Minzy berjalan masuk ke dalam Elunar comp. dengan sumringah, ia tak sabar untuk menemui Marvi dan memberikan hadiah kecil kepadanya. Hadiah pertama yang Minzy berikan sebagai seorang istri.
"Selamat siang Bu!" Sapa beberapa karyawan yang sebelumnya satu divisi dengan dirinya.
"Sok manggil Ibu, huu!" Sahut Minzy bercanda.
Kemudian ia mengedarkan pandangan, mencari keberadaan teman dekatnya, siapa lagi jika bukan William.
"Aish... Dimana dia?" Bingungnya. Minzy berjalan ke arah meja kerja William dan menunggunya di sana.
Minzy tertawa pelan melihat foto selfie pertama dirinya bersama William menempel di plan board, Minzy sangat itu, foto itu di ambil di hari pertama ia bekerja.
"Zy, udah lama sampe?" Tanya William yang tiba-tiba muncul di sampingnya.
Minzy mengangguk. "Udah dari 2 jam yang lalu," candanya.
"Aey... 2 jam yang lalu aku masih sibuk masukin data," ujar William seraya mengacak rambut Minzy pelan.
Minzy terkekeh pelan seraya mengulurkan sebuah paper bag. "Ini, toast bread sama alpukat kocok milo your favorit, bener gak?"
"Woaah, tahu banget sih. Thank you, you're the sweetest friend ever," ucap William.
Minzy tersenyum senang, "BTW, itu foto kenapa dipajang sih, muka aku jelek!" Protesnya.
William terlihat mulai memakan toast bread yang Minzy belikan.
"Biar gak ada tikur, pas tikusnya mau naik meja eh ada foto kamu, langsung kabur deh."
Minzy memukul pelan teman dekatnya itu, "Ngeselin yah, hilih."
"Thanks lo toast bread nya, tadinya aku mau makan di luar." Ucap William.
"Makan lagi aja, harus makan nasi biar kenyang." Ujar Minzy.
"Nanti aku ngantuk cantik," Ucap William.
Minzy mengangguk setuju, "Bener juga, hahaha..."
Ia terlihat asik berbincang dan menertawakan hal-hal receh bersama William. Bersamaan dengan itu, Marvi terlihat keluar dari dalam lift dengan Meysha yang mengekor di belakangnya.
Langkah Marvi melambat ketika mendengar suara yang tidak asing lagi di telinganya.
"Minzy..." Gumamnya. "Dia di--f*ck, ngapain dia berduaan sama temen cowoknya itu." Geramnya.
Marvi melirik Meysha. "Tunggu di sini sebentar," ucapnya.
Meysha mengangguk, kemudian Marvi berjalan menuju meja kerja William, dimana ada sang istri yang sedang asik berbincang bahkan sampai lupa memberi kabar.
"Ekhem." Dehemnya.
Tubuh Minzy menegang, kemudian memejamkan mata sebentar dan merutuki kebodohannya.
"Gue lupa ngasih kabar lagi, aish..." Gumamnya dalam hati.
Dengan perlahan dan rasa deg-degan, Minzy memutar tubuhnya menghadap Marvi yang sedang menatapnya dengan raut wajah yang sulit untuk di artikan.
"Maaf Pak, Minzy hanya--"
"Minzy?" Marvi menatap William dengan alis terangkat. "Dia istri saya, istri atasan kamu. Kamu manggil saya Pak, dan memanggil istri saya dengan santai? Woah," sambungnya.
William mengangguk kecil, "Sekali lagi saya mohon maaf, Bapak hanya salah paham,"
Marvi tersenyum hambar. "Salah paham? Saya hanya tidak suka, istri saya--"
"Marvi udah dong ah, apaan sih..." Ucap Minzy seraya mengusap d**a sang suami.
Marvi memutar bola mata sebal. "I told you, aku gak suka kamu deket sama cowok lain."
"Kami cuma ngobrol biasa," ucap Minzy.
"I don't care. Aku tetep gak suka. Aku tahu kalau dia suka sama kamu." Ujar Marvi menunjuk William yang terlihat berusaha menahan diri.
Minzy benar-benar tidak habis pikir.
"Gak ada buk--"
Sreet!
Marvi menarik foto dirinya bersama William yang tertempel di meja pria itu.
"What is it? Hn?" Tanya Marvi.
"I-itu hanya kenangan waktu pertama kali kami berkenalan," jawab William.
Marvi tersenyum miring, "Apa pantas menyimpan foto istri orang lain?"
"D-dia belum sempet lepas, udah yah.. Ayo, kita ke ruangan kamu aja!" Bujuk Minzy karena saat ini mereka mulai menjadi pusat perhatian.
Marvi menatap Minzy tajam, ia tidak suka melihat Minzy yang berusaha untuk membela teman prianya.
"Aku gak suka kamu mihak dia," ucap Marvi.
Minzy menghela nafas panjang dan, "Aku gak ada dipihak siapapun, liat sekitar kita, yang lain liatin kita Vi..." Bisik Minzy.
Marvi tidak peduli, dia bossnya di sana.
"Pak, saya dan Minzy hanya mengobrol ringan setelah memberikan makanan ini." Jelas William yang justru membuat Marvi semakin kesal.
"What?!" Marvi menatap Minzy tak habis pikir. "Kamu bawain dia makanan?"
Minzy bingung harus menjawab apa.
"Pak, tolong jangan berpikir yang aneh-aneh. Minzy tidak salah jadi jangan marahi dia," ucap William.
Marvi tersenyum hambar. "Kamu bahkan gak ngasih tahu aku kalau kamu udah sampe kantor,"
"Marvi maaf... Aku lupa,"
"Lupa? You hurting me." Marvi berlalu dengan foto Minzy dan William, kemudian melemparnya ke dalam tempat sampah kertas.
Minzy langsung mengikuti Marvi.
"Marvi, kamu mau ke mana?" Tanya Minzy karena Marvi berlalu keluar kantor.
Meysha yang hendak pergi bersama Marvi untuk makan siang bersama terlihat menahan pergelangan tangan Minzy.
"Kasih dia waktu, lebih baik kamu tunggu di ruangannya. Jangan pulang. Marvi akan makin kesel. Aku akan bujuk dia, tenang okay?" Ujarnya.
Minzy yang sudah kebingungan mengangguk pelan. "Terima kasih,"
Meysha tersenyum, "Sekarang kamu tunggu di ruangan Mavi, kamu punya kuncinya kan?"
Minzy mengangguk.
"Biar aku yang bicara dan pastiin dia nemuin kamu." Meysha pun berlalu menyusul Marvi.
Dan Minzy berlalu menuju ruangan Marvi, menyiapkan segala penjelasan dengan harapan Marvi akan mengerti bahwa semua hal yang dipikirkan tentang dirinya dan William adalah salah.
Di sisi lain terlihat Marvi yang sedang meredam amarahnya di samping mobil.
"Cemburu hn?" Tanya Meysha seraya mengusap bahu Marvi.
Marvi hanya diam.
"Aku denger, kalian gak melewati proses pacaran, bahkan pernikahan kalian pun mendadak. Tapi, aku lihat kamu sudah jatuh hati cukup jauh sama istri kamu," lanjutnya.
Marvi mengusap rambutnya ke arah belakang. "I don't know, i just... Aish..."
"Aku ngerti kok, apa kamu masih terbayang-bayang perlakuan aku yang memilih pergi sama temen deket aku sendiri?"
Diam. Marvi terdiam. Ia tidak tahu, tapi jujur, Marvi takut itu terjadi lagi.
"Kalau iya, berarti kamu masih kepikiran aku. Apa kamu--"
"Jangan ngaco. Ini gak ada sangkut pautnya sama kamu." Potong Marvi. "It's all about Minzy."
Meysha tersenyum hambar. "Minzy nunggu kamu di ruangan, go and talk to her."
"Tapi kalau kamu gak mau, kita bisa pergi makan siang bersama. Aku akan nemenin kamu sampai kamu tenang." Ucap Meysha.
Marvi merapihkan jasnya dan, "Nanti aku hubungin kamu kalau ada pekerjaan yang cocok. Aku tinggal yah,"
Meysha mengangguk dan tersenyum perih, menatap kepergian Marvi yang hendak menemui Minzy.
"That's okay, pelan-pelan Mey... Deketin istrinya, buat dia percaya sama kamu supaya kamu bisa terus deket sama Marvi." Gumam Meysha dalam hati.
"Tarik musuhmu agar lebih dekat, sedekat sahabat." Lanjutnya yang kemudian berlalu.
*****
Hening, Minzy dan Marvi saling terdiam dengan duduk berhadap-hadapan. Marvi yang menatap Minzy datar dan Minzy yang menunduk sembari memainkan jari-jemari karena gugup sekaligus takut.
"N-natapnya jangan kayak gitu," ucap Minzy.
"Kenapa?" Sahut Marvi dingin.
"A-Aku takut..."
Marvi menarik nafas dalam menghembuskannya dengan kasar.
"Okay, sekarang kamu mau kayak gimana?"
Minzy mengangkat wajahnya dan menatap Marvi. "Gimana apanya?"
"William, kamu mau dia dipecatkan? Makanya kamu tetep deket sama dia," ucap Marvi.
Minzy menggelengkan kepalanya dengan cepat.
"J-jangan, aku mohon..." Mohon Minzy.
Marvi memandang ke arah lain. "Dateng gak ngabarin, langsung nemuin dia, ngasih dia makan dan minum. Udah kayak istri yang nganterin makan siang suami yah, ck."
"Vi, maaf... Aku lupa ngabarin kamu," sesalnya. "Tapi tadi--"
"Kalau salah ya minta maaf, gak usah nyari pembenaran lain." Potong Marvi.
Minzy terdiam.
"Kamu istri aku, aku gak suka kamu deket sama cowok lain."
"Aku udah bilang sama kamu, William itu sahabat aku, aku gak ada perasaan lebih ke dia, ya tuhan..." Ujar Minzy tak habis pikir.
"Bullshit."
"What? Kamu gak percaya? Aku istri kamu loh,"
Marvi mengangguk-anggukan kepalanya dan tertawa hambar.
"Dia suka sama kamu."
"Ngaco. Dan denger, walaupun dia suka sama aku, harusnya kamu fokus ke aku. Gak usah peduliin William. Yang terpenting adalah aku gak suka sama dia." Ucap Minzy.
"Enteng banget kamu ngomong, kamu bisa ngomong kayak gitu karena kamu gak tahu gimana rasanya takut kehilangan." Ujar Marvi.
Deg.
Minzy terdiam. "Ngomongin kehilangan sama orang yang tumbuh di panti asuhan? How great."
"Kamu gak pernah takut kehilangan aku. Kamu bahkan gak pernah ngerasain cemburu." Ucap Marvi tersenyum miris.
Minzy menggigit bibir bawahnya, bingung.
"Kamu ngerti gak sih kalau aku itu cemburu?"
Minzy mengangguk paham. "Aku tahu, tapi cemburu kamu itu gak beralasan. Kamu marah-marah, mikir yang enggak-enggak cuma--"
"AKU GAK SUKA ADA ORANG LAIN YANG BIKIN KAMU KETAWA!" Sentak Marvi yang berhasil membuat Minzy terdiam dalam keterkejutan.
Marvi menatap Minzy dengan intens. "Aku gak mau kamu nyaman sama orang lain dan pergi. A-aku takut." Lanjutnya.
Minzy masih berusaha menenangkan jantungnya yang berdetak kencang karena bentakan Marvi. Ini pertama kalinya ia dimarahi dengan suara keras oleh sang suami.
"Aku bahkan selalu takut saat sibuk sama pekerjaan dan ninggalin kamu sendiri. Aku takut kamu nyari perhatian dari orang lain. Meysha selalu ngeluh aku sibuk kerja dan akhirnya dia nyaman sama sahabat dia..." Ujar Marvi.
Marvi menundukkan wajahnya. "Dulu aku--"
"Aku bukan Meysha. Aku Minzy." Ucap Minzy.
Marvi mengusap wajah frustasi. "I know... I know,"
"Aku istri kamu. Kita menikah, harusnya kamu percaya sama aku. Buat apa kita menikah kalau kamu gak percaya sama aku, Vi... Buat apa?"
"Kita menikah karena Mommy."
Deg.
Minzy terdiam, hatinya sakit.
"Sorry... Aku lupa tentang hal itu." Ucapnya pelan.
Marvi tersadar. Tak seharusnya ia mengatakan hal itu.
"Maksud aku--"
"Kamu nyesel? Tapi bukannya kamu sendiri yang minta aku untuk mempertahankan pernikahan ini kan?" Minzy tersenyum hambar.
Marvi beralih tempat duduk, kini ia duduk di samping kanan Minzy.
"Sayang maaf... Aku gak bermaksud ke sana," sesalnya.
Mata Minzy sudah memerah menahan tangis.
"Aku cuma takut kamu pergi kayak Mey--"
"Meysha Meysha Meysha!! Kalau kamu masih belum selesai sama masa lalu kamu, harusnya kamu bilang! Biar aku yang jelasin ke Mommy kalau dia keliru tentang hubungan kita." Ujar Minzy bersamaan dengan air mata yang mengalir di pipinya.
Marvi menggelengkan kepalanya. "No, i'm sorry... Jangan nangis,"
"You said that you love me, right?"
"I do love you," Jawab Marvi.
"Harunya kamu percaya sama aku,"
Marvi menatap Minzy dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
"I trust you, tapi aku gak percaya sama dia. Aku cowok loh yaang, aku tahu cara mandang dia ke kamu itu beda." Ucapnya.
Minzy meraih tangan Marvi dan menggenggamnya. "Kamu cuma salah paham,"
"Aku tetep gak suka. Aku gak nyaman, kamu ngertiin aku dong... Kamu belum sepenuhnya naruh hati buat aku kan? Hn? Aku mohon, jaga jarak sama dia dan aku akan biarin dia tetep kerja di sini."
Minzy mengangguk pasrah. "Okay, a-aku akan jaga jarak."
Marvi tersenyum dan membuat air mata yang ditahannya mengalir begitu saja.
Minzy mengusap air mata itu dengan pelan. "Maaf yah, udah bikin kamu takut..."
"Maafin aku juga udah bentak kamu,"
Minzy membawa Marvi ke dalam pelukannya.
"Kamu milik aku..."
Minzy hanya diam sembari mengusap punggung Marvi.
"Maaf udah bikin kamu nangis..." Sesal Marvi.
Minzy melepaskan pelukannya.
"Aku beliin kamu sesuatu," ucap Minzy.
"Oh ya? Apa itu?" Tanya Marvi antusias.
Minzy meraih paper bag dengan merek ternama tertera di depannya. Kemudian ia mengeluarkan tas dan waist bag yang selaras.
"Ini edisi terbatas, couple seri gitu. Emh, gak pa-pa kan samaan sama aku?"
Marvi meraih waist bagnya. "Woah, cool. Seneng banget aku bisa samaan, itu berarti kamu nganggap aku pasangan kamu." Ujar Marvi.
Minzy tersenyum senang. "Kamu suka?"
"Suka, banget. Thank you sayang..." Ucapnya dan,
Chup...
Ia mengecup bibir Minzy sekilas. "Nanti kita pake pas jalan-jalan yah, biar semua orang tahu kalau wanita canti ini nih... Yang lucu ini milik aku,"
Wajah Minzy bersemu merah. "Emangnya aku secantik itu?"
"Heem, aku yakin. Jaman sekolah dulu, banyak cewek yang musuhin kamu, iya gak?" Tebak Marvi.
Minzy terbelalak kaget. "Kok tahu? J-jadi alesan mereka musuhin aku karena aku cantik?"
Marvi mengangguk pasti.
"Aey... Jangan gitu, nanti aku kepedean, bisa aja karena aku orang gak punya."
"Ish, gak boleh ngomong gitu." Ujar Marvi tak suka.
Minzy mengusap wajah tampan Marvi. "Udah jangan marah lagi yah, kamu cuma salah paham."
Minzy merapihkan rambut sang suami yang acak-acakan setelah mengeluarkan kekesalan tadi.
"Aku beliin William makanan sama minuman, kamu marah. Padahal aku juga udah nyiapin hadiah buat kamu, ish." Ucap Minzy.
"Hn?"
"Sebelum beli toast bread, aku keliling dulu di toko liat-liat tas. Akhirnya aku nemu yang couple ini, eh pas ke sini malah berantem." Jelas Minzy.
Marvi kembali menarik Minzy ke dalam pelukannya.
"Maaf yah... Aku cemburu, jadi gak bisa santai,"
Minzy mencium bahu Marvi, "Jangan nyebelin yah, aku udah makin sayang sama kamu soalnya."
"Seriously?"
"Heem,"
Marvi menangkup wajah Minzy dan mencium bibirnya sekilas. "Thank you,"
Minzy kembali mencium Marvi, membuat Marvi gemas sendiri dan memperdalamnya.
"Oh my god, we need a room!" Ucap Marvi.
Minzy menunjuk pintu ruangan yang biasa Marvi pakai untuk beristirahat.
"Kita gak bisa lama, sebentar lagi ada meeting." Ucap Marvi seraya menggendong Minzy. "So, be ready honey..."
Minzy hanya terkekeh pelan seraya berpegangan pada leher Marvi yang terlihat buru-buru.
Bersambung...
Find me on i********: : dtjwt.e