Bab 9. Malam Perkenalan Sempurna

1075 Kata
Sambil menikmati makan, Martha memperkenalkan Reyna kepada anggota keluarga besar Dewa yang hadir malam itu di rumahnya, ada bibi dan paman Dewa dari pihaknya, juga dari pihak papa Dewa, juga beberapa sepupu Dewa yang hadir. “Ini Sita, lalu itu Andreas, hm … yang itu namanya Prilly, dan yang duduk di ujung sana namanya Felisha,” Martha masih memperkenalkan keponakan-keponakan yang datang malam itu. Saat nama Felisha disebut, tampak para perempuan muda berbisik-bisik, dan perempuan yang bernama Felisha terlihat mengamati Reyna dari posisi duduknya yang berada di ujung meja makan. Reyna sepertinya menyadari situasinya, tapi dia tidak mau terlalu memikirkannya. Dewa terlihat puas dengan sikap Reyna yang sama sekali tidak mengecewakan. Ketika makan malam berakhir, dia menggenggam tangan kanan Reyna dan dengan lantang memperkenalkan Reyna sebagai perempuan yang akan menjadi istrinya Sabtu ini, tidak lupa pula dia meminta doa restu dari keluarga yang hadir. Reyna tidak menyangka sikap gentle yang ditunjukkan Dewa malam itu, laki-laki itu beberapa kali menatapnya penuh harap, seolah dia adalah perempuan satu-satunya yang dicintai. Reyna hampir saja terbuai akan sikap Dewa, bahkan membayangkan jika semua ini bukanlah drama pengaturan. Tapi dengan cepat dia menepis pikirannya ketika menyadari bahwa semua ini adalah sandiwara. Terngiang-ngiang pula di telinganya nama Anggi saat Dewa mengakhiri pidato perkenalannya. “Reyna.” “Oh.” Reyna langsung berdiri dan keluar dari posisi kursi, lalu bersimpuh penuh hormat di depan Harvey yang duduk di atas kursi roda. “Duduklah, Reyna.” Entah kenapa Reyna merasakan kenyamanan luar biasa saat berdekatan dengan Harvey. Dia lalu duduk di kursi makannya, dan Harvey duduk di antara Reyna dan Dewa, sedangkan Martha duduk di belakang Harvey. Reyna dengan cepat memosisikan kursinya agar Martha tidak terkesan berada di belakangnya. “Oh, Reyna. Kamu pengertian sekali. Nggak perlu, Sayang.” Martha cukup terkesan dengan kepribadian Reyna. Mereka berempat seolah membuat kelompok sendiri di ruang makan. Tampak anggota keluarga lain juga membuat kelompok sendiri-sendiri saat makan malam berakhir. “Kalian kenal di mana?” tanya Harvey pelan. “Dia kerja di kantorku, Pa,” ujar Dewa. “Oh, sebagai apa kamu di kantor Dewa?” Harvey bertanya ke Reyna. “Sekretaris pak Dewa, Om.” Dewa dengan cepat menjawil pinggang Reyna, dia tidak seharusnya menyebut “Pak”. “Iya, aku sekretaris sekaligus aspri Dewa, Om,” jawab Reyna. “Papa, Reyna,” tegur Martha, dia cukup memahami gugup Reyna malam itu. “Oh, iya, Pa.” “Jadi keduaorangtuamu sedang berada di Oxford?” tanya Harvey. Tentu saja dia sudah diberitahu sebelumnya tentang keduaorangtua Reyna. “Iya.” “Apa yang mereka lalukan di sana?” “Papaku jadi nara sumber sebuah konferensi bisnis internasional di sana, yang terkait dengan arsitektur bangunan, hotel dan gedung tinggi.” “Oh, wow.” “Dia juga terlibat dalam program fellowship di Oxford.” Harvey manggut-manggut, puas dengan penjelasan Reyna tentang papanya. “Mamamu bekerja juga?” tanya Martha. “Iya, Ma. Mamaku desainer pakaian, bekerja musiman saja.” Malam itu, acara makan malam perkenalan Reyna ke keduaorangtua Dewa berjalan sangat lancar. Bukan Harvey dan Martha saja yang tampak puas, terutama Dewa. Dia cukup terkesan dengan sikap Reyna yang ternyata pandai membawa diri, meskipun usianya terbilang muda. Harvey dan Martha juga sempat berkenalan dengan Ziyad dan Almira, papa dan mama Reyna lewat video call. Perkenalan tersebut menambah keyakinan masing-masing keluarga bahwa Dewa dan Reyna yang memang saling mencintai dan akan menikah Sabtu ini. “Papa seperti sehat kembali dan ingin hidup lebih lama lagi, semoga dipanjangkan umur sehingga bisa melihat kehadiran cucu,” harap Harvey saat Reyna sudah pamit pulang. Reyna tersenyum hangat, tapi jantungnya berdetak membayangkan dirinya yang hamil dan bersusah payah melahirkan, dan dia tidak menginginkannya, karena merasa belum siap. Untungnya pernikahan ini hanya sandiwara belaka, melirik Dewa yang bibirnya sedikit mencebik. “Hati-hati, Reyna,” ucap Martha sambil memeluk Reyna erat. Dia tampaknya sudah tidak sabar lagi ingin Reyna segera menjadi menantunya. Matanya tampak berkaca-kaca saat memandang wajah cantik Reyna. Saat Reyna dan Dewa mendekati mobil yang akan mengantar mereka pulang, salah satu sepupu Dewa yang bernama Felisha mendekati mereka berdua, dan dia menyalami Reyna dan mengucapkan selamat kepada Reyna. “Aku dulu sebenarnya dijodohkan dengan Dewa, tapi aku tidak seberuntung kamu,” ujar Felisha berbisik ke telinga Reyna, matanya awas ke arah Dewa yang sedang sibuk menghubungi seseorang lewat telepon genggam. Reyna tersenyum kecil tanpa menunjukkan sikap takut sedikitpun atas ucapan Felisha yang menurutnya tidak sopan diucapkan dalam situasi ini, seolah menunjukkan perlawanan dan persaingan. Reyna tidak membalas kata-kata sepupu Dewangga itu, yang menurutnya percuma untuk ditanggapi. Dengan santai Reyna menggamit lengan Dewa dan mengajaknya masuk ke dalam mobil, sambil menoleh ke Felisha dengan senyum sinisnya. Wajah Felisha langsung muram, tidak menyangka akan sikap berani yang ditunjukkan Reyna kepadanya. Dia buru-buru bergabung dengan kerabat perempuan yang sebaya dengannya, yang masih berdiri di pekarangan rumah Dewa. “Aku yakin pernikahan mereka tidak akan bertahan lama,” gumam Felisha dengan kedua tangan terlipat di d**a, mengamati belakang mobil mewah Dewa yang menjauh. “Setahuku cinta Dewa hanya untuk Anggi, jadi selain dengan Anggi, tidak akan bertahan, seandainya kamu yang terpilih … kamu dan Dewa juga nggak akan bertahan lama, apalagi memiliki Dewa sepenuhnya,” tanggap Sita, sepupu Felisha yang juga sepupu Dewa. “Tapi entahlah, aku merasa ada yang disembunyikan gadis itu, seperti … memiliki agenda. Maksudku … keduanya seperti sedang merencanakan sesuatu,” ujar Prilly, yang berdiri di samping Felisha. Ketiganya saling pandang dan mulai menaruh curiga. “Sudahlah, itu urusan mereka,” ujar Andreas menengahi, dia satu-satunya laki-laki di antara mereka. “Lagi pula akui sajalah, Reyna memang sangat cantik. Dia memiliki tubuh mungil yang berlekuk sempurna, yang memikat laki-laki tinggi seperti Dewa,” pujinya kemudian, dan pujiannya mengundang wajah sinis Felisha, Sita dan Prilly. *** Saat perjalanan menuju pulang, Reyna langsung melepas seluruh perhiasan yang melekat di tubuhnya, memasukkannya ke dalam kotak perhiasan milik Dewa, dan menyerahkannya ke Dewa. Entah kenapa, Dewa jadi ingin bertanya kenapa Reyna tampak gusar dan kesal, padahal dia sebelumnya sama sekali tidak peduli. ”Felisha mengatakan sesuatu kepadamu?” Dewangga yang menebak cepat bertanya. ”Ck, bukan hal yang perlu dikhawatirkan. Hanya soal kecil, Pak.” ”Aku ingin tahu apa yang dia bilang. Aku tadi lihat mukamu langsung berubah saat dia mengatakan sesuatu kepadamu.” Reyna menoleh ke Dewa, menilai bosnya ini sangat teliti dan sebenarnya penuh perhatian. “Dia memperkenalkan dirinya sebagai orang yang seharusnya mendampingi kamu Sabtu ini,” ujar Reyna. Dewangga mendengus tersenyum. “Dia perempuan yang payah,” decaknya. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN