Minzy berjalan dengan santai ke dalam kantor dan menyapa para karyawan seperti sebelum dia menikah dengan Bosnya sendiri. Dan semua orang tampak tersenyum juga melambaikan tangan ke arahnya.
Lalu tiba-tiba saja seorang pria berdiri tepat di hadapannya dengan ekspresi datar.
Minzy tersenyum canggung. "Eoh, William... Ya! Ngagetin banget!"
William, seorang karyawan yang merupakan teman Minzy sejak awal ia bekerja di kantor tersebut.
"Kita temanan kan? Kenapa gak ngasih tahu kalau kamu ada hubungan spesial sama Pak Marvi, kamu gak percaya sama aku?" Ujar William. Ia merasa tidak dianggap sebagai teman oleh Minzy.
Minzy memasang wajah memelas. "Ayolah... Ceritanya tidak seperti itu. Aku juga masih belum percaya kalau aku menikah dengan Pak Marvi, aish... Jadi, jangan marah, nanti aku ceritakan kepadamu."
William hanya mengangguk pelan. "Okay, tapi janji, kamu harus ceritain semuanya."
Minzy tersenyum senang dan memeluk William. "Aahh... Kau memang temanku."
William tersenyum perih, karena tanpa Minzy ketahui, William menyimpan perasaan khusus kepadanya. William menyukai Minzy dalam diam. Tapi William sadar, bahwa Minzy memang membutuhkan sosok yang kuat dari berbagai hal seperti Marvi. Karena William tahu, Minzy sudah terlalu banyak melewati masa yang sulit sebelum ini.
Mereka masih berpelukan, mereka tidak menyadari bahwa seseorang sedang menatap keduanya dengan ekspresi marah dan tidak suka. Marvi. Dia berdiri tepat di samping kanan Minzy.
"Ekhem!" Marvi berdehem.
Mata Minzy membulat sempurna, begitupun dengan William yang terkejut dan langsung melepaskan pelukannya dari tubuh Minzy.
Mereka langsung berdiri dan menghadap Marvi dengan kepala tertunduk takut.
"Apa aku mengganggu?" Tanya Marvi menyindir.
Minzy menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Tidak, tentu saja tidak." Jawab Minzy dengan cepat.
Marvi berjalan mendekati Minzy, kemudian ia merangkul pinggang Minzy dengan posesif.
"Namamu siapa?" Tanya Marvi pada William.
"Dia, William, dia teman pertamaku di kantor ini. Dia--"
"Sayang, aku bertanya kepadanya, kenapa kamu yang menjawab? Hn?" Ucap Marvi seraya menatap Minzy. Ia tidak suka melihat Minzy berdekatan dengan pria lain. Dan Minzy tahu akan hal itu.
Mendengar kalimat itu, Minzy kembali terdiam.
William menelan ludahnya dengan susah payah. "Maaf, Pak... Saya hanya mengucapkan selamat atas pernikahan kalian."
Marvi menghela nafas berat dan, "Setelah ini, tolong jaga batasan kamu. Minzy adalah istri saya, istri pimpinan kamu."
William mengangguk paham. Sedangkan Minzy, dia tampak menatap Marvi tak setuju.
"Pak, aku dan dia hanya berteman." Ucap Minzy. Dia memanggil suaminya sendiri dengan sebutan 'Pak' karena Minzy sedang berada di kantor dan di hadapan para karyawan.
Marvi menuntun Minzy berjalan memasuki lift menuju ruangannya yang berada di lantai 8, sedangkan lantai ke atas lagi di isi oleh para karyawan seperti di lantai sebelumnya. Yang Marvi tempati adalah perusahaan pusat, jadi wajar jika ukurannya sangat besar dengan banyak lantai karena perusahaan Elunar company telah memiliki banyak cabang perusahaan yang tersebar.
Sesampainya di ruang kerja Marvi, keduanya langsung saja masuk, namun sebelum itu, Minzy tidak lupa untuk menyapa Wendy yang merupakan sekretaris perusahaan. Pekerjaannya hampir mirip dengan yang Minzy pegang, namun tanggung jawab Minzy cenderung ke urusan yang lebih pribadi Bosnya, sedangkan Wendy pada perusahaannya.
"Vi..." Panggil Minzy seraya duduk di sofa dekat jendela. "Aku boleh nunggu di ruang kerja aku yang sebelumnya? Kalau kamu butuh sesuatu, aku bakalan langsung nemuin kamu kok."
Marvi menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi yang menjadi kebanggaannya. Kemudian menatap Minzy yang sedang melihat ke arahnya menunggu jawaban.
"Duduk aja di sana, atau istirahatlah di dalam." Marvi menunjuk sebuah pintu di samping rak buku.
Marvi sengaja mendesain ruangannya dengan menambahkan satu ruangan yang berisi tempat tidur untuknya beristirahat jika ia tidak bisa pulang karena terlalu sibuk.
Minzy menggelengkan kepalanya. Ia memilih duduk di sofa dan memainkan ponselnya.
"Klien akan datang jam 10, aku akan menyiapkan semua laporan yang diperlukan." Ucap Minzy seraya menyalin laporan dari dalam laptop ke flashdisk miliknya.
