Minzy termenung sendiri di ruang kerja Marvi sembari menunggu suaminya itu selesai melakukan meeting bersama klien. Minzy masih kebingungan dengan sikap Marvi, jika masih terbayang-bayangi rasa sakit ketika dikecewakan oleh Meysha, lalu kenapa ia terlihat baik-baik saja ketika bersama wanita itu.
"Apa Marvi masih menyimpan perasaan buat Meysha?" Pikir Minzy.
Minzy mengusap rambut panjangnya ke belakang. "Tapi masa iya, harusnya Marvi kesel dong sama dia."
"Kalau Marvi beneran masih punya perasaan buat Meysha gimana?"
Ada perasaan tidak tenang dan takut diwaktu yang bersamaan. Entah mengkhawatirkan posisinya sebagai istri, atau takut kehilangan Marvi yang secara tidak sadar sudah semakin dirinya sayangi.
Sifat manja walau terkadang menyebalkan yang Marvi miliki kini mulai menjadi bagian dari hari-hari Minzy, ia mulai terbiasa dengan hal itu.
"Apa Meysha cinta pertamanya Marvi? Aish... Come on Minzy, berhenti berpikir." Ucapnya pada diri sendiri.
Minzy menyandarkan tubuhnya dan mulai memejamkan mata.
Lalu tak lama kemudian...
Ceklek.
"Sayang... Ayo kita pulang, tapi abis mandi aku harus balik lagi ke kantor," Ucap Marvi sembari duduk di samping Minzy yang masih bersandar di sofa.
Marvi tersenyum seraya mengusap kepala Minzy dengan lembut. "Cape yah? Padahal kita main cuma sebentar loh sayang,"
"Bukan cape, tadi lagi nungguin kamu aja," Ucap Minzy.
Marvi mengecup bibir Minzy sekilas. "Pulang yuk, mandi."
Bukannya mengiyakan, Minzy malah diam menatap Marvi.
"Kenapa? Ada yang ganggu pikiran kamu?" Tanya Marvi.
Minzy mengangguk.
"Ya udah, cerita dulu, aku dengerin. Ada apa?"
Minzy memegang jas yang Marvi kenakan. "Aku gak tahu harus nanyain ini atau enggak, tapi aku gak nyaman kalau terus nebak-nebak jawabannya..."
"That's okay, tanyain aja, apa?"
"Meysha itu cinta pertama kamu atau bukan?"
Marvi terdiam mendapatkan pertanyaan itu. Kemudian menunduk, tak nyaman.
"Biasanya perempuan gak suka kalau cowoknya ngebahas mantan, tapi kamu malah nanyain hal itu," Ucap Marvi.
"A-aku cuma penasaran,"
Marvi mengangguk paham. "Iya, bisa dibilang begitu. Hubungan aku sama Meysha cukup lama, 2 tahun, kami ketemu di pertemuan bisnis." Ucapnya menceritakan.
Pikiran Minzy langsung membawanya pada teori-teori yang mengerikan tentang cinta pertama yang sulit untuk dilupakan.
"Kok jadi bengong?"
Minzy menggelengkan kepalanya. "K-kamu masih ada rasa ke dia?"
Marvi mengernyit heran, kemudian tertawa pelan.
"Malah ketawa," Kesal Minzy.
"Gak gitu sayang, listen to me, mungkin dulu iya. Tapi setelah ketemu kamu dan kita menikah dengan alasan permintaan Orang tua aku padahal aku emang udah suka sama kamu. Prioritas aku itu ya kamu," Jelas Marvi.
Minzy terdiam. "Kamu beneran suka sama aku?"
"Heem, sangat. I love you,"
Minzy tersenyum, hatinya mulai terasa tenang setelah mendengar hal itu.
"Kamu gak boleh mikir yang macem-macem, gak boleh overthinking, okay?" Ucap Marvi.
"Aku cuma takut, katanya cinta pertama itu susah buat dilupain."
Marvi mengangguk setuju. "Emang susah, makanya aku baru nikah saat usia aku 27 sedangkan aku pacaran sama Meysha itu waktu 21 tahunan. Pas Pertama kali magang di sini, sambil kuliah."
"Dia kan ngecewain kamu, tapi kok kamu masih baik sama dia?" Tanya Minzy penasaran.
"Aey... Istri aku mulai cemburu nih, gemes banget..." Marvi mencubit pipi Minzy dengan gemas.
"Sakit ih, ya kan aku tanya. Takutnya kamu masih suka sama Meysha,"
"Enggak sayang, aku cuma berusaha untuk damai dengan masa lalu aku. Kalau aku masih kesal, berarti aku gagal move on dong? Iya gak?"
"Iya juga..."
Marvi mencium kening Minzy, "Udah interogasinya, hn?"
"Ish, aku kan cuma penasaran sama kisah asmara suami aku sebelumnya..."
"Iya... Iya... Udah yah, mending kita pulang. Emangnya kamu gak ngerasa lengket atau apa gitu, abis keringetan," ucap Marvi.
"Iya, ayo pulang!"
Marvi meraih tas Minzy dan membawakan paper bag berisi tas couple mereka. Kemudian merangkul pinggang Minzy dan mereka pun berlalu.
"Sayang jalannya biasa aja dong," Bisik Marvi.
"Diem deh! Gak nyaman tahu," Sahut Minzy. "Kapok aku, gak mau main di kantor lagi. Kalau kamu mau, pokoknya harus pulang," lanjutnya.
Marvi terkekeh pelan. "Maaf yah sayang..."
Mereka berdua masuk ke dalam lift dan tidak membiarkan karyawan turun bersamaan.
"Malam nanti mau aku masakin apa?" Tanya Minzy.
Marvi mencium kepala Minzy untuk kesekian kalinya. "Masakin apa aja, terserah kamu sayang."
"Yakin? Ntar pas udah aku masakin ternyata gak sesuai, kan sayang kalau gak dimakan," ucap Minzy.
"Bikin sayur deh kayaknya, tenggorokan aku lagi gak enak."
"Ouh okay, nanti aku bikinin." Ucap Minzy dan lift pun terbuka.
Marvi langsung menuntun Minzy dan berlalu dengan cepat. Sedangkan Minzy, ia terlihat berusaha untuk berkontak mata dengan William agar dirinya bisa mengisyaratkan kata maaf dengan raut wajah menyesalnya atas perlakuan Marvi. Namun William terlihat sibuk berbincang bersama karyawan yang lainnya.
"Jangan liatin dia." Tekan Marvi seraya menarik tubuh Minzy lebih merapat dengan dirinya.
Minzy hanya bisa menunduk sembari menyamakan langkah Marvi yang kian cepat.
Marvi melepaskan rangkulannya dan merogoh kunci mobil dari saku celananya. Kemudian berjalan ke arah mobil kesayangannya dengan Minzy yang mengekor di belakangnya.
"Aku gak suka kamu ngelamun dan mikirin cowok lain," Ucap Marvi seraya membukakan pintu untuk Minzy.
"Aku gak mikirin cowok manapun," Kata Minzy kemudian masuk ke dalam mobil. Disusul oleh Marvi.
Marvi melirik Minzy sekilas sembari memasang sabuk pengaman untuk dirinya.
"Yaang, pake seatbeltnya," Ucap Marvi.
Namun Minzy tidak mendengarkannya, tubuhnya memang ada di sana, tapi tidak dengan pikirannya. Itu yang Marvi rasakan.
Marvi pun memasangkan seatbelt untuk Minzy, kemudian melajukan mobilnya.
"Yaang, jangan bikin aku BT." Ujarnya yang berhasil mengambil perhatian Minzy.
"Hn? Emang aku ngapain?"
Marvi memutar bola mata sebal, "Ish... Kamu ngelamunin siapa sih?"
Minzy terlihat menggigit bibir bawahnya. "Vi, karyawan lain gak akan jauhin William karena kejadian tadi kan? I-ini kan bukan salah dia,"
"Gak akan." Jawab Marvi.
"Beneran?"
"Iya, khawatir banget sih. Toh aku gak mecat dia," Ucap Marvi.
Minzy menganggukkan kepalanya pelan. "Jangan BT dong..."
"Abisnya kamu sih, ada suaminya di sini malah mikirin cowok lain," Ucap Marvi merajuk.
Minzy terkekeh pelan. "Eh, kita belum honeymoon loh ini,"
Marvi melirik Minzy sekilas dan kembali fokus pada jalanan.
"Yakin mau honeymoon? Kamu udah sayang banget gak sama aku sampai mau ngabisin waktu berduaan?" Goda Marvi.
"Kok gitu sih, aku sayang loh sama kamu. Kalau gak sayang, gak bakalan aku masakin, urusin dll, hilih!" Sahut Minzy.
Marvi tertawa pelan, "Ya kan bisa aja karena kamu ngerasa kalau itu emang kewajiban sebagai istri, jadi mau gak mau harus dilakuin, iya gak?"
"Gak gitu, selama ini kita ngabisin waktu berdua kok di rumah, walau kadang kamu pulang malem karena sibuk,"
Marvi meraih tangan Minzy dan mengecupnya pelan. "Okay, nanti kita pergi liburan berdua. Tapi jangan kaget kalau pas pulang kamu positif hamil yah..."
Minzy memukul lengan sang suami pelan, "Ish..."
*****
Malam ini, tepatnya pukul setengah delapan malam, Minzy terlihat menghela nafas lega karena makan malam sudah siap. Ia hanya perlu menunggu kepulangan Marvi dan melangsungkan makan malam bersama.
Minzy menarik kursi sebelah kanan yang berdekatan tepat dengan kursi di ujung tengah untuk Marvi, seperti biasanya.
To : Marvi
Kamu dimana?
Minzy menatap ponselnya menunggu jawaban. Namun tidak ada.
"Lagi sibuk kali yah," Pikirnya.
To : Marvi
Udah pulang belum?
Minzy mengirim pesan yang kedua setelah beberapa menit tidak ada jawaban.
Sampai akhirnya ia mulai merasa lelah dan menidurkan kepalanya di atas meja dengan berbantalkan kedua tangannya. Ia menghabiskan waktu satu jam di dapur untuk memasak soup sapi dan ayam balado merah.
Sedangkan di sisi lain, terlihat Marvi yang tengah memandang lawan bicaranya dengan tatapan iba.
"Mey, ini udah malam, aku juga udah siap-siap buat pulang. Kamu bisa lanjut cerita lain waktu," Ucap Marvi.
Sudah hampir 2 jam lamanya Marvi tertahan di ruangannya sendiri dan mulai mendengarkan curahan hati sang mantan kekasih yang sedang berada dalam kesulitan.
Meysha menatap Marvi dengan air mata yang sejak pertama bercerita mengaliri wajah cantiknya.
"Uang tabungan aku udah hampir abis Vi, aku bener-bener butuh pekerjaan..." Ucap Meysha.
"Aku--"
"Aku gak mau kerja di tempat lain, kalau aku ngelakuin kesalahan gimana?,"
"Apa bedanya? Di sini juga kalau kamu membuat kesalahan ya pasti kena tegur juga," Kata Marvi.
Meysha mengangguk paham, "Emh... Tapi kan seenggaknya kamu gak akan kasar-kasar banget..."
"Gak akan, aku objektif dan profesional dalam pekerjaan. Lagian kenapa gak pulang ke rumah dan malah sewa apart?"
"Aku malu... Bahkan mungkin, mereka masih marah karena aku putus dari kamu dan pergi gitu aja..." Lirih Meysha dengan pandangan tertunduk.
Marvi kebingungan, ia bisa saja memberikannya sebuah pekerjaan. Bahkan Marvi bisa saja menunjuk Meysha sebagai asistennya menggantikan posisi Minzy, tapi itu tidak mungkin bukan?
"Kamu harus tetap pulang, mereka keluarga kamu. Mereka pasti memaafkan kamu selama itu membuat kamu bahagia," Ucap Marvi.
Meysha mengusap sisa air matanya. "Kalau gitu kamu anter aku nemuin mereka, gimana?"
"Apa? Gak bisa, kita udah punya kehidupan masing-masing, aku udah gak ada urusan." Ujar Marvi.
Meysha mengangguk paham dan tersenyum miris.
"K-kalau gitu kasih aku kerjaan, jadi Ofice girl juga gak pa-pa," pintanya.
Marvi terdiam, "Aku gak akan tega ngasih posisi itu, kamu bahkan gak terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah,"
Meysha meraih tangan Marvi dengan tatapan penuh permohonan.
"Aku akan nemenin kamu menemui keluarga," Putus Marvi.
"Kamu yakin?"
Marvi mengangguk pasti. "Setelah itu kamu bisa kerja di kantor keluarga kan? Yang Kakak kamu pegang sekarang?"
Meysha mengangguk ragu, "Kalau mereka menerima aku lagi,"
"Akan, mereka akan nerima kamu lagi."
Meysha tersenyum senang. "Makasih banyak, it's meant so much..."
Marvi berdiri dari duduknya. "Gila, kamu udah cerita hampir 2 jam loh Mey. Udah mau jam setengah sepuluh nih,"
"Maaf yah... Soalnya aku gak tahu harus minta tolong siapa lagi," Ucap Meysha.
"Gak pa-pa, kamu pulang naik apa?"
"Pesen online kayaknya," Jawab Meysha.
Marvi melirik jam di tangannya yang sudah menunjukan pukul 10 malam.
"Aku anter, kita searah." Ucap Marvi.
Dengan wajah tak percaya, Meysha menganggukkan kepalanya. Hatinya semakin senang saja setelah bisa mencuri waktu Marvi untuk mendengarkan curahan hatinya.
Dan akhirnya merekapun pulang bersama. Marvi mengantarkan Meysha terlebih dahulu, setelah itu ia tancap gas menuju pulang.
Sepanjang perjalanan pulang, Marvi sesekali melirik jam ditangannya yang terus berjalan, membuat Marvi terus menambah kecepatan sebisa mungkin.
Sampai akhirnya ia sampai dan langsung memasukan mobilnya ke dalam garasi.
Dengan sedikit terburu-buru, Marvi masuk ke dalam rumah lewat pintu dari garasi. Rasa tidak enak memenuhi hati dan pikirannya, ia sudah janji untuk makan malam di rumah namun ternyata harus pulang terlambat.
"Sayang!" Panggil Marvi seraya berjalan ke arah ruang makan.
Langkahnya melambat, hatinya terasa nyeri melihat Minzy tertidur dengan posisi menelungkup di meja makan.
"Sayang?" Marvi mengusap punggung Minzy dengan lembut.
"Emh... Marvi, kamu udah pulang," Minzy langsung merapihkan rambutnya. "Maaf aku ketiduran, ayo makan."
Marvi mengecup puncak kepala sang istri dengan dalam. "Sayang maaf, aku pulang telat..." Sesalnya.
Minzy melirik jam di dinding yang ternyata sudah menunjukkan pukul 10 lebih 15 menit.
Minzy beralih menatap makanan yang sudah dimasaknya.
"Makanannya pasti udah dingin," Gumamnya pelan.
Marvi langsung duduk dan membalik piring yang sudah disiapkan.
"That's okay, makanan kamu pasti enak sayang, yang penting nasinya masih panas." Ucapnya seraya mengambil nasi kemudian sayur yang dimintanya saat di kantor siang tadi.
Minzy menatap Marvi yang mulai makan.
"Kamu belum makan kan? Ayo makan sayang," Ujar Marvi.
"Aku chat kamu dari jam setengah delapan loh, kenapa gak dibales?" Tanya Minzy.
Kunyahan Marvi memelan. "Tadi ada tamu sebentar," Jawabnya.
"Tapi kan kamu udah janji makan malam di rumah, kamu juga minta dimasakin sayur, harusnya kamu gak telat." Ucap Minzy.
"Iya, maaf yah... Aku abisin makanan dulu yah, aku tahu kamu kesel, but give me a time. Dari siang kerjaan banyak, bahkan aku sampe harus balik lagi setelah nganter kamu tadi kan," Ucap Marvi sembari mengusap tangan Minzy yang berada di atas meja.
Minzy mengangguk pasrah dan berusaha untuk memahami suaminya.
"Kamu gak makan?"
Minzy menggelengkan kepalanya sebagai jawaban sembari memainkan ponselnya.
"Aku udah mau selesai loh, ayo makan, nanti lambung kamu sakit kalau gak makan..." Ucap Marvi.
"Aku gak lapar, kamu aja."
Marvi menyudahi makan malamnya dan beralih menatap Minzy.
"Aku minta maaf, okay? Kamu boleh kesel, tapi jangan sampe gak makan, aku gak suka." Kata Marvi. "Jangan main HP terus dong, ya tuhan..." Sambungnya.
Minzy tersenyum miris.
"Kamu ngasih nomor aku ke Meysha?" Tanya Minzy tiba-tiba.
"Hn? Iya, tadi pas dia keluar mobil, dia minta nomor kamu." Jawab Marvi.
"Turun dari mobil? Berarti kamu satu mobil, nganterin dia pulang?"
Marvi terdiam, kemudian meneguk segelas air.
"Dia kirim pesan apa?" Tanya Marvi.
"Meysha cuma mastiin kalau kamu udah gak marah karena kejadian di kantor tadi," Jawab Minzy.
Minzy menatap Marvi yang sudah selesai dengan makan malamnya.
"Kamu belum jawab pertanyaan aku, kamu nganterin dia pulang?"
Marvi mengangguk.
"Jadi, tamu yang bikin kamu sibuk sampau gak bisa balas chat aku dan lupa janji makan malam di rumah itu, dia?"
Marvi terdiam. Diamnya membenarkan apa yang Minzy pertanyakan.
Minzy tersenyum hambar, matanya mulai berkaca-kaca. Hatinya sakit.
"Kenapa sih? Kenapa gak bilang coba? Hn?" Bingungnya.
"Sayang, aku mohon jangan salah paham."
"Disaat aku berdua di keramaian sama William, kamu marah-marah loh Vi. Tapi kamu sendiri kayak gitu..." Ucap Minzy yang berusaha keras agar tidak menangis.
Marvi menggelengkan kepalanya.
"Meysha cuma cerita dan dia minta tolong untuk ngasih dia pekerjaan," Ucap Marvi.
"Lalu, William? Apa yang dia--"
"Kamu marah karena aku bareng Meysha atau karena ngerasa aku udah gak adil sama temen cowok kamu?" Potong Marvi balik bertanya.
Dang!
Minzy tidak habis pikir, bisa-bisanya Marvi memutar topik.
"Bisa-bisanya kamu bikin jadi aku yang salah," Ucap Minzy yak habis pikir.
Minzy menegakkan posisi duduknya dan menatap Marvi dengan lekat.
"You're hurting me," ucapnya bersaman dengan air mata yang mengalir.
"Aku--"
"Aku bela-belain masakin kamu buat makan malam. Aku tungguin kamu sampai ketiduran dan kamu? Dengan santainya pulang ke rumah setelah berduaan sama mantan kamu? Wow..." Ujar Minzy.
Marvi mengerutkan dahinya, "Santai? Kamu gak tahu seburu-buru apa aku di jalan, sepanik apa aku dan sesedih apa aku saat lihat kamu ketiduran nungguin aku..."
"Jadi, aku lagi yang salah? Bisa gak sih kalau salah ya minta maaf aja gak usah nyari pembenaran lain?"
Marvi terdiam.
"Dengan membandingkan 2 kesalahan, gak akan membuat salah satunya benar." Lanjut Minzy.
"Aku janji untuk makan malam di rumah, aku lakuin itu. Aku tahu aku salah, aku pulang telat dan aku udah minta maaf. Tapi kamu malah nyangkutin yang lain," Ucap Marvi. "Aku baru pulang kerja loh ini,"
"Enggak, kamu baru pulang nganterin mantan kamu." Ujar Minzy.
Marvi mengehela nafas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan.
"Sayang--"
"Hati aku sakit banget sumpah,"
Marvi terdiam. "I'm so sorry..."
Sembari mengusap air mata yang enggan untuk berhenti, Minzy mulai merapihkan piring di atas meja.
"Kamu belum makan, makan dulu." Ucap Marvi seraya menahan pergelangan tangan Minzy.
Minzy melepaskan tangan Marvi dan kembali mengambil piring kotor milik Marvi.
"Sayang, aku tahu aku salah, tapi kamu harus makan dong... Piring kotor punya aku biar Bibi yang beresin, kamu duduk dan mulai makan aja..." Ucap Marvi.
Minzy tidak memedulikan hal itu.
"Aku kalau marah perasaan mudah banget kamu bujuk loh,"
Minzy terdiam, "Oh ya?"
"Sayang aku mohon, makan dulu yah, aku temenin." Pinta Marci.
Minzy mengusap air matanya dan, "Bi!" Panggilnya setengah berteriak.
Seorang asisten rumah tanggapun datang ke hadapannya.
"Tolong di bereskan," setelah itu, Minzy berlalu.
Marvi langsung menyusulnya.
"Sayang, jangan kayak gini dong..."
"Dengerin curhatan mantan emang lebih penting daripada janji sama istri, kamu sendiri yang minta dimasakin tapi--"
"Gak gitu." Tekan Marvi seraya menahan pergelangan tangan Minzy dan membalik tubuhnya agar berhadapan.
Marvi menatap Minzy dengan intens.
"Aku minta maaf,"
Tangisan Minzy pecah, Marvi langsung memeluk tubuh mungil itu.
"A-aku sakit hati... Kamu kok gitu," racaunya sembari memukul-mukul d**a Marvi.
Marvi mengeratkan pelukannya. "I'm sorry, so sorru honey... I'm hurting you this much..." Sesalnya.
Bersambung...
Semoga suka...
Find me on i********: : dtjwt.e