina bereskan pa." "Tadi Appa sudah bilang sama assisten kamu untuk bawa saat dia pulang nanti, masih satu minggu lagi kan?" Aku mengangguk. "Ya sudah ayo kita berangkat, Kapten Wisnu terima kasih ya maaf karena sudah merepotkan." "Sama - sama Om Reno, tidak merepotkan sama sekali kok." "Danki saya pamit, maaf kalau selama saya di sini ada salah kata atau perbuatan saya yang kurang berkenan, terima kasih atas semuanya." Kataku sambil menyalami tangan Danki. "Sama - sama dokter Vina, saya juga mohon maaf kalau sudah buat dokter tak nyaman." Jawabnya dan aku hanya mengangguk saja karena takut pembicaraan tentang tak nyaman membuat Danton atau Appa Reno curiga, aku menatap Danton yang wajahnya saat ini sulit di ungkapkan dengan kata - kata. "Saya antar sampai Heli ya." Katanya, aku tersenyum dan mengangguk. Danton mengantarku sampai ke Heli, sepanjang jalan tangannya tak lepas menggenggam tanganku. Aku pun membiarkannya karena aku merasa tenang saat tangan itu menggenggam erat tanganku, aku juga entah kenapa merasa sedih harus berpisah dengan Danton menyebalkan ini dengan sangat mendadak. Sampai di depan Heli kami berdua saling menatap, rasanya berat sekali berpisah, tak terasa air mataku menetes dan Danton menghapusnya. Dia tersenyum padaku, memamerkan lesung pipinya. "Jangan menangis, yakin kita akan bertemu lagi." Katanya dan aku mengangguk. "Sudah, masuk sana jangan kelamaan nanti malah enggak jadi pulang." Aku mencubit perutnya, bisa - bisanya dia becanda. "Danton hati - hati di sini, jangan lupa jaga kesehatan dan makan yang teratur." "Siap laksanakan bu dokter." Aku tertawa melihat tingkahnya. "Ya sudah saya berangkat, dah." Kataku melambaikan tangan dan diapun membalas lambaian tanganku. Aku berjalan menuju Heli, air mataku lagi - lagi keluar. Kenapa sedih sekali berpisah dengan Danton menyebalkan itu, apa aku sudah jatuh cinta denganya? "Alvina." Deg langkahku terhenti, apa aku tak salah dengar? Danton memanggil namaku tanpa embel - embel bu atau dokter?. Aku berbalik badan, menatap dia yang saat ini merentangkan kedua tangannya. Aku tersenyum melihatnya, aku segera berlari kembali mendekatinya, memeluknya dengan sangat erat menumpahkan air mataku di d**a bidangnya, dia pun membalas pelukannku dengan sangat erat seakan kami tak akan bertemu lagi. Aku tak tahu kenapa aku berlari saat dia merentangkan tangan, aku hanya merasa bahagia saat dia merentangkan tangan agar aku memeluknya. Danton melepas pelukannya, menatapku dan mencium keningku cukup lama. "Hati - hati di jalan, tunggu saya Alvina Putri, jaga hatimu hanya untuk saya, yakinlah kita akan dipertemukan kembali." Aku mengangguk. Perlahan aku berjalan meninggalkannya menuju Heli, aku melambaikan tangan saat Heli mulai bergerak ke atas dan meninggalkan pria menyebalkan itu. "Siapa dia? Pacar ya?" Tanya Appa Reno tiba - tiba. "Appa kepo." Jawabku. "Kalau pacar juga enggak apa ko, Appa senang putri cantik Appa akhirnya punya pacar." Aku hanya tersenyum saja tak menjawab perkataan Appa. Kenapa dengan diriku ini, kenapa rasanya sangat berat meninggalkan tanah Borneo yang indah ini. Aku memang kembali ke Jakarta tapi rasanya sebagian jiwaku tertinggal di sini. Apa benar aku sudah jatuh cinta dengan Danton menyebalkan itu?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN