Bab 10. Maaf Iben

1041 Kata
Reyna memilih untuk tidak menanggapi kata-kata Dewangga mengenai Felisha. Baginya tidak penting untuk dibahas, yang penting baginya dia sudah melewati malam perkenalan dengan kedua orangtua Dewa, dan itu cukup mengesankan. Tinggal memikirkan tugas berikutnya, yakni melewati pernikahan, setelah itu dia bisa lebih leluasa menjalankan aktifitas kesehariannya. Reyna adalah gadis ambis, tidak dapat dia pungkiri bahwa dia sangat tergiur akan tawaran Dewangga, menjadi salah satu petinggi di Tamawijaya, tentu saja dia ingin sekali segera melewati satu tahun ini dengan indah, dan dia bisa melangkah ke depan dengan percaya diri. Sudut mata Dewangga tertuju ke Reyna yang diam saja setelah dia sedikit menyinggung Felisha, gadis itu sepertinya tidak tertarik membahas sepupunya itu, dan Dewa cukup senang akan sikap Reyna malam ini. Gadis itu sudah melakukan yang terbaik untuk hidupnya, dan tidak ada sedikitpun keluhan dari mama dan papanya. Rumah Reyna sudah dekat, dia berujar ke Yadi, “Antar di depan gerbang saja, Pak Yadi, nggak perlu masuk, aku bisa berjalan ke dalam. Rumahku tidak terlalu jauh dari gerbang. Jadi Bapak nggak perlu repot putar balik.” “Masuk saja, Yadi,” ujar Dewangga tiba-tiba, tidak setuju dengan keinginan Reyna. Reyna terkejut, padahal dia ingin sekali segalanya berjalan simpel agar Dewangga lebih cepat pulang. Tentunya Yadi menuruti perintah Dewangga, dia memutar setir mobil menuju gerbang perumahan elit dan memasukinya dengan tidak lupa menyapa satpam yang menjaga. “Kamu bawa saja perhiasan ini, pakai lagi saat menikah,” ujar Dewangga saat mobil sudah berhenti di depan rumah Reyna. Dia menyerahkan kotak berisi perhiasan ke hadapan Reyna. Cukup lama Reyna termenung melihat kotak perhiasan yang masih berada di tangan Dewangga, dia yakin harganya tidak main-main. “Terlalu berisiko jika aku meletakkannya di rumah. Aku nggak bisa menjaminnya—“ “Bawa.” Reyna mau tidak mau mengambil kotak itu dengan wajah cemberut, dan dia langsung turun dari mobil setelah Yadi membuka pintu untuknya. Setelahnya, dia tidak menoleh ke belakang dan terus berjalan menuju pintu rumah. “Jalan, Yadi,” perintah Dewa, setelah memastikan pintu rumah Reyna ditutup. Dewa masih mengingat acara makan malam bersama keluarga besarnya barusan, dan menurutnya adalah acara yang paling indah, terutama melihat senyum cerah kedua orangtuanya saat melihat sosok Reyna. Para anggota keluarganya yang sudah tua menyukai Reyna, terdengar puja puji dari mulut mereka tentang Reyna. Reyna yang cantik, yang pintar, yang memiliki senyum menawan, dan yang rendah hati. Sebaliknya, yang muda-muda tidak begitu antusias, sebagian besar menunjukkan wajah iri dan dengki akan nasib Reyna. Dewa menghela napas panjang, perasaannya mulai resah saat mengingat Anggi. Dia membuka laman media sosial Anggi di ponselnya, dan tidak ada satupun pesan darinya yang dibaca Anggi. Dia juga kesulitan menghubungi kekasihnya itu. Baru saja Dewa selesai memainkan ponselnya, tiba-tiba saja ponselnya berbunyi. “Halo, Ma?” “Dewa. Reyna sudah di rumahnya?” Terdengar suara lembut di ujung sana. “Iya, dia sudah di rumahnya. Aku sedang menuju apartemen sekarang. Ada apa, Ma?” “Nggak apa-apa, Dewa. Mama hanya memastikan saja. Mama khawatir kamu malah membawanya pulang ke apartemen kamu. Dia pasti capek sekali. Kamu dan Reyna harus jaga stamina, biar nanti pas acara nggak capek.” Dewa tersenyum tipis, memaklumi kekhawatiran mamanya. “Oh. Oke.” Dewa menutup ponselnya, kembali mengingat mama dan papanya yang antusias dengan sosok Reyna. Wajar mereka mengkhawatirkan Reyna, mengira dirinya dan Reyna yang saling mencintai, lalu dia yang ingin menghabiskan malam bersama Reyna di apartemennya. Padahal pernikahan ini hanya drama sementara yang dibuat-buat, agar hubungannya dengan kedua orangtuanya baik-baik saja. Sementara itu Reyna sudah berada di dalam kamar tidurnya, berdiri di balik pintu dengan kepala mendongak. Dia masih mengingat kata-kata Felisha yang mengatakan bahwa dia beruntung bisa menikah dengan Dewa. Reyna berdecak dengan mata terpejam, menilai bahwa perkenalan dengan Dewa bukanlah sebuah keberuntungan, tapi kesialan dalam hidupnya. Kini, dia bertekad untuk mengubah kesialan itu menjadi sebuah keberuntungan di masa depan, salah satunya mengejar kesuksesan dalam karirnya, meskipun harus melalui sebuah pernikahan yang sebenarnya tidak dia inginkan. *** Meskipun sudah menjadi calon istri Dewa, Reyna tetap bekerja keesokan harinya. Dia tidak mau memanfaatkan statusnya itu dengan bersenang-senang, justru dia ingin tahu lebih dalam tentang bagaimana bekerja di perusahaan Tamawijaya, supaya ke depan dia bisa menyesuaikan diri saat menjadi pimpinan. Sebagian besar petinggi Tamawijaya sudah tahu rencana pernikahan Dewa dan Reyna, dan mereka terkejut. Setahu mereka Dewa berpacaran dengan seorang model cantik bernama Anggi. Melihat Reyna yang cekatan saat bekerja di dekat Dewa, mereka cukup memahami kenapa Dewa sampai memilih Reyna sebagai pasangan hidupnya. Gadis itu masih muda, cantik, cerdas dan pandai membawa diri. Singkat kata, Reyna sangat cocok menjadi menantu Harvey dan bisa diandalkan di perusahaan. Tapi, ada juga beberapa yang tidak mempercayai rencana pernikahan itu dan terkesan terburu-buru, terutama yang sudah memahami kehidupan Dewa. Okta : Terima kasih, Reyna. Scan ijazah kamu sudah saya terima. Oiya, saya doakan semoga kamu betah bekerja dengan Pak Dewangga. Jangan lupa banyak stok sabar nanti setelah jadi istrinya. Reyna : Iya, Bu. Reyna akhirnya bisa menghela napas lega setelah mendapatkan ijazah resmi dari kampusnya, dan dia langsung mengirimkan ke e-mail Okta. Jam pulang sudah tiba, Reyna membereskan meja kerjanya dan bersiap-siap pulang. *** Reyna memelankan laju mobilnya saat hendak masuk ke dalam pekarangan rumahnya. Dia melihat motor besar Iben parkir di dalam pekarangan rumahnya. “Ngapain dia ke sini?” gumam Reyna bermonolog, melihat Iben duduk di teras depan rumah, dan ada seorang gadis yang duduk di sebelahnya, dan Reyna tahu gadis itu adalah gadis selingkuhan Iben. Tampak Iben langsung berdiri dari duduknya saat Reyna ke luar dari mobilnya, berjalan menuju pintu depan rumahnya. “Hai, Reyna. Baru pulang dari kerja?” Iben langsung berbasa basi ke Reyna. “Ya. Ngapain kamu ke sini?” “Hm … aku mau minta maaf soal kejadian di apartemen. Hm … Judith juga. Ini Judith.” Iben gugup, dan dia memperkenalkan gadis itu ke Reyna. Gadis yang bernama Judith yang berperawakan blasteran itu ragu mengulurkan tangan kanannya ke Reyna, dan Reyna menatapnya dengan ekspresi wajah datar. “Nggak perlu minta maaf dan nggak perlu repot datang ke sini. Kita nggak ada hubungan apa-apa lagi,” ujar Reyna tegas. “Rey. Aku benar-benar minta maaf. Aku … aku mohon kamu memaafkan aku.” Reyna mencebikkan bibirnya saat menatap Iben. “Ya, aku maafkan,” ujarnya cuek. “Maksudku, beri aku kesempatan sekali lagi,” rengek Iben. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN