Dua minggu telah berlalu, Minzy dan Marvi sudah tinggal di rumah mereka sendiri. Dan hari ini adalah hari terakhir Marvi berlibur dari pekerjaannya, besok dia harus kembali bekerja dan disibukkan dengan banyak meeting yang sempat tertunda karena pernikahan.
Selama itu pula, hubungan Marvi dan Minzy semakin dekat. Tidak ada kecanggungan. Hanya saja, Minzy belum memberikan hak Marvi untuk memiliki tubuhnya seutuhnya. Tidak sekarang, mungkin nanti.
Bahkan kecanggungan sudah tidak terlalu kentara, kalimat-kalimat pun sudah tidak sekaku sebelumnya.
Hari ini, Minzy terlihat sedang duduk menonton TV di atas tempat tidur. Sedangkan Marvi, dia sedang fokus pada layar monitor laptop yang menunjukkan beberapa email.
"Sayang, tolong kecilin volume TVnya Aku gak bisa fokus." Ucap Marvi.
Minzy mendengus kesal. Dia sedang bosan dan Marvi malah membuat moodnya semakin berantakan. Kemudian ia tersenyum miring dan menambah volume TV tersebut.
Marvi mengernyitkan keningnya. "Sayang, kecilkan volumenya kenapa malah menambahnya?"
"Memangnya kenapa?" Tanya Minzy.
"Aku lagi ngecek email dan suara TV bikin aku gak fokus." Jawab Marvi.
Minzy hanya diam dan mengangkat bahu tak peduli.
"Sayang ayolah... Aku sedang bekerja," ujar Marvi.
Minzy menatap Marvi dengan ekspresi marah. "Kamu masih libur, kenapa kamu malah kerja?"
"Biar pekerjaan aku buat besok bisa berkurang, lagi pula aku hanya harus melihatnya, ini tidak akan lama." Ucap Marvi.
Minzy meraih remote dan mematikan TV. Kemudian ia beringsut turun dari atas tempat tidur dan pergi meninggalkan kamar.
"Kamar bukan tempat untuk bekerja. Harusnya kamu memakai ruang kerja supaya gak keganggu sama kegiatan aku." Ujar Minzy seraya menutup pintu kamar dan pergi menuju ruang keluarga.
Rumah yang Marvi beli terlalu besar untuk ditinggali berdua. Untung saja Marvi menyewa beberapa pembantu untuk meringankan pekerjaan Minzy di rumah, juga sopir untuk menemani Minzy jika nanti Marvi sedang sibuk.
Marvi menghela nafas berat dan memutuskan untuk menyusul istrinya yang sedang marah. Minzy benar, harusnya ia bekerja di ruangannya, bukan di kamar dan mengganggu kegiatan istrinya yang sedang bosan.
Marvi berjalan menuruni anak tangga, ia dapat melihat dari atas sana Minzy yang sedang menonton TV di ruang keluarga. Ia pun mempercepat langkahnya.
"Sayang..." Panggilnya mesra seraya duduk di samping kanan Minzy. "Kamu marah, hn?"
Minzy hanya diam menonton TV.
Marvi memeluk tubuh Minzy dari samping. "Maafkan aku... Jangan mengabaikan aku seperti ini... Aku gak suka." Ucapnya.
Minzy tetap saja diam.
Marvi meraih remote TV dan mematikannya untuk mendapatkan perhatian Minzy. "Sayang, aku minta maaf..."
"Ck, hari ini kamu nyebelin banget. Sejak pagi cuma sibuk sama kegiatan kamu sendiri." Ucap Minzy.
"Benarkah?"
"Ini hari libur terakhir, besok kan mulai kerja. Harusnya kamu nemenin aku, aku benar-benar merasa bosan." Ujar Minzy sembari memukul pelan tangan Marvi yang melingkari perutnya.
Marvi terkekeh pelan. "Ternyata kamu sangat merindukan aku."
"Diam, aku gak mau ngomong."
Marvi mengangkat tubuh Minzy agar duduk di atas pangkuannya. Awalnya Minzy protes karena takut terlihat oleh asisten rumah tangga mereka. Namun Marvi tetap menahan tubuhnya.
Minzy melingkarkan kakinya pada pinggang Marvi, kemudian bersandar pada bahu suaminya itu.
"Maafkan aku, karena aku sudah membuatmu kesal...." Ucap Marvi seraya mengusap punggung Minzy.
Minzy mengangguk seraya menegakkan posisi duduknya. Mata mereka saling menatap. Di detik kemudian, wajah mereka saling mendekat satu sama lain.
Hangat...
Minzy terdiam ketika bibirnya bertemu dengan bibir Marvi. Matanya perlahan terpejam ketika Marvi menggerakkan bibirnya dengan perlahan. Meluumat bibir ranum Minzy dengan sangat lembut dan penuh perasaan.
Semakin lama ciuman lembut itu semakin menuntut. Tangan kiri Marvi tak tinggal diam, ia menelusup masuk ke dalam pakaian yang Minzy gunakan. Mengusap lembut punggung Minzy dari balik pakaiannya.
"Emh..." Desah Minzy disela ciuman mereka.
Marvi menyudahi ciumannya karena Minzy tampak mulai kesulitan bernafas.
Wajah Minzy bersemu merah.
"Apa kamu suka ciuman aku?" Tanya Marvi seraya menyelipkan helaian rambut yang menutupi wajah cantik Minzy.
Minzy hanya diam dan memukul d**a Marvi pelan.
"Minzy..." Ucap Marvi seraya mengendus area leher Minzy, membuat Minzy menengadah ke atas memberikan akses yang lebih.
Marvi mencium leher Minzy dan memberikan tanda di sana.
"Marvi, awsh... Jangan menggigitnya..." Ucap Minzy.
"Aku menginginkan kamu... Sangat..." Ucap Marvi seraya menatap kedua mata Minzy.
Minzy terdiam sesaat. "Tapi... Tapi ini masih sore..." Ucapnya pelan.
Marvi tersenyum. Itu tandanya, Minzy sudah mengijinkan Marvi untuk memiliki Minzy secara keseluruhan.
"Aku sudah tidak bisa menahannya lagi," ucap Marvi seraya mencium bibir Minzy dengan penuh ggairah.
Marvi membawa Minzy ke kembali ke kamar dengan memangku Minzy seperti bayi koala. Bahkan mereka tidak melepaskan ciuman satu sama lain.
Sesampainya di kamar, Marvi merebahkan Minzy di atas tempat tidur dengan pelan. Kemudian ia berlalu untuk mengunci pintu terlebih dahulu.
Setelah itu, ia kembali dengan tersenyum menatap Minzy yang merentangkan tangannya meminta untuk dipeluk. Dengan senang hati, Marvi memeluk tubuh Minzy.
"Lakukanlah dengan perlahan... Ini adalah pertama kalinya untukku." Ucap Minzy ketika Marvi mengusap perutnya kemudian turun ke bawah.
"Aku senang mengetahui bahwa aku akan menjadi pria pertama yang melakukan ini padamu. Kamu hanya milikku..." Ucap Marvi.
Minzy mengalungkan tangannya pada leher Marvi. "Aku milikmu..."
Marvi mencium Minzy dengan tangan yang mulai melepaskan satu persatu kancing pakaian yang Minzy kenakan. Dan dengan tidak sabar, Minzy membuka kaos yang Marvi pakai. Kemudian ia mengusap perut sixpack yang Marvi miliki.
"Sayang... Enh... Sepertinya, ini akan berlangsung lama... Aku sangat menyukai tubuhmu." Ucap Marvi seraya melepas kaitan bra yang Minzy kenakan.
Mereka saling membebaskan satu sama lain. Hal yang seharusnya dilakukan sejak lama, akhirnya bisa terlaksana. Penantian Marvi tidaklah sia-sia. Akhirnya ia bisa memiliki Minzy sepenuhnya. Dan membuat Minzy penuh karena dirinya.
****
Tepat pukul 8 malam, Minzy masih meringkuk di atas tempat tidur dengan selimut yang menutupi tubuh polosnya. Marvi benar-benar tidak bisa dihentikan, Minzy sangat lelah setelah melakukan adegan ranjang bersama suaminya. Marvi terlalu bersemangat juga tahan lama, Minzy tidak peduli dia hanya ingin istirahat.
Sudah satu jam lebih Minzy tertidur, namun tubuhnya masih terasa lelah.
"Sayang, bangun dulu... Kamu harus makan." Ucap Marvi yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi setelah membersihkan diri.
"Aku masih mengantuk, kamu gak cape?" Kamu makan duluan aja yah..." Jawab Minzy.
Marvi mengusap rambut Minzy dengan lembut. "Maaf karena membuatmu kelelahan seperti ini..."
"Tidak apa-apa, aku menyukainya." Sahut Minzy seraya bangun dari tidurnya.
Marvi membungkus Minzy dengan selimut. "Tutupi itu, jika tidak, maka aku akan memakan kamu lagi."
"Kamu turun duluna aja, aku akan menyusul." Ucap Minzy hendak beringsut turun dari atas tempat tidur.
Namun rasa ngilu pada bagian sensitifnya membuat Minzy meringis dan diam di tempat.
"Biar aku bantu," ucap Marvi yang dengan mudahnya memangku Minzy dan membawanya ke dalam kamar mandi.
Setelah itu, Marvi memutuskan untuk mengecek kembali email sembari menunggu Minzy selesai mandi.
Drrt... Drrt...
Ponsel Marvi berbunyi. Ada panggilan masuk. Kemudian Marvi mengangkatnya.
"Halo? Ada apa Wen?" Tanya Marvi pada sekertaris kantornya.
//Pak, ada berkas yang saya kirimkan pada Minzy.//
"Minzy? Istri saya? Kenapa kau mengirimkan berkas padanya, hah?"
//Maaf Pak, saya lupa bahwa kalian sudah menikah."
"Baiklah, saya akan melihatnya. Untuk ke depannya langsung kirimkan pada saya. Minzy tidak akan bekerja lagi." Ucap Marvi yang kemudian menutup sambungan telpon.
Minzy yang hendak mengambil jubah mandi hanya diam mendengar apa yang Marvi katakan.
"Aku sudah memberitahumu, aku masih ingin bekerja." Ucap Minzy seraya berjalan dengan perlahan.
"Sayang, ini semua demi kebaikan kamu."
"Tapi aku akan merasa bosan diam di rumah," ucap Minzy.
"Kamu bisa nemuin aku di kantor tanpa perlu bekerja."
"Tapi aku ingin berkegiatan, aku bisa membagi waktu untuk mengurusmu di rumah dan bekerja buat kamu di kantor." Ujar Minzy yang kini berdiri tepat di hadapan Marvi.
Marvi menghela nafas berat. "Kamu--"
"Aku mohon..."
Akhirnya Marvi mengangguk pasrah. "Baiklah, kamu boleh bekerja. Jangan terlalu kelelahan dan jangan terlalu dekat dengan pegawai laki-laki. Siapapun itu."
"Ck. Posesif." Ucap Minzy.
"Mandinya jangan lama-lama, aku gak mau kamu masuk angin." Ucap Marvi. Dan Minzy pun berjalan menuju walk in closet.