Sesuai dengan apa yang Minzy ucapkan pada William, dia benar-benar pergi setelah Marvi berlalu untuk menemui teman lamanya yang entah siapa itu, Minzy terlalu sibuk membujuk sampai ia tidak menanyakan siapa yang akan suaminya itu temui.
Saat ini, Minzy, William, Jenna dan Tobi tampak bahagia, terlihat dari gelak tawa mereka berempat di sebuah restoran.
"Serius Zy? Pak Marvi manja? Ketawa banget, soalnya di kantor kan dingin." Ucap Jenna masih tidak percaya dengan apa yang Minzy ceritakan.
Minzy mengangguk pasti, "Iya woy, apalagi waktu sakit, gak mau ditinggal."
"Cara ceritanya kek orang lagi jatuh cinta, gimana gak cinta, orang Pak Marvi ganteng, kaya juga," sahut Tobi.
Minzy memukul lengan temannya itu pelan. "Dih, gak karena itu juga kali,"
William mengangguk setuju.
"Minzy gak matre, tapi kalau karena ganteng kayaknya bener hahaha..." Ujar William.
"Dih malah ngeroasting aku," ucap Minzy. "Bukannya Jenna mau bilang sesuatu yah? Ayo cepetan... Kita udah mau selesai makan malamnya loh ini," tambahnya.
William mengangguk setuju, begitupun dengan Tobi yang menunjukkan piringnya yang sudah kosong.
"Kita udah lama nongkrong," ucap Tobi.
Minzy mengangguk, "Iya, keburu Marvi pulang duluan,"
Jenna pun menegakkan posisi duduknya dan menatap ketiga temannya dengan serius.
"Gue, gue bakalan nikah bulan depan." Ucapnya dan,
Hening.
William dan Minzy saling memandang, begitupun dengan Tobi yang terlihat sangat terkejut.
"Serius? Lo gak hamil duluan kan?" Tanya Tobi antusias.
Jenna langsung memberikan pukulan pada temannya itu. "Ngaco! Enggaklah!"
Tobi terkekeh pelan. "Bercanda doang, selamat yah! Semoga lancar sampai hari H."
"Thanks ya," ucap Jenna.
Minzy meraih tangan Jenna dan menggenggamnya. "Seneng banget dengernya... Selamat yah, sekarang tinggal yang cowok-cowok ini nih!"
"Heem, Minzy bener. Kalian harus buru-buru nyari cewek, ngeri gue kalau tiba-tiba denger kabar kalian suka sama cowok," canda Jenna.
"Hahaha... Iya. Dan karena Jenna udah ngasih kabar bahagia, jadi biar aku yang traktir kalian." Ucap Minzy.
"Woaah, luar biasa!"
"Bagus itu, bisa irit," ujar Jenna.
William merangkul bahu Minzy, "Gak salah punya temen kayak kamu, sering-sering yah,"
Minzy memutar bola mata sebal dan mereka kembali tertawa bersama. "Ini tabungan aku, orang aku belum gajian."
"Lah, uang belanja dari suami lo?"
"Di kartu yang satu lagi, gak aku bawa. Tadi kan berangkatnya kayak buronan, takut ketemu Marvi di jalan jadi panik sendiri hehe..." Jawab Minzy.
Minzy berdiri dari duduknya sembari memberikan kartu ATM miliknya pada William. "Ini, tolong bayarin."
"Kamu mau ke mana?"
"Aku mau ke toilet sebentar, titip tas ya guys," Minzy pun berlalu meninggalkan meja.
Ia berjalan dengan sebuah senyuman di wajahnya, bagaimana tidak, temannya akan segera melangsungkan pernikahan, bukankah itu kabar yang baik? Setidaknya Jenna menikahi pria yang dicintai, ia tidak perlu berusaha untuk menumbuhkan perasaan seperti yang Minzy harus lakukan.
Langkah Minzy tiba-tiba saja memelan, ketika tak sengaja berpapasan dengan seseorang yang sedang dihindarinya, yaitu Marvi.
"Kamu? Aku kan udah bilang sama kamu, tunggu aku di rumah." Ucap Marvi.
Minzy hanya diam menatap privat room restoran yang berada di belakang Marvi. Dan,
Ceklek.
Pintu itu dibuka dari arah dalam dan memperlihatkan seorang wanita cantik dengan rok span di atas lutut.
"Vi, kamu bisa anterin aku pulang?" Ujar wanita tersebut. "Loh, ini siapa?" Lanjutnya bertanya.
Minzy beralih menatap Marvi. "Aku siapa?"
Marvi kini berdiri di samping Minzy, merangkul pinggang sang istri dengan posesif. "Kenalkan, Minzy, istri aku."
Minzy mengulurkan tangannya dan tersenyum ramah. "Halo, aku Minzy."
"Hai, aku Meysha. Mantan--"
"Teman lama aku." Ucap Marvi.
Minzy tersenyum, "Mantan kekasih, gak pa-pa, lagi pula itu hanya masa lalu."
Wanita bernama Meysha itu tersenyum hambar.
"Vi, aku mau ke toilet." Ucap Minzy seraya melepaskan rangkulan Marvi dari pinggangnya.
"Sayang, kita pulang bareng, okay?"
"Aku harus nemuin temen aku dulu, kamu anterin temen kamu pulang aja. Aku bisa pulang sendiri kok," ucap Minzy yang kemudian berlalu menuju toilet.
Marvi hendak menyusul Minzy, namun Meysha langsung menahannya.
"Anterin aku pulang, udah lama banget aku gak ke kota ini, jadi asing lagi." Ucap Meysha.
Marvi mengangguk pasrah, "Okay."
Mereka pun keluar dari restoran tersebut.
Marvi terlihat membukakan pintu untuk Meysha. "Seatbeltnya dipasang,"
Setelah itu ia menyusul masuk dan mulai menyalakan mesin mobil, memarkirkannya, kemudian berlalu meninggalkan restoran tersebut. Jujur saja, pikiran Marvi tidak tenang mengingat Minzy pulang sendiri atau mungkin diantar oleh William. Ia juga sedikit merasa kesal karena Minzy tidak menuruti ucapannya untuk diam di rumah saja.
"Vi, kamu udah maafin aku kan? Aku--"
"Kamu selingkuh sama cowok yang kamu bilang 'teman', tapi itu dulu, sekarang aku sudah menikah dan gak peduli tentang hal itu." Ucap Marvi memotong.
Meysha tersenyum perih, ia sudah sangat menyakiti hati pria itu dan Meysha sangat menyesal.
"Aku boleh minta nomor ponsel kamu gak? Gak enak kan kalau aku kirim pesan lewat email atau DM kayak kemarin," kata Meysha.
Marvi hanya diam.
"Aku tahu kamu pasti benci sama aku, tapi... Tapi kita masih bisa berteman kan?"
Marvi melirik mantannya itu sekilas.
"Mino ninggalin aku dan menikahi wanita lain, aku butuh teman untuk berbicara." Lirih Meysha. "Dan aku cuma punya kamu,"
"Nanti aku kirim lewat DM," ucap Marvi.
Meysha tersenyum senang. "M-Makasih, kamu baik banget. Aku nyesel udah ninggalin kamu,"
Marvi hanya diam dan fokus menyetir.
"Marvi, berhenti di depan, aku sewa apartment di sana." Ucap Meysha.
Marvi mengangguk paham.
Dan akhirnya mobil pun berhenti.
"Sudah sampai," ucap Marvi.
Meysha terdiam, menatap Marvi yang lebih banyak diam di sepanjang jalan.
"Terima kasih,"
"Heem."
Meysha melepaskan seatbelt pada tubuhnya dan,
Hangat, tubuh Marvi terasa hangat ketika Meysha memeluknya dengan sangat tiba-tiba.
"Tolong biarkan seperti ini untuk beberapa saat," Mohon Meysha.
Marvi terdiam ketika wanita yang dulu sangat dicintainya menangis sembari memeluknya. Wanita yang menjadi alasannya tidak memiliki kekasih selama hampir 2 tahun lamanya sampai akhirnya menemukan Minzy.
"A-aku menyesal... Tolong maafkan aku," lirih Meysha meminta maaf.
Marvi mengusap punggung wanita itu dengan lembut. "Lupakan masa lalu,"
"Tapi--"
"Jangan kayak gini Mey, kalau istri aku liat, itu gak akan baik." Ucap Marvi sembari melepaskan diri dari pelukan Meysha.
Meysha menghapus sisa air matanya, "M-maaf... Aku lupa kalau kamu udah punya kehidupan baru,"
"Kamu harus melakukan hal yang sama, gak ada gunanya inget masa lalu." Ucap Marvi.
Meysha mengangguk pasti. "Makasih yah, mau mampir?"
"No, aku harus nemuin istri aku."
Meysha tersenyum miris. "Okay, bye!"
Setelah Meysha keluar dari dalam mobil, Marvi langsung tancap gas dab kembali menuju cafe dengan harapan Minzy masih ada di sana. Pikirannya benar-benar tidak tenang ketika membayangkan Minzy diantar pulang William. Ia tidak ingin kejadian masa lalu terulang. Kekasihnya berselingkuh dengan pria yang sering disebut 'hanya teman'.
*****
Marvi terlambat, Minzy dan teman-temannya sudah tidak ada direstoran. Setelah mengetahui itu, Marvi langsung tancap gas menuju rumah. Ia bahkan mencoba menghubungi Minzy namun tidak diangkat, mengirim pesanpun tidak ada balasan.
Sesampainya di rumah, Marvi langsung memasukan mobilnya ke dalam garasi. Setelah itu ia langsung masuk ke dalam rumah dan mencari keberadaan Minzy.
"Minzy!" Panggilnya setengah berteriak.
Marvi langsung menaiki anak tangga menuju ke kamar mereka.
Cklek.
"Minzy!" Panggilnya lagi ketika sampai di dalam kamar.
"Min--"
"Ada apa?" Tanya Minzy yang baru saja masuk ke dalam kamar.
Marvi langsung menghampiri Minzy dan menatapnya dengan intens.
"Kamu kenapa sih?" Heran Minzy.
"Kamu pulang bareng siapa?"
"Taksi online, kenapa?"
Marvi menatap Minzy dengan penuh selidik.
"Gak dianter William?"
Minzy berjalan ke arah tempat tidur, kemudian mengambil ponsel miliknya yang ia tinggalkan untuk membantu asisten rumah tangga mereka mengisi lemari es.
"Missed call-nya banyak banget, kamu ada perlu apa sih sampe seribut itu? Nelpon banyak banget," ucap Minzy.
"Sayang, jawab pertanyaan aku, kamu gak dianterin William kan?"
Minzy memperlihatkan riwayat pemesanan taksi online di ponselnya.
"Heran aku, gak percayaan banget." Ucapnya. "Tuh liat, aku bukan kamu yang bohong nemuin temen padahal ketemuan sama mantan." Lanjutnya menyindir.
Marvi terdiam.
Minzy mendudukkan tubuhnya di sofa yang menghadap langsung ke arah tempat tidur.
"Ada aku marah-marah sama kamu? Nuduh kamu? Enggak kan?"
Marvi turut duduk di samping kiri Minzy. "Kamu marah karena hal itu, atau kamu marah karena takut aku duluan yang marah sama kamu?"
"Kamu marah sama aku? Karena apa?"
"Aku gak ada ngasih kamu ijin buat pergi, aku bilang tunggu di rumah. Tapi kamu tetep pergi tanpa bilang," ucap Marvi.
"Loh, kamu pergi juga kan? Harus adil dong,"
Marvi mendengus kesal.
"Tahu ginimah mending mampir dulu ke rumah Meysha," gumam Marvi pelan namun masih dapat di dengar oleh Minzy yang duduk di sampingnya.
Minzy tersenyum hambar, ada rasa sakit mendengarnya. Ia tidak suka Marvi menyebut nama mantan kekasihnya apalagi membandingkannya. Apa ia sudah sesayang itu pada Marvi? Entahlah, ia hanya tidak nyaman.
"Balik lagi aja, nginep di sana sekalian." Ujar Minzy kesal.
Marvi berdiri dari duduknya. "Terserah, tapi inget kalau kamu pergi tanpa ijin aku lagi, aku akan beneran marah sama kamu. Dan kalau kamu berani deket sama William, aku akan pecat dia."
Damnn.
"What?! K-kok gitu sih! Kita bahkan gak lagi bahas Will loh," ucap Minzy tak habis pikir.
"Karena aku gak suka, you're mine, gak boleh ada cowok yang lebih akrab sama kamu." Ujar Marvi.
"Aneh!"
"Dan ya, mulai besok kamu gak perlu kerja. Aku pecat kamu. Kamu cukup diam di rumah, belanja online atau nyobain resep baru." Lanjut Marvi.
Minzy benar-benar dibuat terdiam seribu bahasa. Marvi sangat diluar dugaan, dia sangat seenaknya.
"Kamu gak bisa--"
"Bisa sayang, aku suami kamu." Potong Marvi.
"Egois banget sih jadi orang!"
Marvi yang hendak berganti pakaian kembali menatap Minzy. "What?"
"Kamu ngelarang banyak hal, padahal di sini kamu juga bohongin aku. Kamu bilang mau nemuin temen dan ternyata dia mantan kamu," ujar Minzy.
Marvi mengangguk paham.
"Kamu mecat aku, supaya kamu bisa pergi ketemuan sama mantan kamu tanpa se--"
"Ngomong apa sih, kamu? Aku bahkan gak pernah mikir ke sana," ucap Marvi.
Minzy menatap Marvi dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
"Kamu egois,"
"Kamu marah bukan karena Meysha, aku tahu. Kamu marah karena aku ngelarang kamu deket sama William. Iya kan?"
Tenggelam. Minzy sangat ingin menenggelamkan Marvi ke rawa-rawa. Pria itu sangat egois dan super menyebalkan.
"Puter balik aja terus sampe pagi! Awas, aku mau tidur." Kesal Minzy dan berjalan menuju tempat tidur.
Marvi yang masih berdiri di sana langsung menahan pergelangan tangan Minzy dan membawanya ke dalam pelukan.
"Lepasin aku! Aku masih kesel sama kamu!"
Bukannya dilepaskan, Marvi malah mengeratkan pelukannya.
"Sayang, i'm so sorry... Jangan marah," mohonnya.
Minzy berhenti memberontak.
"You know that i love you, right? Aku gak suka kamu pergi tanpa ijin, aku gak suka kamu terlalu deket sama teman cowok kamu siapapun itu." Ucap Marvi.
"Tapi harusnya kamu percaya sama aku..."
Marvi mengecup puncak kepala Minzy. "Aku mohon, jangan terlalu deket sama William, aku cemburu... Aku sakit hati,"
"Sayang... Kalau kamu ngelanggar, nanti William bisa kehilangan pekerjaan karena kamu," bisik Marvi
Bisikan itu membuat mata Minzy membulat sempurna.
"Ngerti kan? Kamu pasti gak akan tega liat William kehilangan pekerjaannya iya kan?"
Minzy hanya diam.
"Jawab dong sayang,"
"I-iya... A-aku ngerti." Jawab Minzy terbata-bata.
"Kita baru menikah, kamu belum mengenal aku banyak. Tapi satu hal, aku gak pernah main-main sama ucapan aku," ucap Marvi.
Minzy melepaskan diri dari pelukan Marvi. "K-kamu bikin aku takut,"
"Hey, liat aku..." Marvi menangkup wajah Minzy. "I love you,"
"I-i know..."
Marvi tersenyum, "Aku akan terus bilang i love you sampai kamu balas i love you too."
Minzy hanya diam.
"Let me kiss you," Marvi pun mencium bibir Minzy dengan lembut.
"Emh... Vi, let me breathe..."
Marvi tersenyum. "Lanjutin lagi yah? I miss you..."
Minzy mengusap wajah tampan Marvi dengan lembut. "Aku cape,"
"Kamu diem aja gak pa-pa,"
Minzy terkekeh pelan. "Terserah kamu,"
Marvi tersenyum senang dan langsung memangku tubuh Minzy dan membawanya ke atas tempat tidur. Setelah berdebat, lalu meminta maaf hingga berakhir di ranjang dengan penuh kecupan kasih sayang. Marvi terlalu menggemaskan ketika merengek, membuat Minzy kesulitan untuk menolak. Ia akhirnya hanya bisa pasrah dan mengikuti alurnya saja.