7. Marvi Jatuh Sakit

1686 Kata
Minzy mendengus kesal dengan melipat tangan di depan d**a. Menatap Dokter yang sedang memeriksa keadaan Marvi, karena sesuai dengan dugaan Minzy, Marvi akhirnya jatuh sakit dan mengeluh pada jam 12 malam. Suhu tubuhnya sangat panas, akhirnya Minzy memberitahu Helena dan Kenan, dan mereka pun memanggil Dokter keluarga. "Demamnya lumayan tinggi, dia terlalu lama di luaran, cuaca yang dingin membuatnya seperti ini." Ucap Dokter. "Marvi, bukankah satu minggu yang lalu aku sudah memberitahumu agar kau banyak istirahat. Karena keadaanmu yang tidak stabil membuatmu mudah terkena demam." Ucap Dokter lagi. Helena mengernyit heran. "Tunggu, memangnya Minggu lalu Marvi kenapa?" Dokter melihat Marvi sebentar. "Dia terkena gangguan pencernaan, tapi tidak parah. Namun itu membuat kepalanya pusing juga mual. Dan aku sudah menyarankannya untuk mengatur pola makan yang teratur dan jangan stress karena itu bisa membuat asam lambung naik." Karena pemeriksaan sudah selesai dan obat yang diperlukan sudah diberikan, Dokter pun berpamitan dengan diantar oleh Kenan hingga ke teras rumah. Helena mendudukkan tubuhnya di tepi tempat tidur, kemudian mengusap wajah pucat Marvi dengan lembut. "Kenapa tidak memberi tahu Mommy kalau kamu sempat sakit sebelum ini, jika Mommy tahu, Mommy tidak akan memintamu untuk pergi keluar dan memperburuk kesehatan kamu." Ucap Helena. Dengan mata terpejam, Marvi berkata. "Mom, tanpa kau minta aku akan tetap pergi keluar. Karena aku harus membawa Minzy menikmati udara segar setelah menikah." Ucapnya. Minzy terdiam, ia terharu sekaligus sedih karena saat ini Marvi terbaring sakit. Keadaannya sudah tidak baik, sekarang ditambah demam. Helena tersenyum dan mengangguk paham. "Mommy mengerti," Kemudian ia berdiri. "Baiklah, kau harus beristirahat. Mommy akan pergi ke kamar." Ucap Helena. "Minzy, Mommy mohon tolong bersabar dan jaga Marvi. Okay?" Minzy mengangguk pelan. "Tentu saja, Mom." Helena pun berlalu dari kamar putranya. "Selamat malam..." "Selamat malam, Mom." Balas Minzy. Cklek. Minzy mengunci pintu kamar dan berjalan ke arah tempat tidur. Jam sudah menunjukkan pukul 1 malam. Dan Minzy yakin, Marvi hanya memejamkan mata namun ia pasti kesulitan tidur karena suhu tubuhnya yang tinggi membuat tidak nyaman. Minzy naik ke atas tempat tidur dan merapatkan tubuhnya pada Marvi. "Minzy..." Panggil Marvi pelan. "Kenapa? Apa kepalamu terasa pusing?" Ucap Minzy bertanya seraya mengusap wajah pucat Marvi. "Kau harus menjauhiku, jika tidak kau akan ikut terkena demam." Ucap Marvi yang merasa khawatir jika Minzy tertular sakitnya. Bukannya menjauh, Minzy malah memeluk tubuh Marvi dengan erat. "Aku tidak akan menjauh, bukankah kau suka tidur sembari memelukku? Lalu kenapa sekarang tidak." Marvi menghadap ke arah Minzy yang memeluknya. "Apa aku harus terus sakit agar kau mau memelukku?" Deg. Hati Minzy terasa sedih mendengar itu. "Apa yang kau katakan? Kau harus cepat sembuh. Jangan membuatku merasa bersalah seperti ini." Ucap Minzy. Marvi hanya diam, menikmati usapan lembut yang Minzy lakukan pada punggungnya. "Maafkan aku, karena aku terlalu asik bermain, kau jadi kedinginan dan sakit seperti sekarang." Ucap Minzy terdengar menyesal. Marvi semakin merapatkan tubuhnya pada Minzy, membuat Minzy dapat merasakan hawa panas tubuh suaminya itu. "Ini bukan salahmu, jangan meminta maaf... Itu membuatku sedih." Ucap Marvi lemah. "Sssh... Istirahatlah, lekas sembuh... Walau aku memeluk tubuhmu, kau tetap tidak merasa nyaman karena demam. Benarkan? Jadi, kau harus lekas sembuh." Balas Minzy berucap. Marvi mengangguk dalam dekapan hangat Minzy. Usapan demi usapan Minzy berikan dengan sangat lembut agar Marvi nyaman dan cepat terlelap. Sebelumnya ia kaget karena Marvi tidur dengan gelisah, setelah ia periksa ternyata tubuhnya terasa panas. Jujur saja, tadi Minzy sangat panik. "Babe..." "I'm here... Tidurlah," ucap