Marvi mulai sibuk menarik ulur cursor di laptopnya dan melihat beberapa email yang masuk kepadanya.
"Sayang, nanti malam aku akan pulang sedikit terlambat." Ucap Marvi.
Minzy melihat ke arah Marvi. "Kenapa? Apa ada pertemuan?"
"Tidak, aku hanya akan menemui temanku di sebuah cafe malam ini. Dia ingin membicarakan sesuatu, jadi aku tidak bisa mengajakmu. Bolehkan aku pergi?" Marvi bertanya meminta izin.
Minzy mengangguk sebagai jawaban. "Jadi, aku tidak perlu memasak untuk makan malam kamu nanti?" Ucapnya bertanya. "Jangan pulang terlalu malam,"
"Iya sayang,"
Minzy telah selesai menyalin file dari laptopnya. Kemudian ia berdiri dan hendak pergi keluar untuk mencetak file itu.
"Kamu mau pergi kemana?" Tanya Marvi.
Minzy menunjukkan flashdisk di tangannya. "Aku mau mencetak file ini,"
"Di ruang photo copy? Print out?"
Minzy mengangguk. "Iya, emangnya aku harus mencetak dimana lagi?"
"Baiklah, sayang aku mau kopi, bisa kamu buatin? Jangan suruh OB,"
"Iya, nanti aku bawain," Ujar Minzy seraya berlalu dari ruang kerja suami sekaligus Bosnya.
Ia berjalan dengan santai dan sesekali saling menyapa dengan karyawan yang lain. Kemudian masuk ke dalam lift dan menuju lantai dasar, karena Marvi meminta kopi, jadi ia memutuskan untuk memprint-out file di bawah saja.
"Will!" Panggil Minzy.
William yang sedang menjelaskan sesuatu pada karyawa baru langsung berjalan ke arahnya.
"Ada apa?"
"Tolong print-in file yang nama berkasnya Elunar123, please..."
William meraih mengambil alih flashdisk itu dari tangan Minzy. "Okay, emangnya kamu mau ke mana?"
"Bikin kopi, Marvi gak mau dibikinin sama OB," jawab Minzy.
"Tapi kan kamu istrinya, tega banget. Di kantor kerja, belum lagi nanti di rumah dikerjain." Goda William.
PUGH!
Minzy memukul lengan William pelan, "Mulutnya! Bye!"
"Eh Zy, Jenna ngajakin kumpul ada sesuatu yang mau dikasih tahu. Lo ikut? Kalau gak juga gak pa-pa, paham kok."
"Ikut dong, Marvi juga ada acara jadi kayaknya bisa deh gue ikut kumpul. Okay, bye!"
Minzy pun berlalu ke arah dapur perusahaan.
"Bu, apa yang Ibu lakukan di sini? Jika Ibu memerlukan sesuatu kan bisa meminta kepada salah satu dari kami," ucap salah seorang OB.
Minzy menggelengkan kepalanya, "Kenapa kalian jadi kaku kayak gini, Minzy tetap Minzy. Lagian, Marvi mau kopi instans buatanku," ucapnya.
Minzy meraih salah satu gelas, juga satu sachet kopi esspreso. "Jadi, kalian gak perlu terlalu for--"
"Harus dong sayang, kamu istri aku, mereka harus sopan sama kamu." Sahut seseorang yang entah sejak kapan berada di sana.
Minzy langsung memutar tubuhnya dan, "M-Marvi... Mundur dikit dong, gak enak di liatin,"
Bukannya menjauh, Marvi malah memeluknya dengan erat. "I miss you honey..."
Minzy memutar bola sebal. "Kita baru ketemu beberapa menit yang lalu, dasar Bos manja."
Marvi tersenyum, "Biarin, orang manja sama kamu doang."
"Kamu gak malu? Di sini ada karyawa kamh loh," ucap Minzy pelan dengan terus berusaha melepaskan pelukan Marvi dari tubuhnya.
"Biarin, orang kantor aku." Sahut Marvi. "Diem dong yaang, jangan gerak-gerak, nanti Marvi junior bangun..." Bisiknya.
Minzy pun terdiam mematung.
"Kamu mau kopi kan?"
Marvi mengangguk.
"Jadi, lepasin dulu dong akunya... Yah?" Bujuk Minzy.
Marvi terdiam sebentar dan akhirnya melepaskan Minzy dari pelukanya.
"Kamu tunggu di ruangan lagi aja, nanti aku--"
"Gak mau, mau di sini." Ucap Marvi seraya duduk di salah satu kursi.
Minzy mengangkat bahu tak peduli dan mulai menyeduh kopi untuk suami manjanya itu.
"Filenya mana?" Tanya Marvi ketika Minzy menyuguhkan segelas kopi di hadapannya.
"William yang print, tadi aku langsung ke sini buat bikinin kamu kopi." Jawab Minzy yang kini duduk bergabung bersama Marvi.
Marvi melihat kesekitar, ada beberapa OB dan OG di sana. "Tolong tinggalkan kami berdua sebentar,"
Permintaan Marvi adalah sebuah perintah dan mereka langsung saja berlalu dari area dapur perusahaan.
"Gimana kalau pulang nanti, kamu ke rumah Mommy dulu, biar gak sendirian, soalnya kan aku harus nemuin temen aku dulu. Setelah itu, aku akan jemput kamu lagi," Ucap Marvi.
Minzy menggelengkan kepalanya. "Gak usah, sebenernya aku juga mau minta ijin ketemu temen-temen aku malam ini, boleh?"
Marvi menyesap kopi miliknya, kemudian menatap Minzy dengan alis terangkat. "Temen-temen? Aku baru tahu kalau kamu punya temen,"
Minzy memberengut kesal.
"Ngeselin ih! Punyalah,"
Marvi mencubit pipi Minzy dengan gemas. "Bercanda sayang, temen apa? Kuliah?"
"Enggak, bukan. Temen kantor sini kok," jawab Minzy.
"Ouh kirain temen mana, siapa aja?"
"William, Jenna sama Tobi. Aku deketnya sama mereka di sini, aku kan belum lama kerja juga," jawab Minzy.
Marvi tersenyum miring. "Sayang, kamu serius?"
Minzy mengangguk pasti.
"Sengaja biar kayak double date? Kamu sama William, dan--"
"Apa sih, pikirannya tuh jelek mulu..."
Marvi melipat tangan di depan d**a.
"Nanti aja yah mainnya, sekarang di rumah Mommy aja dulu atau tunggu di rumah. Okay?" Pinta Marvi.
Minzy memasang wajah tak percaya.
"Loh, kok gitu? Kamu kan mau pergi ketemu temen juga, masa aku gak boleh." Heran Minzy.
"Aku gak suka sayang, kenapa perempuannya cuma ada Jenna?"
"Orang yang mau temenan sama aku dia doang, lagian kenapa sih?"
"Aku gak suka kamu deket sama William,"
"Deket gimana sih? Kita cuma temenan."
Marvi berdiri dari duduknya. "Aku gak ijinin kamu pergi, so stay at home until i'm in home."
"Jenna mau ngasih kabar sesuatu, ke kita jadi aku mau ikut kumpul..."
"Enggak, diem di rumah aja. Kamu terlalu deket sama temen cowok kamu,"
Minzy mendengus kesal dan berlalu terlebih dahulu.
"Kok jadi kamu yang marah?" Marvi mengikuti langkah Minzy.
"Hey kamu mau kemana?" Tanya Marvi.
"Nemuin William," jawab Minzy.
"What?" Marvi menahan pergelangan tangan Minzy. "Ulangi,"
"Aku mau ngambil berkas sama flashdisk di William,"
Marvi pun melepaskan pergelangan tangan Minzy. "Aku tunggu di ruangan,"
Minzy berlalu tanpa menjawab. Ia benar-benar kesal pada suami menyebalkannya itu.
"Will, mana berkasnya?"
William yang sedari tadi memerhatikan raut wajah temannya yang terlihat kesal.
"Ada apa?" Tanya William sembari memberikan berkas dan flashdisknya.
Minzy mendengus kesal. "Marvi ngeselin,"
"Kenapa?"
"Gak pa-pa,"
Marvi mengangguk paham, ia harus paham bahwa kini Minzy tidak lagi lajang, tidak semua permasalahan bisa diberitahukan pada orang luar.
"Eh iya, malam nanti, kalian duluan aja ke restorannya, okay?" Ucap Minzy.
William mengangguk paham, "iya, tapi harus jadi loh ini."
"Woiya dong jadi! Bye, aku balik ke atas dulu yah," Minzy pun berlalu.
Langkah demi langkah dan lantai demi lantai yang Minzy lewati, ia terus berpikir, bagaimana caranya untuk membujuk Marvi agar mengijinkannya pergi.
Minzy terlihat menarik nafas pelan kemudian keluar dari dalam lift. Dan berjalan masuk ke dalam ruangan Marvi.
Tok... Tok... Tok...
"Siapa?"
"Ini aku!" Jawab Minzy.
"Masuk."
Ceklek.
Minzy pun masuk.
"Ini, berkasnya. Kamu harus siap-siap, bentar lagi para klien bakalan dateng," ucap Minzy.
Marvi mengangguk. "Makasih, tapi inget, malam nanti kamu harus diem di rumah." Ucapnya.
"Ya udah, tapi kamu harus ada di rumah juga."
"Sayang, come on... Temen lama aku, dia bahkan gak dateng ke acara pernikahan kita." Ucap Marvi.
"Ya udah sih, terserah." Minzy mendudukkan tubuhnya di sofa dengan wajah yang ditekuk.
Marvi berdiri dari duduknya. "Aku ke ruang meeting sekarang,"
"Aku gak ikut, ajak Wendy aja." Ucap Minzy.
Marvi mengangguk. "Marahnya jangan lama-lama,"
Minzy hanya diam, ia benar-benar kesal pada suaminya itu. Marvi selalu seperti itu, jika dirinya yang marah maka ia akan terus memberondong Minzy dengan banyak hal sampai ia mendapatkan jawaban yang diinginkan.