Minzy. "Jangan tinggalkan aku... Aku takut," ucap Marvi bergumam pelan. Minzy mengeratkan pelukannya. "Ssst... Tidurlah, aku di sini..." "Seperti anak kecil, suka mengigau ketika demam tinggi." Ucap Minzy dalam hati seraya mulai memejamkan mata dan tidur. Minzy harus bangun pagi karena akan merasa tidak enak jika harus kembali bangun terlambat. ***** Sesuai dengan tujuannya, hari ini Minzy bangun tepat waktu dan melakukan sarapan bersama ayah dan Ibu mertuanya. Setelah itu, ia langsung membuat bubur untuk Marvi. Tidak tahu apa alasannya, tapi Minzy ingin membuatkan bubur untuk Marvi sarapan dengan bumbu yang ia racik sendiri. "Mom, aku akan menemani Marvi sarapan di kamar." Ucap Minzy pada Ibu mertuanya yang sedang menonton televisi bersama suami. "Jangan lupa untuk meminumkan obatnya!" Ujar Helena. Minzy mengangguk dan berlalu menaiki anak tangga. Sesampainya di dalam kamar, Minzy kemudian duduk di tepi ranjang, tak lupa ia simpan mangkuk berisi bubur dan segelas air mineral di atas meja yang berada tepat di samping tempat tidur. Lalu Minzy membantu Marvi untuk bersandar agar mudah untuk memakan sarapannya. "Minum dulu," ucap Minzy seraya memberi Marvi minum dengan perlahan. Minzy menyodorkan satu sendok bubur. Namun, Marvi malah menggelengkan kepalanya. "Aku tidak mau, perutku merasa mual." Tolak Marvi. "Kau harus makan, karena kau harus minum obat." Ucap Minzy. Marvi malah memejamkan matanya. Minzy menghela nafas berat. "Vi, aku sengaja membuat bubur ini agar kau mau makan. Tapi kau... Kau tidak mau memakannya." Ucap Minzy dengan nada sedih. Marvi membuka matanya lagi dan menatap wajah Minzy yang sedang tertunduk menatap semangkuk bubur yang dipegangnya. "Kau bilang, kau sangat menyukaiku. Bahkan kau bilang mencintaiku. Kau bilang kau akan melakukan apapun agar aku mencintaimu juga. Tapi kau malah sakit dan tidak mau makan, lalu kapan kau akan sembuh?" Kata Minzy. Marvi meraih tangan kiri istri manisnya itu, "baiklah, suapi aku." Minzy mengangguk dan tersenyum. "Tentu saja, kau adalah pasienku. Jadi, aku harus mengurus kamu." Minzy pun menyuapi Marvi dengan perlahan. Suapan demi suapan telah Marvi makan dengan diselingi beberapa kali minum. Hingga tersisa dua suapan lagi. "Sayang, aku sudah kenyang." Ucap Marvi. Minzy mengangguk pelan. "Baiklah, karena kau sudah makan cukup banyak jadi aku tidak akan memaksamu untuk menghabiskan buburnya." Ucap Minzy. Kemudian Minzy meraih satu buah obat. "Obat untuk lambung kamu udah kamu minum kan? Sebelum makan?" Marvi mengangguk. "Bagus. Sekarang kau harus minum obat penurun demam, ayo buka mulutmu." Ucap Minzy. Marvi membuka mulutnya dan menerima suapan obat. Setelah itu Minzy langsung memberikan air minum. "Pahit ya?" "Lumayan," jawab Marvi. "Kasihan, maka dari itu kamu harus lekas sembuh... Supaya gak perlu meminum obat seperti ini lagi." Ucap Minzy seraya merapihkan obat dan mangkuk bekas bubur yang berada di atas meja. Marvi menatap Minzy dengan penuh perasaan. "Maafkan aku, sebagai pengantin baru, kita seharusnya pergi berlibur. Tapi kamu malah mengurusku," Minzy meraih tangan kanan Marvi dan menggenggamnya dengan erat. "Tidak perlu meminta maaf, kau suamiku. Sudah menjadi kewajiban aku untuk mengurus kamu." Marvi tersenyum senang mendengar Minzy menyebutnya suami. Apa itu berarti Minzy sudah mulai menyukainya dan melihat Marvi sebagai suami, bukan sebagai bos? "Kau harus berganti pakaian. Aku akan membawakannya," ucap Minzy seraya berjalan masuk ke dalam walk in closet. Bersama dengan itu pelayan meminta izin masuk untuk mengambil mangkuk dan gelas kotornya. "Tuan, bolehkah saya mengambil gelas dan mangkuknya? Apa tuan sudah selesai makan?" Tanya seorang pelayan dari ambang pintu. Marvi hanya mengangguk sebagai jawaban. Pelayan tersebut masuk dan mengambil mangkuk juga gelas untuk di cuci, kemudian ia berlalu. "Baju ini cukup tebal untuk menahan udara dingin, pakai ini saja." Ucap Minzy seraya berjalan menghampiri Marvi di atas tempat tidur. Minzy menyadari sesuatu, "mangkuk sama gelasnya pergi kemana?" "Seorang pelayan telah mengambilnya," jawab Marvi. Minzy mengangguk paham. "Baiklah, sekarang aku akan membantumu untuk berganti pakaian." Marvi tersenyum. "Kamu pasti suka bagian ini," "Ck, Marvi sudahlah... Kamu lagi sakit jadi jangan menggodaku terus." Sahut Minzy yang sudah lelah karena sejak pertama kali bertemu, dari bekerja sampai menjadi istri, Marvi selalu mengganggunya. Minzy membantu Marvi membuka bajunya. Perut sixpack yang Minzy lihat di beberapa majalah sekarang terpampang nyata, ia tak menyangka akan memiliki suami dengan tubuh Atletis. "Kau boleh menyentuhnya." Ucap Marvi mengejutkan Minzy. Minzy gelagapan. Ia langsung memakaikan kaos panjang dan tebal pada Marvi. Kemudian membiarkan Marvi untuk mengganti celananya sendiri dari balik selimut. Minzy menggulung pakaian yang telah Marvi gunakan, kemudian ia simpan ke dalam keranjang cucian. Setelah itu Minzy kembali duduk di tepi tempat tidur. Ia menatap Marvi yang sedang bersandar dengan mata tertutup. "Lekas sembuh..." Mendengar itu, Marvi membuka mata dan membalas tatapan Minzy. "Aku ingin memeluk kamu..." Ucap Marvi. Minzy naik ke atas tempat tidur, "tentu." Minzy menurunkan bantal yang membantu Marvi bersandar agar bisa memeluknya dengan mudah. Kemudian ia membantu Marvi berbaring dengan nyaman. "Aku hanya demam sayang... Kau tidak perlu mengurusku sampai seperti ini." Ucap Marvi seraya meraih pinggang Minzy yang ikut berbaring di sampingnya. "Aku hanya ingin kau lekas sembuh, aku tidak tega melihatmu tidak bisa tidur dengan nyenyak." Ucap Minzy seraya mengusap punggung Marvi dengan lembut. Kemudian hening. Tidak ada satu kalimat yang diucapkan keduanya untuk beberapa saat. Sampai akhirnya, Minzy melepaskan pelukannya dan menatap Marvi. "Kenapa?" Tanya Marvi. Minzy mengusap wajah Marvi dengan lembut. "Aku, aku akan mempertahankan pernikahan ini." Marvi tersenyum senang mendengarnya. "Benarkah? Apa kau mencintaiku?" "Aku masih perlu waktu untuk itu..." Jawab Minzy. "It's okay, aku senang mendengarnya." Minzy menangkup wajah Marvi dan, ~Chup... Minzy mengecup bibir Marvi sebentar. Dan itu berhasil membuat Marvi memasang ekspresi tak percaya. "Kamu cium aku?" Minzy hanya tersenyum. "Tapi itu bukan ciuman, ciuman tidak sesingkat itu..." Ucap Marvi. "Kamu harus sembuh, baru aku akan memberikan ciuman yang sebenarnya." Sahut Minzy. "Benarkah?" Minzy mengangguk pasti. Marvi terlihat sangat senang seraya memeluk Minzy kembali. "Aku akan segera sembuh, aku tidak akan melepaskan kamu." Minzy mengusap punggung Marvi dengan lembut. Ia tidak tahu ini keputusan yang benar atau salah, ia hanya mengikuti kata hatinya. Mempertahankan pernikahan agar bisa menjadi yang pertama dan terakhir dalam hidupnya. Jujur saja, Minzy sudah mulai menyukai Marvi. Banyak hal manis yang Marvi tunjukkan kepadanya. Keluarganya juga sangat baik meskipun mereka tahu, bahwa Minzy hanya seorang gadis piatu yang besar di sebuah panti asuhan. "Minzy..." "Kenapa?" Tanya Minzy. "Kepalaku pusing." Jawab Marvi. Tangan kanan Minzy terangkat dan memijat kepala Marvi dengan lembut. "Sebentar lagi rasa pusingnya akan hilang, tidurlah..." Dengan penuh kesabaran, Minzy terus menemani Marvi. Sampai akhirnya Marvi tertidur, mungkin karena efek dari obat, ia jadi lebih mudah untuk tidur. Minzy beringsut turun dari atas tempat tidur. Kemudian pergi menuju balkon kamar dan duduk di sana dengan ponselnya. "Kamu harus mempertahankan pernikahan ini Minzy, dicintai itu lebih baik." Gumamnya memperingatkam diri sendiri. "Marvi juga ganteng, bentar lagi juga aku yang bucin." lanjutnya. Minzy menatap Marvi yang masih tertidur dari tempatnya duduk. "Ya walau kadang nyebelin sih," gumamnya terkekeh pelan. ***** Find me on IG : dtjwt.e
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN